Pendapat Politik Kaum Sufi
M. Taufan Musonip
"Karena keadaan masyarakat adalah tamuNya. Dan kepemimpinan yang salik adalah pelayanNya, sang hamba yang dibekali jubah khalifah, akan melayani semua tamunya dengan kasih sayang.
![]() |
Lukisan Marc Chagall Loneliless (1933) |
Kaum sufi punya pendapat lain tentang politik. Bukan berarti anti politik dan anti sosial. Jika dibutuhkan kaum sufi akan keluar dari tempat uzlahnya, dan akan ikut menyumbangkan pemikirannya dalam diskusi-diskusi politik.
Nyatanya sekarang banyak sekali calon pemimpin mendekati para ulama yang mungkin juga sebagian menyandang predikat wali. Tapi dengan begitu anutannya tetap saja politik materialisme.
Ideologi politik kaum sufi itu zuhudisme. Perintisnya adalah Abu Bakar Ra. Yang digaji negara atas teguran Umar Bin Khattab kerana hendak berdagang membawa segembol barang dagangan ke pasar. Umar Ra mengkritik Abu Bakar karena khawatir tidak fokus dalam kekhalifahannya dan membawanya ke Baitul Mal Watamwil untuk mendapatkan gaji. Abu Bakar menerima gaji itu, tapi mengembalikannya, saat-saat beliau menjelang wafat.
Duplikasi Nabi SAW
Dalam Buku Abu Bakar As Shidiq karya Abdul Rahman Al Azizi, Abu Bakar bahkan pernah kedapatan Umar Ra. Sahabat sekaligus saingannya dalam kebaikan, kerap mengunjungi sebuah gubuk kecil di pinggiran Madinah yang dihuni nenek tua nan buta untuk membersihkan gubuk dan memberi makanan. Saat Umar tahu hal itu ia menangis, ia merasa masih belum juga mampu menyaingi sahabatnya itu sejak Nabi Saw. Masih ada.
Abu Bakar adalah duplikatnya Nabi Saw. Semua sikap dan tingkah lakunya betul-betul ditiru seratus persen. Karenanya ia pun banyak mengalami pengalaman yang sama dengan Nabi Saw. Seperti wafat di usia yang sama atau meninggal syahid dalam sebab yang sama yaitu diracun oleh musuh Islam. Mengenai penyebab wafat Abu Bakar memang terjadi pertentangan antar ulama. Sebagaimana juga sebab wafatnya Nabi Saw.
Abu Bakar juga kerap menjadi rujukan sanad guru-guru tarekat biasanya dari jalur Naqsabandiyah. Dzikir Naqsabandiyah sebagaimana sarah Miftahus Shudur yang di audiofikasi oleh The Power of Dzikir, merupakan cikal bakal dzikir khofi. Dzikir tawajuh yang bisa memperkuat nafs yang dipersiapkan untuk menerima makrifat dan Hakikatnya.
Politik zuhudisme berintikan pada diri yang banyak berdzikir. Kepemimpinan yang ditopang oleh faktor al ihsan, diri yang sadar akan adanya Dia yang ada setiap saat.
Karenanya keadaan masyarakat adalah tamuNya. Dan kepemimpinan yang salik adalah pelayanNya, sang hamba yang dibekali jubah khalifah. Hamba dan khalifah adalah bentuk cinta Allah kepada mahlukNya.
Pedang Keadilan
Dalam cinta, jubah khalifah menghunus pedang keadilan, sedang kehambaan menggenggam sifat kasih sayang. Hal itu Sebagaimana istilah dua sisi koin Taoisme dalam buku Sachiko Murata. Seorang insan kamil adalah khalifah sekaligus hamba.
Jika seorang pemimpin kerap menyambangi guru sufi. Ia akan diberikan pengajaran praktek kepemimpinan zuhud.
Syech Abdul Qodir Jilani kerap didatangi politisi. Jika malam hari mereka datang, Syech tak akan menemuinya. Syech Al Jilani memberi pengajaran pentingnya malam sebagai tempat ibadah. Suatu kali pemimpin korup memberinya sekantung uang, Syech Qutubul Adzom ini memeras kantung itu dan keluarlah darah.
Seorang Syech Mursyid pernah marah kepada salah satu muridnya. Karena mengusir murid lainnya yang ketahuan mencuri. Orang yang mengusir merasa dirinya telah menjalankan sesuatu yang dibenarkan oleh agama. Tapi Syech Mursyid kecewa ia merasa belum berhasil mendidik muridnya. Murid adalah bidak hakikat yang digerakkan oleh Allah. Suatu saat bisa jadi murid si pencuri itu menjadi murid terbaiknya.
Pedang keadilan harus lebih ditakuti kaum kaya dan berkuasa. Kepada kaum miskin diri hamba akan lebih mengemuka untuk melindungi dan menyayangi. Diri hamba menciptakan egalitarian, karenanya banyak Syech Mursyid menasbihkan diri sebagai Al Faqir, segalanya milik Allah. Seharusnya seorang penguasa berani menyandang nama ini. Seorang penguasa yang adil dan penyayang lahir dari masyarakat yang suka berdzikir. Yang karenanya pikirannya menjadi sehat. Masyarakat yang mengenal tarekat sebuah sendi yang cukup dilupakan dalam budaya masyarakat Islam.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar