Lomba Puisi dan Resiko Kealfaan Membaca Capaian Kontekstual Penyair
M. Taufan Musonip
![]() |
"Manhattan Beach Pear" 2012 Thomas Schaller (l. 1950) |
Penyair itu sudah banyak diikat oleh aturan-aturan estetika lagi ide apa yang diinginkannya sendiri. Proses menulis puisi itu berat, jika penyair menginginkan capaian idenya, ia akan mengorbankan sebagian unsur estetikanya. Sebaliknya jika unsur estetikanya yang diunggulkan bagian ide yang akan mengalami penekanan.
Hal itu wajar karena struktur estetika itu bersifat transenden. Sebagaimana prinsip ontologi profetik. Kenapa harus profetik? iya, karena selain tema ini memang sudah tidak begitu diperhatikan, tinjauan ini juga bisa menjadi penawar berbagai tulisan sastra yang sudah sedemikian dekonstruktif mau apa pun genre sastra yang dibicarakan. Realis sosialisme atau seni untuk seni yang sudah bertarung selama puluhan tahun lamanya di jagat Sastra Indonesia.
Teks puisi itu bersifat transenden, karena teks tak pernah mampu menampung ide. Yang batin itu selalu bersifat tak terbatas. Penyair membangun simbolitas agar yang tak terbatas bisa diucapkan. Haluan ini merupakan jalan tengah dari cara ucap sastra: yaitu yang simbol bukan yang bersifat sensual, yang refleksi bukan yang politis.
Sosialinguistik
Yang simbol pun tetap bisa dikalahkan oleh "yang harus dinyatakan". Jika yang harus dinyatakan belum mampu dilukiskan maka penyair akan menanti ilham tentang bentuk simbol bagi yang harus dinyatakan tadi. Karenanya profetik kerap menjadi alat bagi tema-tema religiositas. Kini jika haluan ini harus mengemuka memberi ruang pilihan alat nilai dan jalan lain kreatifitas ia harus dinyatakan dalam berbagai peristiwa sastra dan kritik karya sastra secara umum.
Tinjauan profetik akan berpengaruh pada pencapaian-pencapaian kontekstual. Lagi pula nyatanya puisi dan penyairnya tetap tak pernah bisa saling meniadakan sekeras apapun dekonstruksi bersuara: pengarang telah mati!
Pencapaian-pencapaian kontekstual tidak harus berbentuk prestasi, tapi gairah mendalami sesuatu sebagai medan riset yang merupakan ujud alam pra-refleksi bagi seorang penyair.
Suatu kali misalnya saya mendapati puisi bernuansa sufistik, saya akan tetap ingin mencari tahu apa yang tengah menjadi perhatian penyair untuk puisinya dan capaian sosialnya. Kenapa penyair menulis puisi jenis tersebut. Apa dia memang tengah tenggelam dalam lautan komunitas tarekat misalnya, atau tengah asyik mendalami ilmu tasawuf. Juga halnya dengan genre-genre lain, pembaca akan tetap penasaran kenapa penyair tertentu menyukai menulis puisi tema tertentu.
Jika puisi merupakan medan refleksi penyairnya, alam pra-refleksi yang digelutinya akan menjadi objek yang dibiarkan hidup selama waktu yang cukup dalam sanubari yang diolah oleh alat epistemologi penyair. Jika puisi bagian dari dinamika kehidupan yang bernilai fenomenologi, maka fitrah pembaca akan selalu melihat aktifitas kontekstual penyairnya.
Tinjauan profetik akan selalu mempertimbangkan sosiolinguistik sebagai sasaran nilai. Cara-cara pembongkaran budaya teks Chairil Anwar atas budaya teks melayu klasik, adalah capaian kontekstual Chairil Anwar di atas pengaruh kehidupan penyair yang bohemian ini.
Tapi kita juga tak melupakan kegiatan kemasyarakatan Kuntowijoyo yang dikenal sebagai akademisi, ketika membaca kumpulan puisinya Suluk Awang-uwung setelah dua novelnya bernuansa sufistik seperti Pasar dan Wasripin dan Satinah, yang dari sisi penggarapan kisahnya sangat hidup dan jauh dari kesan eksperimentalisme. Capaian kontekstual Kuntowijoyo adalah beliau merupakan peneliti yang minatnya dibidang sosiologi religius.
Cara
Bagaimana pun hakikatnya puisi tetap pakaian atau cara orang menyampaikan pesan. Dan cara ini bisa merupakan ruang spasial yang melukiskan kepiawaian penyairnya mencitrakan pengalaman pra-refleksinya, yang lebih mendalam ceruknya dari soal sensualitas dan politis. Untuk mendapatkan ceruk dalam itu penyair akan tidak menghendaki tema yang disuguhkan secara eksternal seperti dalam lomba menulis puisi. Penyair membiarkan dirinya hanyut di alam pra-refleksi yang bersifat lokal, yang menyentuh, yang pribadi dan yang bernuansa batin.
Memahami bahwa penyair itu lebih baik memilih keterikatan yang internal tsb saya diingatkan dengan Novel Kooong karya Iwan Simatupang yang tak berhasil meraih juara karena kalau tak salah seperti uraian Ajip Rosidi, Iwan mengirimkan naskahnya untuk lomba kalangan remaja entah maksudnya apa itu? novel yang ditulisnya juga berat untuk pembaca remaja. Tapi karena Ajip Rosidi mengetahui novel tersebut ditulis pengarang besar, beliau mencetaknya dan menjadi novel legendaris. Iwan Simatupang tak peduli medan, ia tetap menulis sesuai kesanggupan menempuh ceruk kedalaman ide, tak mau dijajah oleh tuntutan tema suatu lomba.
Karenanya saya kurang tertarik menulis puisi untuk lomba puisi dengan tema yang ditentukan. Jika saya menjadi panitia, saya akan tetap membiarkan penyair mengirimkan biodata yang bisa diakses juri. Juri dengan tinjauan profetik membutuhkan itu untuk kebutuhan di atas tadi. Tapi sanubarinya harus terdidik menjadi penghukum adil, tidak melihat nama-nama besar dan teman sendiri yang mungkin masuk, selain melihat capaian estetik dan nuansa kontekstual penyairnya. Pada sekitaran tahun 2006an DKJ pernah mengumumkan pemenang novel Lanang yang secara penggarapan tema tentang kemelut kejahatan penanganan hewan ternak dan penyakit menular sesuai dengan bidang pekerjaan penulisnya yaitu seorang dokter hewan Yonathan Raharjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar