Kyai Muda Filsuf Mengajar Safinatunnajah
M. Taufan Musonip
Lukisan Karya Eric Wert (L.1976) "Mola Salsa" Oil on Panel, 24"x24" |
"Banyak kaum fuqoha yang akhirnya memilih hanyut dalam lautan tarekat, karena tergoda manisnya kalam kaum sufi hasil gemblengan Tazkiyatun Nafs bimbingan Guru Ruhaninya. Kalau dipikir-pikir pecinta ilmu fiqih itu harus melakoni laku zuhud juga, agar ia tak gegabah menghukumi suatu persoalan, sebab fiqih itu empirik sifatnya, bisa berubah dari waktu ke waktu, kecuali hal-hal yang sudah dipastikan keharamannya dalam Al Qur'an, juga hukum wajib sebagai syarat ibadah sebagaimana tuntunan Hadits.
Ada satu pengajian online seorang Kyai Muda dari Mranggen, menaja kitab fiqih dasar Safinatunnajah. Kyai Muda ini lulusan Al Azhar. Tapi mendengar Mranggen itu seperti suatu daerah yang pernah menjadi konsentrasi ajaran TQN dari jalur Banten. Kenapa saya bilang begitu? Karena beliau bicara tarekat dalam pengajian fiqih tersebut.
Kyai muda berkaca mata itu juga kerap membagikan konten filsafat tulisannya sendiri. Tulisannya panjang-panjang. Jadi saya penasaran, kok ada orang yang menulis tulisan filsafat yang panjang begitu, mau mengajar kitab fiqih yang sudah banyak dikenal masyarakat umum. Jadi saya ikut mengaji full dengan beliau sepanjang 90 menit. lama juga!
Di awal kajian dia berseloroh, "Ngaji fiqih itu ra' keren!" lalu dia melanjutkan kajian tentang niat dan takbiratul ihram dalam solat. Fiqih itu bersifat empirik, kulit luar dari ajaran agama Islam, beliau sendiri mengibaratkannya dengan kulit buah pepaya. Seakan membahas kulit itu kurang menarik tapi ini 'yang awal' yang menandakan manisnya bagian dalam.
Kalau Faqih seorang Zuhud
Fiqih dan puisi sama-sama bermain di area luar, dalam arti menyatakan diri. Yang satu perangkatnya hukum yang satu lagi estetika, pegiat keduanya sering berselisih paham, mereka itu para fuqoha dan para penyair sufi. Dari dulu mulai era imam empat mahzab, selisih paham ini terus terjadi. Pernyataan diri ahli fiqih seputar area ayat-ayat Muhkamat yaitu syariat (Melalui tafsir Qur'an), sedangkan kaum sufi ingin menta'wil ayat-ayat Mutasyabihat.
Banyak kaum fuqoha yang akhirnya memilih hanyut dalam lautan tarekat, karena tergoda manisnya kalam kaum sufi hasil gemblengan Tazkiyatun Nafs bimbingan Guru Ruhaninya. Kalau dipikir-pikir pecinta ilmu fiqih itu harus melakoni laku zuhud juga, agar ia tak gegabah menghukumi suatu persoalan, sebab fiqih itu empirik sifatnya, bisa berubah dari waktu ke waktu, kecuali hal-hal yang sudah dipastikan keharamannya dalam Al Qur'an, juga hukum wajib sebagai syarat ibadah sebagaimana tuntunan Hadits.
Kalau Faqih itu seorang zuhud, akan mempermudah dirinya melaksanakan ibadah-ibadah sunah, seperti misalnya pembagian solat-solat sunah berdasarkan waktunya. kalau seorang faqih yang kebetulan kaya raya dengan zuhudnya, dia akan sering mengamalkan zakat mal, zakat perdagangan atau zakat perkebunan. Ia juga akan menjajal puasa wisal (puasa sunnah yang berbuka daei saur ke saur) yang diperbolehkan atau puasa dahr, dengan begitu dia akan tahu kapan saatnya puasa sunnah itu akan disebut makruh dan kapan bisa menjadikan hukum mubah makan menjadi wajib. Kalau dia fuqoha yang sufi, dia juga pasti akan mencoba solat kusyuf (gerhana) yang sempurna, dengan lima kali rukuk, dan tiap-tiap rokaatnya membaca surat Al Baqoroh atau yang sebanding. Dengan begitu dia akan mudah menjelaskan ilmu fiqih kepada para jamaahnya, sebab dia sudah sering mengamalkan.
Kenapa demikian? karena orang bisa mudah dan gemar beribadah itu dengan tindakan zuhud kaum sufi, sebab sebagaimana kitab Tanbihul Ghofilin, mengamalkan ilmu itu seberat memanggul gunung Uhud. Karenanya Imam An-Nawawi fuqoha penulis kitab fiqih babon yang berjilid-jilid itu melakukan puasa wisal, dan Penulis Kitab Fiqih Fathul Wahhab Zakaria Al Anshori bisa juga beliau ahli zuhud, kalau tidak, tidak mungkin dalam bab tayamum beliau sangat hati-hati sekali menghukumi kebolehan bertayamum, sebab fiqih bukan sekadar membahas ilmu hadits tentang sifat darurat tayamum 'lagi' sekadar mensyarahi hukum fiqih terdahulu, akan tetapi terus mengatualkan hukum melalui pengalaman mempraktekan ilmu oleh ulama fiqih dalam berbagai kondisi.
Pada masa kontemporer di Indonesia, fiqih terus berkembang baik dalam Basul Masa'il maupun Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kalau bisa yang lebih banyak terlibat itu juga ulama tarekat. Muhammadiyah pun orang tarekatnya sudah banyak.
Bisa lebih hati-hati
Fiqih itu bagian keindahan lain umat Islam selain peradaban puisinya. Ia sama-sama Yang Lahir, tapi medianya berbeda, ini yang banyak disalah pahami terutama oleh orang tarekat, yang males mendalami ilmu fiqih. Orang tarekat lebih banyak menyelami Yang Batin, sehingga menyukai kalam dari pada hukum. Lebih sabar dalam menghukumi keadaan dan orang lain daripada kaum fiqih, Karena ia sudah menembus atau langsung ingin bermain di area dalam. Keburu terkesima dengan manisnya alam hakikat. Padahal ia tetap harus keluar, untuk menyatakan Yang Batin tadi, karena ia telah merasakan nikmatnya alam batin, pengungkapannya bukan hukum tapi dengan seni.
Dan seni bisa menjadikan kontroversi. Dengan fiqih, kelompok sufi bisa lebih berhati-hati. Intinya epistemologi Islam itu untuk menghasilkan ontologinya, dia harus menyeimbangkan pengalaman antara empirik (indra), akal (Rasional) dan Intuisi. Dari ketiga itu usaha memaksimalkan bidang-bidang keilmuan, keindahan 'yang luar' tetap akan lebih dulu dilihat oleh orang lain, sebagai bentuk syiar. Puitik sekaligus Yurisprudence, melambangkan kehambaan sekaligus kekhalifahan, Transenden segaligus emanen.
Dengan begitu jika ada ulama yang tercerahkan karena filsafat peripatetik dan iluminatifnya, dan ia masih mau ngajar ilmu fiqih itu adalah keren! seperti kata Kyai M.S Arifin di atas. Ya, nama akun Facebooknya adalah Kyai M.S Arifin. Apalagi yang disampaikan kitab Safinatunajah, kitab umum yang bisa menarik orang berbagai kalangan untuk datang taklim.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar