Seni Zonder Falsafi adalah Seni Rendah
M. Taufan Musonip
![]() |
Lukisan karya JM Basquiat |
"Ilmu ladunni ini jauh memiliki potensi menyelamatkan mualimnya daripada sekolah formal, ilmu ladunni itu bersifat komprehensif dan kontinyu, empirik, rasional dan iluminatif. Tujuan keilmuan di sini adalah praktek amal, laboratoriumnya keluarga dan masyarakat.
Frasa 'malas berpikir' pernah berdengung di awal-awal reformasi, entah siapa buzzer-nya. Yang jelas waktu itu banyak yang membahas istilah ini. Buah perlawanan atas budaya 'malas berpikir' itu mungkin otonomi daerah, daerah dibebaskan untuk memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya alam yang dimiliki.
Wal hasil yang terjadi adalah pembalakan liar, penjarahan bahan tambang, penggundulan hutan, dll. Di Indonesia berpikir sekali saja cukup, mungkin terinpirasi hadits yang dikutip Syech Abdul Qodir Jaelani, dalam Sirrul Asror: berpikir sesaat setara puluhan tahun beribadah. Hadits tersebut didukung oleh QS. Ali Imron:190. Syech Abdul Qodir memberi motivasi untuk senantiasa bertafakur mendapatkan hikmah tentang apa saja dalam kehidupan ini yang bisa membangkitkan kesadaran berdzikir kepada Allah Swt.
Karena pahalanya besar, bukan berarti harus dilakukan sekali-kali saja. semesta ini terus berlari, tenaga kita tak akan bisa menyusulnya. Pikiranlah yang bisa menyusulnya. Pikiran yang cepat memahami laju semesta ini bisa disebut peradaban. Berpikir yang terstruktur disebut filsafat.
Sekadar Melegitimasi
Menurut Syed Muhammad Naquib Al Attas dalam esai panjangnya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu poin III, filsafat memang tidak menjadi perhatian orang Nusantara, atau tidak menjadi tampian dalam menerima kebudayaan luar, sehingga Hindu dan Buddha sebagai agama yang lebih dahulu diterima nampak tidak rasional. Padahal Menurut Al Attas, kedua agama itu luhur secara falsafi. Orang Nusantara menerima kedua agama tersebut: dengan tapisan seni, dan apa-apa yang tinggal sebagai unsur filsafat yang bersendikan budi dan aqliah dengan sendirinya tersingkir, jauh terusir terkocar kacir (Al Attas).
Perspektif tentang seni yang segar baru saya dapatkan dari tulisan beliau. Seni tinggi menurut beliau adalah seni yang mengandung pemikiran. Seni zonder filsafat hanya semacam tata upacara semata, sekadar mengagungkan dewa-dewa, tidak mengandung pelajaran.
Segala hal yang bersifat tabligh disisihkan. Yang tinggal hanya suasana yang dibangun gairah seni rendah. Suasana ini memanggil orang berkumpul, tapi kosong dari pembicaraan tentang pemikiran yang bisa mengangkat derajat manusia itu sendiri. Abdul Hadi WM dalam Tasawuf yang Tertindas, seni luhur itu hanya bisa diterima kalangan istana, sebagaimana Kerajaan Aceh pada sekira abad ke 16 mendapatkan tantangan dari arus bawah, melalui Hamzah Fansuri, yang melakukan pemurnian ajaran tasawuf vis a vis ajaran tasawuf India yang ditukangi Ar-Raniri sebagai ulama kalangan Istana, keduanya punya pendapat berbeda soal prinsip Wujudiyah. Anasir-anasir tasawuf dilembagakan dan disematkan pada tempat-tempat sakral kalangan Istana, tanpa permenungan mendalam, hanya sekadar melegitimasi upacara-upacara ritual yang masih kental nuansa Hindunya, seperti ziarah kubur atau upacara-upacara lain yang mengandung berahi.
Abdul Hadi meneliti karya-karya Hamzah Fansuri sebagai sastra tinggi, karena mengandung filsafat iluminasi Islam Ibnu Arabi. Tantangan yang diterima Kerajaan Aceh ini, tentu tantangan kelompok, Abdul Hadi tidak menyatakan itu tarekat, karena yang didalaminya adalah karya-karya Hamzah Fansuri bukan gerakan sosial. Kenapa ini penting dikemukakan? Karena gerakan tarekat itu sebenarnya mampu menjawab tantangan zaman yang diliputi anti falsafi tadi.
Kehidupan tarekat menjadi magnet orang-orang berbagai latar belakang. Intelektual, alim dan orang awam, orang awam jumlahnya tentu lebih besar, dan ini sering menjadi citra tarekat itu sendiri. Jika kita tenggelam dalam lautan tarekat, justru gairah belajar semakin tinggi. Meski ilmu yang didapati berbeda dengan ilmu kalangan alim dan intelektual, ilmunya ilmu ladunni, ilmu non formal, ilmu yang berdasarkan pemahaman dan tidak terstruktur. Tapi ada proses belajar, sama halnya belajar kaum alim dan intelektual. Ini ilmu ladunni yang berkembang di masa modern. Di masa lalu ilmu ladunni bisa membuat orang awam benar-benar menjadi ulama, ini dipengaruhi oleh kondisi alam, ghirah belajar, dan asupan makanan.
Jangan Terlena
Ilmu ladunni ini jauh memiliki potensi menyelamatkan mualimnya daripada sekolah formal, ilmu ladunni itu bersifat komprehensif dan kontinyu, empirik, rasional dan iluminatif. Tujuan keilmuan di sini adalah praktek amal, laboratoriumnya keluarga dan masyarakat. Orang yang sekolah formal pun harusnya mengejar keilmuan ini, karena yang formal itu terbatas, laboratoriumnya pun ruang kecil di pojok kampus. Dalam keilmuan ladunni, keilmuan harus bermanfaat. Ilmu tanpa manfaat adalah mercusuar yang membuat pemiliknya kesepian di tengah lautan.
Tapi itu adalah pakem kehidupan tarekat: seni yang mengandung falsafi. Tarekat adalah proses kreatif seni yang luhur, kitabiyah dan tradisi syair. Tujuannya adalah cinta Ilahi. Bukan ilmu itu sendiri. Banyak orang mengatakan ilmu tasawuf dan tarekat membunuh pemikiran, ternyata itu disebabkan alam sejarah dan budaya masyarakat Nusantara yang disampaikan Al Attas tadi, bukan karena ajarannya.
Sebenarnya gairah seni rendah itu alamiah saja, bagi negeri yang diasuh oleh subur dan hijaunya kekayaan alam yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Namun Al Attas mengingatkan agar jangan terlena, karena kekayaan alam tanpa dibarengi budaya kreatif, hanya berakhir pada pengrusakan-pengrusakan. Jika ingin melihat perkembangan ini lihatlah bagaimana penyair muda menggubah puisi, pedulikah mereka akan kegiatan falsafi sebagai cara merefleksikan kejadian di alam prarefleksi menjadi puisi? Proses kreatif menulis puisi bukan mengangkut alam kejadian ke dalam semesta estetika kata-kata, tapi buah permenungan di mana Ilmu pengetahuan menjadi tapisnya, penuangannya dengan kesadaran intuisi.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar