Kamis, 09 Mei 2013

Esai


Darsam dan Minke : antara Akar Kekerasan dan Mimikri
Oleh M Taufan Musonip

Tentulah kritik postkolonial merupakan cara paling tepat buat telaah atas roman Bumi Manusia karya salah satu tetralogi Pulau Buru itu. Yang paling menarik adalah esai Keith Foulcher yang mendedah soal mimikri diskursif, dari karya Homi Bhabha dengan objek pembahasan Novel Sitti Noerbaja (Sastra Indonesia Modern, Kritik Postkolonial. 2008).

Mimikri diskursif adalah perkembangan hibriditas budaya kolonial terhadap penduduk pribumi, yang bisa kita ambil penuh sejak dicetuskannya politik etis pada masa trias van Deventer, bagaimana menciptakan sebuah hubungan harmonis antar benua jauh, dengan menciptakan masyarakat pribumi berbudaya orang kulit putih. Yang disasar tentunya mereka para kelas menengah dan kaum aristokrat. Bhabha mengkritik Franz Fanon, bahwa pilihan psikis kawula terjajah ketika berusaha menjadi “putih” akan menghilangkan identitas beserta segenap kebudayaanya bagi kulit berwarna adalah tidak wajar, sebab yang terjadi justru kamuflase identitas, guna membangun semacam kritik terhadap tradisinya sendiri termasuk gelombang “pemutihan” itu juga (Foulcher, 2008).

Minke
Mimikri diskursif dalam Bumi Manusia terjadi secara lebih “cerah” dinyatakan daripada Sitti Noerbaja ---tentu karena roman Pramudya Ananta Toer itu lahir pada masa postkolonial dengan landas tumpu ketika bangsa Jepang bangkit dan menjelang keruntuhan imperium pemerintahan kolonial di Hindia--- terlebih sosok Minke sebagai tokoh protagonis di dalamnya berbeda dengan Samsoelbahri yang memilih masuk ke dalam satuan angkatan perang kolonial karena keputusasaannya tak dapat menggenggam kasih cinta kepada Sitti Noerbaja, dan menghadapkan dirinya kepada Datoek Meringgih, selain seorang bajingan serakah dan tukang kawin juga sebagai pembangkang kebijakan pajak yang ditetapkan pemerintah kolonial di Minangkabau.

Minke punya sikap juang terhadap mimikri yang dialaminya, itu didapat ketika dia berhadapan dengan tokoh antagonis yaitu abang dari kekasihnya, Robert Mellema ---anak sulung dari Nyai Ontosoroh--- yang berpihak pada budaya Eropa, sementara dia tidak bersekolah seperti Minke meski anak Pribumi, hal itu dapat kita rasakan dalam fragmen berikut:

“Baik,” katanya sambil mengangguk-angguk. “Dan jangan pula kau lupa, kau hanya seorang Pribumi.”
“Oh. Tentu saja aku selalu ingat, Rob. Jangan kuatir. Kau pun jangan lupa, dalam dirimu ada juga darah Pribumi. Memang aku bukan Indo, bukan peranakan Eropa, ada juga ilmu-pengetahuan Eropa dalam diriku, yaitu yang serba Eropa kau anggap tinggi.”
(Bumi Manusia, h. 160)

Mimikri sebagaimana penerimaan pasrah terhadap budaya kolonial, dengan secara aktif memutihkan diri dalam pendidikan Eropa, hibriditas terjadi sebagai diskursus yang menghujam dalam diri seorang Minke. Artinya mimikri dimanfaatkan bukan hanya hendak mempersiapkan pembangunan anti atau postkolonial akan tetapi mencoba membenarkan pula yang salah dalam tradisi Pribumi, jelas sekali terlihat hal ini ketika Minke dipanggil ayahnya, seorang Bupati baru diangkat, dengan mencemooh segala tata krama dalam kantor bupati sebagai dosa nenek moyang,

…Sungguh, teman-teman sekolahku akan menertawakan aku sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam?
(Bumi Manusia, h. 181)

Mimikri diskursif juga terjadi ketika peran Nyai Ontosoroh sebagai istri tidak sah Tuan Tanah Henry Mellema, secara penuh diajarkan segala tradisi dan budaya Eropa, ketika Nyai Ontosoroh bertanya, “Sudahkah aku menjadi seorang wanita Eropa?” seolah Henry Mellema menjadi corong Bhabha, “kau tak akan menjadi Eropa, tetap menjadi seorang pribumi yang punya daya tangkap baik terhadap ilmu pengetahuan melebihi kaum kulit putih”. 

Darsam
Namun menarik juga jika kita melihat tokoh Darsam, seorang jawara Madura, yang menjadi penjaga keamanan Boerderij Buitenzorg (Perusahaan Pertanian) milik keluarga gundik Tuan Mellema itu. Bagi saya Darsam merupakan sebuah benteng kokoh dari proyek hibriditas kaum kulit putih terhadap pribumi, sebuah ketahanan bagi percobaan mimikri.

Apakah tepat kemudian jika Darsam ditempatkan dalam roman itu sebagai pusat kritik hibriditas dan mimikri diskursif dalam wacana poskolonial?

Bagaimanapun jawara itu punya arti sentral bagi kekuatan kuasa seorang Nyai Ontosoroh terhadap Tuan totok Henry Mellema, dengan menyimak fragmen ketika Henry memaki Minke saat bertandang pertama kali ke rumah pertanian itu. Nyali Tuan Totok itu menciut ketika gundiknya melakukan pembelaan terhadap tamunya dengan berkata: “Apa perlu kupanggilkan Darsam?”

Darsam dipercaya ketika dia berhasil menekuk seorang pencuri di Buitenzorg, dipercaya menjadi palang pintu, bukan saja dunia luar tetapi serangan-serangan yang mungkin akan terjadi pada sikap Tuan Mellema atau Robert Mellema yang tergila-gila pada budaya Eropa, sikap itu tercermin ketika Darsam menjatuhkan ancaman terhadap si sulung:

“Siapa saja berani mengganggu. Nyai dan Noni, tak peduli dia itu Sinyo sendiri, dia akan tumpas di bawah golok ini. Sinyo boleh coba kalau suka, sekarang, besok atau kapan saja. Juga kalau Sinyo coba-coba cari Tuan….”
(Bumi Manusia, h. 152)

Darsam tetap steril dan bebas dari pengaruh hibriditas dan mimikri, simbol golok atau celurit, kumis yang tebal dan penonjolan seorang Madura, membebaskannya dari itu. Karakter keras Darsam memungkinkan dirinya bebas dari jerat misi kolonial, bukan karena semata dia hadir dari arus bawah, tapi sebagaimana tempat spesial bagi kaum borjuis seperti Minke, Darsam  punya tempat mengekspresikan keadaan kolonialisme tanpa harus kehilangan identitas aslinya, mencukur kumisnya dan mengganti golok dengan bedil namun tetap memiliki sima untuk menyejajarkan dirinya sebagai yang ditakuti.

Darsam adalah akar kekerasan masyarakat Pribumi, yang tahan godaan untuk menjadi liyan. Oleh karenanya seolah berkelit dari wacana kritik postkolonial, akan tetapi kehadiran Darsam juga merupakan tantangan postkolonial, mengingat akar kekerasan dalam perjuangan kemerdekaan hadir sebagai jalan lain daripada sisi perjuangan pemikiran seperti tertanam dalam sosok Minke.

Yang lebih autentik
Pertanyaan besar bagi kritik Postkolonialis adalah ditempatkan di mana budaya kekerasan masyarakat pribumi yang tercermin dalam sosok Darsam itu? akan melihat bagaimana kritik postkolonialis ketika Darsam punya posisi lain daripada Minke yang dihardik Tuan Mellema, sebagai orang pribumi berpakaian Eropa namun tetap terhina sebagai ras paling rendah di hadapan kaum penjajah, dengan mempertimbangkan kekuatan posisi Darsam dalam identitas Maduranya? Seberapa pentingkah menelusuri akar kekerasan bagi Postkolonial?

Saya rasa pertanyaan itu harus dijawab oleh kritik poskolonial yang lebih autentik, peminjaman mata Bhabha oleh Foulcher terhadap karya postkolonial di Indonesia kurang mampu memberi analisa cukup tajam, hal itu karena wacana postkolonialis Bhaba muncul di India yang perjuangan kemerdekaannya nyaris lepas dari perjuangan secara heroik. Di Indonesia perjuangan kemerdekaan diwarnai dengan aksi-aksi heroik, akar kekerasan  hadir secara pasti dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, yang pada kasus Darsam merupakan ciri dari benteng pertahanan arus hibridisasi dan mimikri itu sendiri. Meskipun kritik Foulcher terhadap novel Sitti Noerbaja menyiratkan ketahanan hibriditas pada sikap Datoek Meringgih yang tak pernah berhubungan dengan lembaga-lembaga pemerintah Kolonial dan berbagai penggambaran keserakahan serta kebegundalannya, fokus esai itu tetap terasa sangat fokus mengarah hanya pada isu hibriditas. Meringgih nampak seperti kontras yang “ditekan” tanpa muatan di sebaliknya, berhadapan dengan hibriditas atau mimikri yang dialami Samsoelbahri.

Kritik postkolonial tak bisa lepas dari itu, jika ia harus mempertimbangkan ucapan YB Mangunwijaya tentangnya dalam tulisan Foulcher sendiri sebagai kolonialisme yang lebih lengkap, lebih multidimensional, lebih tuntas.… Meski sebelum itu Foulcher sendiri justru berstatement bahwa kritik postkolonialis hanya seputar perhatian formasi budaya hibrida  pengalaman kolonialisme (Kritik Postkolonial, Foulcher dan Day, h. 5). Namun yang diperlukan justru hadirnya kritik yang lebih autentik bagi pengalaman masa kolonialisme di Indonesia yang dibangun oleh para kritikus penerus postkolonialisme, apalagi mengingat dalam buku kumpulan esai Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonialisme hanya menempatkan dua penulis Indonesia.

Tanjungsari, 26 Maret 2013
Buletin Jejak Ed. April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar