Darsam dan Minke : antara Akar Kekerasan dan Mimikri
Oleh M Taufan Musonip
Tentulah
kritik postkolonial merupakan cara paling tepat buat telaah atas roman Bumi Manusia karya salah satu tetralogi
Pulau Buru itu. Yang paling menarik adalah esai Keith Foulcher yang mendedah
soal mimikri diskursif, dari karya Homi Bhabha dengan objek pembahasan Novel Sitti Noerbaja (Sastra Indonesia Modern,
Kritik Postkolonial. 2008).
Mimikri
diskursif adalah perkembangan hibriditas budaya kolonial terhadap penduduk
pribumi, yang bisa kita ambil penuh sejak dicetuskannya politik etis pada masa
trias van Deventer, bagaimana menciptakan sebuah hubungan harmonis antar benua
jauh, dengan menciptakan masyarakat pribumi berbudaya orang kulit putih. Yang
disasar tentunya mereka para kelas menengah dan kaum aristokrat. Bhabha
mengkritik Franz Fanon, bahwa pilihan psikis kawula terjajah ketika berusaha
menjadi “putih” akan menghilangkan identitas beserta segenap kebudayaanya bagi
kulit berwarna adalah tidak wajar, sebab yang terjadi justru kamuflase
identitas, guna membangun semacam kritik terhadap tradisinya sendiri termasuk
gelombang “pemutihan” itu juga (Foulcher, 2008).
Minke
Mimikri
diskursif dalam Bumi Manusia terjadi
secara lebih “cerah” dinyatakan daripada Sitti
Noerbaja ---tentu karena roman Pramudya Ananta Toer itu lahir pada masa
postkolonial dengan landas tumpu ketika bangsa Jepang bangkit dan menjelang
keruntuhan imperium pemerintahan kolonial di Hindia--- terlebih sosok Minke
sebagai tokoh protagonis di dalamnya berbeda dengan Samsoelbahri yang memilih
masuk ke dalam satuan angkatan perang kolonial karena keputusasaannya tak dapat
menggenggam kasih cinta kepada Sitti Noerbaja, dan menghadapkan dirinya kepada
Datoek Meringgih, selain seorang bajingan serakah dan tukang kawin juga sebagai
pembangkang kebijakan pajak yang ditetapkan pemerintah kolonial di Minangkabau.
Minke punya
sikap juang terhadap mimikri yang dialaminya, itu didapat ketika dia berhadapan
dengan tokoh antagonis yaitu abang dari kekasihnya, Robert Mellema ---anak
sulung dari Nyai Ontosoroh--- yang berpihak pada budaya Eropa, sementara dia
tidak bersekolah seperti Minke meski anak Pribumi, hal itu dapat kita rasakan
dalam fragmen berikut:
“Baik,” katanya sambil mengangguk-angguk. “Dan jangan
pula kau lupa, kau hanya seorang Pribumi.”
“Oh. Tentu saja aku selalu ingat, Rob. Jangan kuatir.
Kau pun jangan lupa, dalam dirimu ada juga darah Pribumi. Memang aku bukan
Indo, bukan peranakan Eropa, ada juga ilmu-pengetahuan Eropa dalam diriku,
yaitu yang serba Eropa kau anggap tinggi.”
(Bumi
Manusia, h. 160)
Mimikri
sebagaimana penerimaan pasrah terhadap budaya kolonial, dengan secara aktif
memutihkan diri dalam pendidikan Eropa, hibriditas terjadi sebagai diskursus
yang menghujam dalam diri seorang Minke. Artinya mimikri dimanfaatkan bukan
hanya hendak mempersiapkan pembangunan anti atau postkolonial akan tetapi
mencoba membenarkan pula yang salah dalam tradisi Pribumi, jelas sekali
terlihat hal ini ketika Minke dipanggil ayahnya, seorang Bupati baru diangkat,
dengan mencemooh segala tata krama dalam kantor bupati sebagai dosa nenek
moyang,
…Sungguh, teman-teman sekolahku akan menertawakan aku
sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki,
di atas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan
bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau
ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam?
(Bumi
Manusia, h. 181)
Mimikri
diskursif juga terjadi ketika peran Nyai Ontosoroh sebagai istri tidak sah Tuan
Tanah Henry Mellema, secara penuh diajarkan segala tradisi dan budaya Eropa,
ketika Nyai Ontosoroh bertanya, “Sudahkah aku menjadi seorang wanita Eropa?”
seolah Henry Mellema menjadi corong Bhabha, “kau tak akan menjadi Eropa, tetap
menjadi seorang pribumi yang punya daya tangkap baik terhadap ilmu pengetahuan
melebihi kaum kulit putih”.
Darsam
Namun
menarik juga jika kita melihat tokoh Darsam, seorang jawara Madura, yang
menjadi penjaga keamanan Boerderij
Buitenzorg (Perusahaan Pertanian) milik keluarga gundik Tuan Mellema itu.
Bagi saya Darsam merupakan sebuah benteng kokoh dari proyek hibriditas kaum
kulit putih terhadap pribumi, sebuah ketahanan bagi percobaan mimikri.
Apakah
tepat kemudian jika Darsam ditempatkan dalam roman itu sebagai pusat kritik
hibriditas dan mimikri diskursif dalam wacana poskolonial?
Bagaimanapun
jawara itu punya arti sentral bagi kekuatan kuasa seorang Nyai Ontosoroh
terhadap Tuan totok Henry Mellema, dengan menyimak fragmen ketika Henry memaki
Minke saat bertandang pertama kali ke rumah pertanian itu. Nyali Tuan Totok itu
menciut ketika gundiknya melakukan pembelaan terhadap tamunya dengan berkata: “Apa perlu kupanggilkan Darsam?”
Darsam dipercaya
ketika dia berhasil menekuk seorang pencuri di Buitenzorg, dipercaya menjadi palang pintu, bukan saja dunia luar
tetapi serangan-serangan yang mungkin akan terjadi pada sikap Tuan Mellema atau
Robert Mellema yang tergila-gila pada budaya Eropa, sikap itu tercermin ketika
Darsam menjatuhkan ancaman terhadap si sulung:
“Siapa saja berani mengganggu. Nyai dan Noni, tak
peduli dia itu Sinyo sendiri, dia akan tumpas di bawah golok ini. Sinyo boleh
coba kalau suka, sekarang, besok atau kapan saja. Juga kalau Sinyo coba-coba
cari Tuan….”
(Bumi
Manusia, h. 152)
Darsam
tetap steril dan bebas dari pengaruh hibriditas dan mimikri, simbol golok atau
celurit, kumis yang tebal dan penonjolan seorang Madura, membebaskannya dari
itu. Karakter keras Darsam memungkinkan dirinya bebas dari jerat misi kolonial,
bukan karena semata dia hadir dari arus bawah, tapi sebagaimana tempat spesial
bagi kaum borjuis seperti Minke, Darsam punya
tempat mengekspresikan keadaan kolonialisme tanpa harus kehilangan identitas
aslinya, mencukur kumisnya dan mengganti golok dengan bedil namun tetap
memiliki sima untuk menyejajarkan
dirinya sebagai yang ditakuti.
Darsam
adalah akar kekerasan masyarakat Pribumi, yang tahan godaan untuk menjadi
liyan. Oleh karenanya seolah berkelit dari wacana kritik postkolonial, akan
tetapi kehadiran Darsam juga merupakan tantangan postkolonial, mengingat akar
kekerasan dalam perjuangan kemerdekaan hadir sebagai jalan lain daripada sisi
perjuangan pemikiran seperti tertanam dalam sosok Minke.
Yang lebih autentik
Pertanyaan
besar bagi kritik Postkolonialis adalah ditempatkan di mana budaya kekerasan
masyarakat pribumi yang tercermin dalam sosok Darsam itu? akan melihat
bagaimana kritik postkolonialis ketika Darsam punya posisi lain daripada Minke
yang dihardik Tuan Mellema, sebagai orang pribumi berpakaian Eropa namun tetap
terhina sebagai ras paling rendah di hadapan kaum penjajah, dengan
mempertimbangkan kekuatan posisi Darsam dalam identitas Maduranya? Seberapa
pentingkah menelusuri akar kekerasan bagi Postkolonial?
Saya rasa
pertanyaan itu harus dijawab oleh kritik poskolonial yang lebih autentik,
peminjaman mata Bhabha oleh Foulcher terhadap karya postkolonial di Indonesia
kurang mampu memberi analisa cukup tajam, hal itu karena wacana postkolonialis
Bhaba muncul di India yang perjuangan kemerdekaannya nyaris lepas dari
perjuangan secara heroik. Di Indonesia perjuangan kemerdekaan diwarnai dengan
aksi-aksi heroik, akar
kekerasan hadir secara pasti dalam sejarah kolonialisme di
Indonesia, yang pada kasus Darsam merupakan ciri dari benteng pertahanan arus
hibridisasi dan mimikri itu sendiri. Meskipun kritik Foulcher terhadap novel
Sitti Noerbaja menyiratkan ketahanan hibriditas pada sikap Datoek Meringgih
yang tak pernah berhubungan dengan lembaga-lembaga pemerintah Kolonial dan
berbagai penggambaran keserakahan serta kebegundalannya, fokus esai itu tetap
terasa sangat fokus mengarah hanya pada isu hibriditas. Meringgih nampak
seperti kontras yang “ditekan” tanpa muatan di sebaliknya, berhadapan dengan
hibriditas atau mimikri yang dialami Samsoelbahri.
Kritik
postkolonial tak bisa lepas dari itu, jika ia harus mempertimbangkan ucapan YB Mangunwijaya
tentangnya dalam tulisan Foulcher sendiri sebagai kolonialisme yang lebih lengkap, lebih multidimensional, lebih tuntas.…
Meski sebelum itu Foulcher sendiri justru berstatement bahwa kritik
postkolonialis hanya seputar perhatian formasi budaya hibrida pengalaman kolonialisme (Kritik Postkolonial,
Foulcher dan Day, h. 5). Namun yang diperlukan justru hadirnya kritik yang
lebih autentik bagi pengalaman masa kolonialisme di Indonesia yang dibangun
oleh para kritikus penerus postkolonialisme, apalagi mengingat dalam buku
kumpulan esai Sastra Indonesia Modern:
Kritik Postkolonialisme hanya menempatkan dua penulis Indonesia.
Tanjungsari,
26 Maret 2013
Buletin Jejak Ed. April 2013
Buletin Jejak Ed. April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar