Jumat, 12 Juli 2013

Esai

Peradaban Buku: Sudahkah Terjadi di Indonesia?
Oleh M Taufan Musonip

Basquiat Painting Dusthead
http://www.huffingtonpost.com

Buku bukan peradaban asli Indonesia, setidaknya hal itu telah banyak dibahas oleh beberapa tokoh terkemuka dalam bidang kesusastraan. Salah satunya A Teeuw yang menulis buku Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1997), melukiskan horison pembaca masyarakat Indonesia yang berminat terhadap karya-karya sastra karena indah ketika dibacakan secara lisan. Olehnya Sastra Indonesia memang berkembang karena kehadiran komunitasnya, bukan karena peran vital hadirnya perpustakaan.








Hari ini tak sepenuhnya terjadi demikian, sistem percetakan sesuai dengan permintaan (Print on Demand) membuat siapapun bisa dengan mudah menerbitkan buku, lagi pula sepertinya perkembangan penerbitan semakin baik,  meski belum ada yang meneliti berapa banyak jumlah penerbitan di Indonesia pada masa sekarang dibanding misalnya pada masa represif pemerintahan Orde Baru. Tapi benarkah kemudahan itu menandakan pula telah hadirnya peradaban buku?

Kamis, 13 Juni 2013

Esai

Buku Sastra dan Ukuran Kualitas Sastra
Oleh: M Taufan Musonip

Sastra merupakan tempat bagi terciptanya sebuah agen dalam “arena” budaya. Istilah arena di sini difungsikan sebagai persaingan antar elemen budaya, di mana agen yang memiliki modal budaya akan menjadikan dirinya sebagai penentu perubahan. Sebuah kemajuan budaya oleh karenanya ditentukan berdasarkan apresiasi atas produk budaya, sastra berada di dalamnya bersama dengan produk lainnya seperti musik, seni rupa dsb (Bourdieu, 2010).

Ada yang bilang apresiasi yang baik atas produk-produk budaya selalu berhubungan dengan tingkat kemampuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat menciptakan gairah terhadap pembacaan sastra tinggi. Akan tetapi sebenarnya apa yang dimaksud sastra tinggi itu?

Orang Amerika berbicara seni avant-garde, hadir dengan memanfaatkan perbendaharaan produk-produk dari budaya populer (Bodden, 2008), di Italia dengan merujuk tulisan Umberto Eco di halaman terakhir novelnya The Name Of The Rose, strukturalisme berdamai dengan avant-garde melalui post-strukturalisme: “belum tentu, sastra yang banyak diminati masyarakat akan jatuh menjadi sastra pop belaka”. Apa yang ditawarkan Indonesia dalam menentukan parameter sastra tinggi itu untuk menciptakan pembacanya?

Senin, 27 Mei 2013

Esai

Andangdjaja: dari Ketakteraturan kepada Keteraturan
Oleh M Taufan Musonip

Subjek “kita” dalam kumpulan esai tentang puisi, Dari Sunyi ke Bunyi oleh Hartojo Andangdjaja (1991) seakan berkesan didaktik, maklum penulis yang termasuk ke dalam golongan Manifes Kebudayaan ini, adalah seorang guru. Subjek “kita”, tersebar penuh dalam membahas jenis-jenis genre penulisan puisi. Apakah kemudian subjek tersebut merupakan cara pengucapan yang hendak menutup ruang pembaca untuk mengisi ruang kosong struktur dalam teks, sebagaimana Rifaterre, bahwa bagaimanapun dalam pengucapan sastrawi, memungkinkan pembaca punya penafsiran sendiri.

Meski mungkin hal itu lebih merujuk pada soal-soal puitik, sebenarnya bisa dilanjutkan pada persoalan posisi kritik sastra di tengah pembaca, karya dan pengarang oleh Arif Bagus Prasetyo (Horison, 2011) bukan lagi semata-mata rujukan yang mengantarkan membaca pada sebuah karya, akan tetapi merupakan jembatan “indah” yang dapat dinikmati tanpa memberi pengaruh kuat, untuk membangun strategi pembacaan sendiri pembaca karya kritik.

Subjek “kita” memberi pengertian retorik dalam istilah paralingual, dapat diartikan muncul sebagai bentuk pertimbangan di luar kata, sehingga nampak persuasif, menimbulkan efek searah. Inilah yang membuat bahasan-bahasan Hartojo mengenai puisi, seakan lebih hangat, seakan puisi-puisi yang dibahas begitu familier di hadapan pembaca.

Kamis, 09 Mei 2013

Esai


Darsam dan Minke : antara Akar Kekerasan dan Mimikri
Oleh M Taufan Musonip

Tentulah kritik postkolonial merupakan cara paling tepat buat telaah atas roman Bumi Manusia karya salah satu tetralogi Pulau Buru itu. Yang paling menarik adalah esai Keith Foulcher yang mendedah soal mimikri diskursif, dari karya Homi Bhabha dengan objek pembahasan Novel Sitti Noerbaja (Sastra Indonesia Modern, Kritik Postkolonial. 2008).

Mimikri diskursif adalah perkembangan hibriditas budaya kolonial terhadap penduduk pribumi, yang bisa kita ambil penuh sejak dicetuskannya politik etis pada masa trias van Deventer, bagaimana menciptakan sebuah hubungan harmonis antar benua jauh, dengan menciptakan masyarakat pribumi berbudaya orang kulit putih. Yang disasar tentunya mereka para kelas menengah dan kaum aristokrat. Bhabha mengkritik Franz Fanon, bahwa pilihan psikis kawula terjajah ketika berusaha menjadi “putih” akan menghilangkan identitas beserta segenap kebudayaanya bagi kulit berwarna adalah tidak wajar, sebab yang terjadi justru kamuflase identitas, guna membangun semacam kritik terhadap tradisinya sendiri termasuk gelombang “pemutihan” itu juga (Foulcher, 2008).

Sabtu, 13 April 2013

ESAI


Kematian Jaman dalam Kalapati
­­­Telaah untuk Buku Kumpulan Carpon Hadi AKS*
Oleh: M Taufan Musonip
                                    
Jalan kematian yang direnda oleh Hadi AKS dalam kumpulan carpon (cerpen) berjudul Kalapati begitu cekam. Kala berarti waktu dalam bahasa Indonesia, wanci dalam bahasa Sunda, atau lebih makro lagi: zaman, sedangkan kata pati, dalam bahasa Indonesia bisa disebut mati, atau kematian. Secara mikro Kalapati mungkin mewakili kisah seorang anak yang orangtuanya mati karena diduga sebagai dukun teluh di sebuah desa yang sedang diburu oleh isu santet (Kalapati, hal. 45).

Secara keseluruhan dari dua belas kisah pendek itu saya membacanya sebagai zaman kematian, atau bisa dibalik menjadi semacam kematian zaman yang mewakili kehidupan hari ini. Hadi AKS, hidup di zaman di mana modernitas mendesak lokalitasnya sendiri sebagai urang sunda. Keterdesakan itu memaksa Hadi untuk mengisahkan hidup manusia Sunda kiwari dalam bencana demoralisasi.

Kalapati, bisa direfleksikan dalam nafas filsafat nihilisme, yang destruktif, tragik, penuh cekam. Dari sanalah sebenarnya eksistensi seorang manusia dipertanyakan. Tapi bagi Hadi, tragedi merupakan bagian dari estetika itu sendiri, selain keteraturan. Maka dalam hal ini pengarang mengeksploitasinya, meski mungkin keadaan itu bukan suatu hal yang dikehendaki.


Karenanya kemudian oleh pengarang pembaca dibawa kepada kenyataan­kenyataan pahit, tentang incest, keinginan bunuh diri, kebencian terhadap orang tua, kesendirian, kegelisahan, kecemasan, dan kerusakan lingkungan yang menelusuri jalan pada kematian. Bagai martil yang memorak-porandakan kehidupan manusia lokal masa lalu sebagaimana diungkapkan dalam Lemah Cai Kulup (Hal.7):

“Bangsa urang mah, barudak, komo urang Sunda, katelah luhung budi. Béar daréhdéh, someah hadé ka semah. Titih rintih salawasna, dina ucap jeung paripolah,”

Tangan Tak Terlihat
Orang lokal yang pada kenyataannya memiliki budi baik pada tiap pendatang, yang menghayati benar kebersamaan, tergerus oleh sesuatu yang baru, datang dari berbagai perangkat modernitas,  memecah belah kebersamaan, menuju cacah­cacah individu yang tak pernah tahu keakuannya. Bagi Hadi modernitas semacam ketak­sempatan manusia untuk sejenak berpikir, menentukan pilihan hidupnya, menyadari dirinya sebagaimana manusia yang dapat menghayati kemanusiaannya.

Itu tergambar dalam kecekaman tokoh-tokoh yang diciptakan pengarang, Acéng yang melakukan pengejaran terhadap jaringan sindikat penjualan anak, untuk mencari adiknya, yang dijual ibunya sendiri dalam Basa Lambak Cahayaan (hal. 27). Seorang wanita muda dalam bayang­bayang ketakutan oleh berbagai hal yang melingkupi dirinya, kehamilan sebagai buah dari hubungan terlarang incest dengan kakak kandungnya sendiri dan kengerian buasnya alam semesta dalam bencana meluapnya sungai Citarum di mana wanita itu tinggal bersama abangnya(Sarah, hal. 18). Atau perceraian yang terjadi pada pasangan muda, sebagai korban dampak kebijakan politik transmigrasi, dalam Kalakay (hal.58).

Bayang-bayang mitos kala dalam Kala (hal.38) yang terseret arus modernitas yang serba rasional, namun tak bisa menjawab kesialan pada orang-orang yang tak beruntung, bagai sengaja dipertahankan, untuk mengukuhkan kemenangan sekelompok orang, sambil terus menertawakan mitos, sebagai cara mengekpresikan kekalahan, kala adalah  ilmu perbintangan kuno urang sunda, yang menjadi petunjuk bagi perjalanan manusia. Lain hal dengan kisah Kampung Samada (hal. 102), tiga bersaudara yang dicacah oleh wasiat seorang ayah. Wasiat itu disampaikan secara berbeda pada masing-masing anak, tentang di mana jenazah harus dikuburkan. Karena mempertimbangkan tokoh utama (aku) sebagai anak cikal yang menerima wasiat penguburan di dalam hutan, maka tiga bersaudara bersepakat menguburkan jenazah di dalam hutan. Mayat itu kemudian mengalami pelapukan, menjadikan hutan semakin sejuk dan subur, yang pada puluhan tahun setelah itu menjadi tempat hidup seluruh warga keturunan Ki Samada (nama tokoh ayah), sebagai awal malapetaka banjir dan longsor yang memakan banyak korban  penduduknya karena terjadi penggundulan hutan.

Hadi menggambarkan tokoh-tokoh tersebut secara partikular (dengan penggambaran penceritaan dengan cara si aku) sebagai lawan dan korban kuasa manusia yang kolektif sekaligus membentuk perlambang dekadensi sebagai ketakmampuan partikular dalam kehendak berkuasa sebagai kekuatan afirmatif kepada substansi sosial berwujud negara, perlembagaan, organisasi, perkumpulan dan kerumunan yang menciptakan superioritas kelompok manusia.  

Kisah-kisah itu memautkan nihilisme dalam perburuannya terhadap nalar, sebagaimana dilukiskan oleh Nietzsche, dalam aforisme perjalanan manusia di atas seutas tali,  yang begitu ngeri di intai bayang-bayang kejatuhan, perhentian yang lebih mematikan, dan jalan kembali yang lebih berbahaya. Sehingga hidup tak lagi mempertanyakan apa yang harus dilakukan, seperti seseorang yang tengah terkapar tertembus anak panah dari pemanah yang tak tahu muasalnya, untuk melupakan pencarian kepada si pembunuh, kecuali mencabut anak panah itu sendiri. Keadaan yang serba salah ini membuahkan tragedi, pesimisme, dekadensi, dari intaian kuasa tangan tak terlihat  ­­­otoritas agama, modal, kekuasaan, mitos­­­ yang kemudian menciptakan ketakmampuan berkomunikasi dengan kuasa itu sendiri, kecuali menjalani hidup tanpa memberi kesempatan pada nalar untuk menghujah keadaan sebagaimana harapannya.

Mobil Sejarah   
Bagi Hadi lokalitas tak lain merupakan bagian masa lalu dalam mobil sejarah yang sesekali melihat spion masa silam urang Sunda, menuju pergerakan jaman. Tinggal apakah masa lalu sunda itu merupakan sekadar panineungan atawa bayang­bayang yang senantiasa mengikuti modernitas?

Buku itu menjawab pertanyaan di atas dengan menghadapkan pembaca pada sebuah jaman modern yang berbicara tentang kelupaan pada arah jalan pulang menuju lemah cai, yang ketika sampai ke padanya, justru batas antara desa dan kota sudah semakin nirzona oleh serangan modernitas yang menafikan kemanusiaan, kenyataannya pada gugus desa pun tengah berlangsung keruntuhan nilai itu, seperti halnya tragedi kemanusiaan dukun santet di sebuah desa dalam Kalapati (hal 45) dan berbagai konflik sosial (Kalakay, Kampung Samada, dan lemah Cai Kulup).

Namun semangat Hadi dalam melukiskan dekadensi moral itu adalah semacam eksperimentasi bahwa pada dasarnya kebenaran yang digadang-gadang mampu menyelesaikan berbagai persoalan hidup mendapatkan maknanya dari sesuatu yang mendistorsi dirinya sendiri: Kriminalitas dan segala prilaku abnormalitas manusia dan hal itu semakin terasa dalam kisah-kisah lain (Kembang Pati, Kalangkang Bulan dan Anaking Jeung Bulan) yang tak bisa semua disampaikan di sini karena terbatasnya ruang.
***
Cikarang, 26 Agustus 2012
*Kalapati, Kumpulan Carpon Hadi AKS, Nomor: 411/KBU­G/2012. Kiblat Buku Utama Citakan ka­1, Rabiul Awal 1433 H./ Februari 2012

Minggu, 24 Maret 2013

Esai


Sastra Islam sebagai Alternatif (?)
Oleh: M Taufan Musonip

http://balidropshiper.files.wordpress.com
Islam tentunya memiliki posisi tersendiri dalam perkembangan sastra Indonesia. Boleh kita tanya, pada saat meletusnya polemik kebudayaan antara kubu Faust dan Arjuna, Islam berada di posisi mana?

Faktanya pada awal penyebaran agama ini di Indonesia, Islam memanfaatkan naskah-naskah karya sastra lama, daripada secara terbuka menyampaikan nilai-nilai agama. Ada proses sinkretis dan akulturasi tentunya di sini, misalnya ketika Islam memanfaatkan naskah Hikayat Sri Rama dengan menghadirkan sosok Nabi Adam untuk menggantikan Batara Kala. Yang juga menjadi nenek moyang Sri Rama, Nabi Adam pula yang mengabulkan doa Rawana untuk menguasai dunia dalam kisah di naskah itu. Selain menyisipkan nama Adam, digantikan pula nama Dewa Mulia Raya dengan Allah Ta’alla (Ikram, 1997:150).

Senin, 18 Maret 2013

Esai


Kesusastraan Tanpa Kehadiran (Apresiasi) Sastra
Oleh M Taufan Musonip

Secara ekstrem apakah dapat dikatakan sebuah krisis kebudayaan dapat disebabkan karena manusia kurang memerhatikan sastra sebagai produk kebudayaan di antara produk lain yang berkembang dalam masyarakat?

Sastra Tanpa Kehadiran Sastra sebagaimana ditulis oleh Wiratmo Soekito (Sastra dan Kekuasaan: 1984) dalam kacamata hari ini bisa jadi merupakan gambaran kondisi masyarakat yang dilingkupi karya sastra, pada situasi tanpa keterjalinan komunikasi, sehingga gagasan-gagasan yang dibangun dalam sebuah karya sastra mengenai kebaikan, melalui hantaran daya estetik belum menjadi tempat rujukan lain dalam usaha membangun pencerahan.

Minggu, 17 Februari 2013

Esai

Krisis Bahasa, Krisis Sastra (?)
Oleh M Taufan Musonip

Bila ditelusuri apa pentingnya sastra bagi sendi kehidupan, maka akan didapati bahwa aktifitas kesastraan bukan sekedar bagaimana melahirkan penulis-penulis kreatif, tetapi merupakan inpirasi bagi berbagai aktifitas kehidupan. Bahasa adalah unsur utama membangun dunia, sedang sastra merupakan unsur kedua (Teeuw, 1996).


Segala sesuatu dimulai dari bahasa, dia merupakan wadah gagasan sekaligus cara pandang. Gagasan yang tak memiliki cara untuk menyusun cara pandang terhadap dunia melalui bahasa, maka pada saat itu sebuah masyarakat manusia tengah mengalami krisis kebudayaan. Kebudayaan bukan merupakan cermin keadaan, tetapi merupakan kumpulan narasi yang mendesak perubahan. Ungkapan Xiaoping tentang kucing hitam, telah merubah Negara China, menjadi negara terbuka, dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di Eropa, ungkapan “Aku berpikir maka aku ada” menjadi “roh” peradaban membangun bangsanya. Di Indonesia ungkapan-ungkapan progresif seperti itu pada masa kini tengah mengalami defisit. 

Senin, 28 Januari 2013

Esai

http://daxbennington.blogspot.com/2010/04/atheistic-existentialism.html



Pembacaan Teks Sastra, kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme
Oleh: M Taufan Musonip

Kumpulan Esai Kesusastraan dan kekuasaan (Yayasan Arus, 1984) karya Wiratmo Soekito, yang pada tulisan pembukanya menelusuri secara singkat kiprah George Lukacs, dalam gerakan sosialisme yang meneruka jalan kesustraan pada pembacaan atas dua novel Franz Kafka, Der Prozess dan Der Schllos, merupakan imajinasi tentang pergerakan kepahlawanan melawan kekuasaan diktator yang pada satu dasawarsa berikutnya setelah dua novel itu terbit (1930an) muncul di beberapa negara pemerintahan diktatoriat.

Wiratmo berpendapat bahwa pada kenyataannya teks menciptakan universalitas, dalam cahaya pencerahan, sebagaimana teks Sumpah Pemuda membentuk perkumpulan awal membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan seperti halnya pula karya­karya sastra lainnya yang telah memberi inspirasi pergerakan: Karya­karya Muhammad Iqbal yang menginspirasi kemerdekaan Negara Pakistan, atau Novel Uncle Tom Cabin yang memicu perang Saudara.

Berbeda dengan Wiratmo, A Teeuw dalam bukunya Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994)  menyatakan dengan adanya jarak (distance) antara sang kreator dengan pembaca pada budaya teks ketimbang antara pembicara dan hadirin, justru akan membangun pembacaan multitafsir khalayak pembaca. Apa sebenarnya letak perbedaan dari wacana yang disampaikan Wiratmo dengan Teeuw itu? Jika kita memahami bahwa keduanya sebenarnya sedang membicarakan tradisi tulis dengan pertimbangan­pertimbangan kesusastraan.

Sabtu, 19 Januari 2013

Esai

Imaji Ornamen Karya#1 karya Reno Megy Setiawan



Kelahiran Kritikus dalam Tradisi Cetak Karya pantun:
Proyeksi Rencana Penerbitan Buku Besar Pantun (B2P)
Oleh M Taufan Musonip

Rencana Iwan Soekri pendiri Grup Pantun di jejaring Sosial Facebook (http://www.facebook.com/groups/297755106918835/) ---yang sudah menjaring anggota lebih dari 3000 orang itu--- menerbitkan Buku Besar Pantun (B2P), cukup mencengangkan. Pasalnya, rencana tersebut bukan hanya memerlukan biaya cukup besar tapi sejauhmana peluang buku tersebut dapat membuka kesadaran masyarakat pentingnya berpantun, bagi saya pantun  adalah seni bertutur yang mampu menyampaikan  realitas makna sebagaimana adanya. Pantun memang masih tumbuh dalam keseharian kita, sebagian besar diproduksi oleh media virtual (dalam acara komedi di televisi, misalnya), namun di dalamnya kita belum banyak mendapatkan asupan yang baik, sebagaimana pantun nenek moyang yang melahirkan banyak jenis pantun itu, pada akhirnya mengerucut pada satu tujuan yaitu inti sari kehidupan.

Pantun apabila kembali dimunculkan dalam kehidupan sastra dunia, dapat menjadi otokritik yang tepat menghadapi permasalahan dekonstruksi, jaman di mana realitas makna tak pernah sejalan dengan usaha permainan bahasa, kecuali gaung kemerdekaan yang diserahkan kepada pembaca ketika mereka melahirkan banyaknya pandangan atas teks yang memproduksi beragam makna. Dalam pantun realitas makna bukan saja dibenturkan ke dalam usaha permainan bahasa (meminjam istilah Jacques Derrida) terlebih bunyi (rima), namun tetap mempertahankan realitas makna sebagai inti nafas bahasa.

Esai

Komunitas Sastra dan Pembangunan Kekuatan Pribadi Lokal
Oleh: M Taufan Musonip

Pagi-Sore, Karya Hansen Thiam Sun
http://sahabatgallery.wordpress.com/2011/08/
Boleh diartikan kehadiran komunitas dalam eksistensi kesusastraan memberi peluang individu di dalam pembentukan diskursus hasil daripada puncak pencapaian estetika sebagai refleksi perkembangan individu manusia berkaitan dengan kondisi kultur masyarakat.
Komunitas bukan diartikan lagi sebagai budaya komunal masa lalu di mana itu selalu terkait pada isu-isu kesukuan. Pada masa ini komunitas menjadi semacam pembicaraan ekuminisme  dalam arus volkerwanderung manusia lokal kepada hal-hal baru yang dihujamkan kepada arus pemikiran pribadi yang dibentuk oleh tradisinya.
Artinya komunitas yang lahir dari pribadi-pribadi kedaerahan bukan berarti unifikasi kebaruan dan tradisi seperti halnya pentas seni kolaborasi antara gamelan dan musik hip-hop, estetika bagaimanapun adalah ekspresi pribadi yang bermigrasi dari hanya soal tradisi dan modernitas kepada keputusan estetika meski ia berpentas tentang tradisinya sendiri.
Kembali kepada pengertian aktifitas estetik, kepribadian menjadi soal utama ketimbang soal faktual yang menjadi arus hidupnya, komunitas menjadi tempat percakapan bagaimana pribadi- pribadi mengambil jarak atas peristiwa-peristiwa faktual yang hadir, di dalamnya termasuk pembicaraan soal eksistensi budaya tradisi yang tengah di hajar habis-habisan oleh modernitas. Oleh karenanya ---seperti diungkapkan di atas--- kehadiran komunitas harus merangsang individu di dalamnya bagaimana menjadi begitu soliter dari peristiwa faktual.
Di Indonesia, kedaerahan bukan hanya habis terganyang oleh modernitas dalam pengertian globalisasi, akan tetapi juga merupakan ekses kehendak negara dalam upaya mengaburkan soal tradisi secara genotip. Penyebaran masyarakat daerah yang bermigrasi ke daerah lain menjadikan tradisi kehilangan darahnya dalam mempertahankan kepribadian lokal. Ini terjadi bukan hanya pada masa orde baru ketika masa boomingnya transmigrasi membawa dampak jawanisasi di tiap daerah ---seperti istilah rusifikasi atas koloni komunisme Sovyet--- akan tetapi juga terjadi pada masa-masa agresi kerajaan mataram misalnya di tatar sunda, bahasa egaliter orang sunda tergusur oleh adanya undak-unduk basa (tingkatan bahasa) yang membentuk masyarakat kelas.

Sabtu, 12 Januari 2013

Cerita Bersambung, Tanah Edrich (1)


Tanah Edrich
…Namun, bagaimanapun juga jika ia (lelaki) merenungkan Tuhan dalam dirinya tanpa mereferensi pada wanita maka ia merenungkan-Nya dalam bentuk pasif… (Ibnu Arabi).

1
Di ujung jalan sebuah desa, sebagai perantara menuju kaki gunung Manglayang terbentanglah sebuah tanah hijau. Masyarakat menyebutnya sebagai tanah Vervonding, tanah peninggalan tuan tanah Van Erdich zaman kolonialisme belanda, karena terasimilasi oleh bahasa yang membudaya maka tanah tersebut secara turun-temurun berubah nama menjadi Tanah Edrich atau tanah Erik.
Tanah yang subur ini ditanami pohon-pohon perkebunan seperti kebun karet, dan tanaman palawija, saking suburnya tanah ini mengandung mitos yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat tinggal Nyai Dasima. Masyarakat setempat meyakini Nyai Dasima Tinggal di sebuah pohon beringin, sebuah pohon besar yang hampir menutupi tampak muka perkebunan itu.
Girl with a Pearl Earring oleh Jan Vermeer
Legenda Nyai Dasima diceritakan sebagai seorang pembantu rumah tangga, yang dengan kecantikannya berhasil memesona sang tuan tanah. Mereka melakukan skandal seksual yang membuat Nyai Dasima mengandung anak haram. Berita itu pada akhirnya menyebar dan sampai kepada Istri Van Edrich. Michelle Istri Edrich histeris bukan main, dan menghendaki agar Dasima diusir saja dari desa itu. Michelle berhasil mereduksi skandal tersebut menjadi sebuah konflik masyarakat, ia melakukan siasat dengan Sutami kekasih Dasima yang merasa terkhianati cintanya, dengan melaporkan skandal itu pada Kyai Usman.

Esai


Lokalitas dan Pemihakan Terhadap Orang-orang Terekslusi
Oleh: M Taufan Musonip

Modernitas menempatkan posisi kota dan desa bukan lagi semata-mata persoalan geografis. Sejatinya telah terjadi invasi modernitas secara membabi buta, melepaskan batas-batas itu. Orang-orang kota yang memegang kekuatan ekonomi, toh bisa merencanakan lanskap modernitas bahkan di pelosok desa.

Orang-orang desa bahkan sedang terdistorsi budayanya dari serangan distribusi produksi, industrialisasi, hingga rencana perkotaan mandiri. Prilaku materialistis menular begitu saja. Mereka dipaksa untuk menjangkau gaya hidup perkotaan yang menerjangnya. Sementara lahan pekerjaan yang dahulu tercermin dalam kebiasaan bercocok tanam, misalnya, sudah sedemikian tergerus.

Dalam keadaan itu, mereka kemudian merasa harus memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara orang kota, tapi selalu menjadi pertanda marjinalisasi bagi laku gerak modernitas.

Maka pada kenyataannya perkara kedaerahan bukan lagi persoalan asal muasal, tapi merupakan sebuah pilihan ketika orang mulai mencari tempat yang tepat untuk melangsungkan hidupnya saat ia harus mencoba peruntungan di luar kampungnya.

Lalu bagaimana mempertahankan kedaerahan itu mengikuti irama modernitas? Para sastrawan, hendak melakukannya dengan menguak kembali memori prilaku masyarakat kampungnya, menghadirkan simbolisasi mitologis tradisi dalam teroka kekinian.

Esai

"Mohamad Ali" Karya Andy Warhol

Hikmah Tragedi
Oleh M Taufan Musonip

Saya pikir bukanlah filsafat jika ia benderang. Memang pusatnya pada pikiran, tapi pikiran dilatih di dalamnya untuk mengetahui batas-batas yang tak bisa terjamah oleh pikiran. Itulah mengapa semua buku filsafat selalu mengurut dahi, ia pada akhirnya mitos pula.

Maka nalar dipertanyakan jika ia hanya mampu menelusuri garis-garis yang dapat dipikirkan. Nalar mendapat kritiknya, sejak Lacan menemukan istilah Psychedelica, para intelektual meyakini ada sesuatu yang lebih eksotis ketimbang apa yang hanya bisa kita lihat.

Maka akhir dari strukturalisme adalah munculnya koordinat cartesian, sebuah momentum di mana sejarah mengalami keterputusan (diskontinuitas), orang-orang mulai meyakini sesuatu di luar nalar. Intelektual dalam garis strukturalisme yang memautkan formalisme mendapat tantangannya. Filsafat di sini mengambil peran sebagai garda depan menunjukan para pemikir pada lorong gelap yang belum terjamah. Sesuatu yang benderang ditarik ke arah gelap, sesuatu yang berbicara tentang kematian itu, tentang sebuah kehendak mengetahui segala sesuatu memerlukan pembinasaan diri, seperti dikatakan oleh Foucault.

Atribut itu bermuara pada ciri berada manusia yang hendak aktual, maka waktu menjadi memiliki gambaran tersendiri, mekanisme sebagai titik yang merentang antara perputaran waktu didekontruksi menjadi waktu mengada. Maka dalam sejarahnya formalisme selalu memautkan pekerja-pekerja yang menyerah oleh waktu mekanis ketimbang pekerja-pekerja yang berkuasa atas waktu.

Pembinasaan diri dalam rentang waktu mengada, bukan berarti hanya berbicara mengenai yang diperlukan setelah mati. Tetapi menjadi semacam tumbukan yang bergerak dua sisi: keabadian dan kehendak berkuasa atas dunia.

Perlu digaris bawahi di sini, keabadian dan kehendak berkuasa bukanlah kehendak konservatisme terhadap keadaan. Keabadian dan kehendak berkuasa akan menjadi bola panas yang menggelinding ke arah strukturalisme. Menjadi semacam tragedi, sesuatu yang paling diingat dalam rentang sejarah kehidupan manusia.

Strukturalisme akan selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mengagungkan keabadian dan kehendak berkuasa, di sana digelindingkannya bola panas untuk melibas segala keteraturan yang ada. Bagai momentum retakan: bisa jadi revolusi atau perubahan secara bertahap.

Untuk melalui jalan terjal itu diperlukan pengertian terhadap sesuatu yang berada diluar nalar menghantam segala lanskap formalisme.

Esai



Mengenang Miles Davis Karya Rebeca Bessette dan Victor Pross
Lukisan diambil dari http://riskyrock666.blogspot.com/2011/06/5-lukisan-terkenal-bertema-musik.html

Kecemasan dan Penderitaan yang Menciptakan Kebaruan
Oleh: M Taufan

Segala sesuatu tercerai berai;
Pusatnya tak mampu menahan;
Hanya anarki yang lepas ke dunia
(WB Yeats, “The Second Coming”)

Kecemasan menurut Heidegger adalah pertanda jiwa kreatif. Ia adalah sesuatu yang tak dapat di terka muasalnya. Angst (kecemasan) berimplikasi pada kehendak untuk berkuasa, yang bagi Nietzsche bermula dari ketakutan dan kegelisahan.

Bagi saya ketiganya bermotif ghaib. Heidegger sendiri dengan lantang menyebut Nietzsche sebagai orang metafisika. Angst, Ketakutan dan kegelisahan pertanda adanya the other atau kelianan yang disengaja. Schacht membedakannya dengan posisi kelianan Hegel, dalam istilah Hegel kelianan adalah menembusnya individu ke dalam subtansi sosial yang ada dalam kehidupannya.

Motif kelianan Hegel adalah konservatif terhadap keadaan yang menindas, oleh karenanya Banyak sekali mendapatkan kritik oleh para filsuf belakangan. Sementara Angst ---sebagaimana ketakutan dan kegelisahannya Nietzsche--- semacam bisikan untuk menciptakan kebaruan, sebuah penderitaan yang diamini.

Bagi Nietzsce kehidupan tak lain adalah perjalanan dalam seutas tali yang dibentangkan pada dua tebing jurang,  penuh bahaya, suatu keadaan yang tak mungkin bisa memilih diam atau melangkah mundur. Bedanya Nietzsche tak mengamini kebaruan, ia seolah berkutat dalam kepercayaan sirkular “pengulangan abadi” sehingga sama sekali tidak progresif.

Sunardi membedakan tiga cara mengada manusia, ia adalah sein (ada), seinde (adaan) dan zu sein (to be). Pengulangan Abadi seperti digulirkan Nietzsche berpusat pada to be atau zu sein. Segala sesuatu bukanlah lagi ada tetapi adalah, maka ia memerlukan definisi, untuk memadah eksistensi maknawi (adaan) guna mempertimbangkan fungsi. Sementara Heideger memusatkan jiwa kreatifnya pada sein yang merujuk pada arche: kepemimpinan dalam filsafat untuk mendorong orang memusatkan diri pada kualitas pengalaman.

Kembali mengutip Sunardi bahwa semua gejala moral, keagamaan termasuk pengetahuan adalah semacam adanya kehendak untuk berkuasa dalam pengertian Filsafat Nietzschean yang bermula pada adanya kegiatan menafsir dan menilai seperti yang dilakukan Nietzsche sendiri dalam penilaian kembali semua nilai, maka kehendak berkuasa tak pernah lepas dari unsur ghaibnya sendiri.

Heidegger berusaha mentransformasi unsur ghaib dalam kecemasan (angst) pengasingan kepada sebuah eksistensi yang merdeka.

Esai


Seni dalam Tiga Dimensi Epistemologi
Oleh: M Taufan Musonip

gis.com.qa
“Seni adalah sebuah tanda eksistensi manusia. Maka bila manusia tak dapat memahami seni, ia tak memiliki jiwa kemanusiaanya, cenderung mendekati jiwa kebinatangannya”.  Kutipan tersebut adalah sintesa yang terkandung dalam sebuah cerpen berjudul Zingiber (HU Pikiran Rakyat, 3 mei 2008) , sebuah cerpen yang menggambarkan seni sebagai simbol yang mengandung makna yang dapat ditelisik dan diciptakan oleh penikmat atau pelaku seni.
Jika sintesa tetang seni sedemikian mempengaruhi kejiwaan manusia, maka seni merupakan satu media yang tak bisa direndahkan di antara sub bidang keilmuan lainnya. Oleh karena seni adalah jiwa manusia, maka eksistensinya dapat memberi penerang eksistensi sub bidang keilmuan lainnya. Mungkin kita sering mendengar ungkapan-ungkapan yang menggandeng seni dengan aktifitas keilmuan lainnya seperti seni perpolitikan, seni desain dan teknologi, hingga seni beragama.
Jika seni sebagai objek yang menjelaskan eksistensi kemanusiaan, maka paradigma kita melihat seni perlu dikaji ulang. Ini merupakan satu tesis  yang menyatakan seni dapat bergeser tergantung siapa yang mengerjakan objek seni, artinya apakah eksistensi seni itu hanya berakhir pada kedirian si pelaku seni atau dapat menembus batas eksistensi dan kedirian pelaku seni. Jika seni hanya berakhir pada kedirian si pelaku, maaf, maka seni baru bersifat memaknai sifat kebinatangan si pelaku. Seni sering dibatasi oleh sifat-sifat egosentrik si pelaku, karena jika tidak, maka hilanglah sifat ke-adiluhungan suatu karya seni, seni sering hanya dapat dibaca oleh kalangan yang mengerti seni itu sendiri.
Identifikasi manusia yang tak dapat mengerti arti sebuah seni yang dibuat si pelaku, adalah dampak kungkungan egosentris terhadap karya seni yang dibuat. Dalam hal ini muncullah dikotomi seni rakyat dan seni adiluhung. Seni yang dapat dimengerti oleh banyak orang dan seni yang hanya dimengerti oleh beberapa orang.
Namun jangan dulu miris terhadap kata sifat kebinatangan yang tertuang dalam sebuah karya seni, karena pada dasarnya seni adalah sifat duniawi. Sebuah makna yang disebut Nietzsche sebagai semangat Apolonian, yaitu upaya penggambaran dunia yang absurd, immoral, Nafsu hingga dendam. Banyak karya seni yang memuat hal ini, seperti bangunan piramida di mesir, taman gantung di Mesopotamia dan banyak lagi yang gambarannya hanya dapat dimengerti oleh beberapa orang yang mengerti esensi seni sekaligus sebagai sebuah ciri eksistensi kebesaran satu komunitas manusia. Bukankah manusia itu memendam sifat kebinatangan?

Esai


Masyarakat Air
Oleh: M Taufan Musonip


I
“Tenang dasar lautku: siapa bisa menduga bahwa ia menyembunyikan moster-moster sportif”(Also Sprach Zarathustra, F. Nietzsche).

Seperti kita ketahui air sangat bermanfaat bagi kehidupan kita, ia menyuburkan tanah hingga tetanaman tumbuh sebagai pemuas kebutuhan mahluk hidup dan menjadi salah satu penyebab hidupnya rantai ekosistem.
Arnold Toynbee menyebut sumber air dan alirannya (sungai), adalah merupakan latar berlangsungnya drama sejarah, dimana berbagai peradaban mulai tercipta. Peradaban Mesir lahir di dekat sungai Nil, begitupula dengan peradaban Sumero-Akadia (Armenia?) besar karena aliran sungai Tigris dan Euphrat, sementara Cina oleh sungai Kuning…. Aliran Air (sungai) adalah media transportasi memadai bagi umat manusia, agar ekspansi kekuasaannya centang perenang dapat mengekploitasi alam lebih jauh.
Starry Night Karya Van Gogh
Kerajaan Fir’aun dapat mengusai lembah Nil yang dulu dikungkung oleh mitologi Dewa Isis, karena menguasai aliran sungai Nil, dan menambah cerita legenda tentang kemenangan dewa Osiris atas Isis. Dan kehancurannya, tak pelak adalah melibatkan “kekuasaan” air, orang-orang Libya menyerang melalui laut merah, sementara Fir’aun Luluh lantak tenggelam oleh kesaktian Musa AS, ketika melakukan urbanisasi besar-besaran bangsa Israel menuju Palestina.
Orang-orang Eleatik Yunani meyakini mitos bahwa Air adalah simbol kekuasaan bijak sang Ayah (langit) terhadap Ibu (Alam), karena diakui sebagai energi lahirnya mahluk hidup yang produktif. Di China kita mengenal Bodhisatwa (ayah) atas Kwan-Im (Ibu) dalam ajaran Mahayana yang terakulturasi, sementara orang Yunani menyembah Zeus dan Elea.
Dalam buku Filsafat Sejarah Karya GWF Hegel, air laut (pesisir pantai) digambarkan sebagai puncak peradaban termaju ketimbang daratan Tinggi dan daerah berlembah, ia mengatakan: “siapa yang menguasai laut, ia akan lebih dulu maju”

Esai


Arti Mitologi Bagi Kretivitas Kita
Oleh: M Taufan Musonip

1
GWF HEGEL
Membaca Filsafat Sejarah Karya Hegel, membuat miris hati saja! belum saja lengkap membaca sampai satu bukunya, terlintas dalam pikiran dan benak saya untuk membenarkan apa yang pernah menjadi pemikiran Karl Marx: sebagai pondasi Das Kapitalnya.
Membuka kembali wacana pemikiran Hegel mungkin sudah ketinggalan zaman, sebab kita tahu dizaman kontemporer ini filsafat seolah sudah memihak kepada diskursus (yang melampaui Marxisme) relativisme moral dan kekuatan Pribadi. Para filsuf sudah banyak membicarakan tentang ketergantungan terhadap diri pribadi, dan sudah hampir melepaskan cengkraman “Tuhan”.
Kini pewacanaan semakin tertarik pada pemikiran Nietzsche ketimbang imanuel Kant, semakin penasaran kepada Muhammad Iqbal ketimbang Al Ghazali. Ini membuktikan bahwa pengaruh memanasnya Globalisasi memaksa orang untuk berpikir kekuatan pribadi ketimbang kekuatan kolektif.
Sebetulnya tak demikian dengan Hegel, dalam karyanya ia seolah mengatakan apa yang diharapkan para modernis, bahwa Agama “ada” demi kekuatan pribadi, berdasarkan Genealogis dan kondisi Alam.
Kebebasan-subjektif yang menjadi cita-cita Hegel, adalah sebuah kesadaran Agama tanpa paksaan dan tidak terejawantah dalam politik kekuasaan yang menindas suatu bangsa: demi melanggengkan kekuasaannya Agama dibuat menjadi seolah merupakan kebenaran universal yang memaksa.
Yang menjadi fenomenal dalam pemikiran Hegel adalah ketika Agama bukan lagi disebutkan sebagai kebenaran universal, akan tetapi ia menyebutnya sebagai kebenaran-pribadi. Konsep pemikiran tentang kebenaran-pribadi terhadap identifikasi agama menurutnya baru dimiliki oleh orang barat yang menyadari bahwa roh adalah sebuah kesadaran pemikiran yang menyebabkan masyarakatnya menjadi maju dan terdepan ketimbang masyarakat dunia lain. Disini Hegel terpengaruh oleh pemikiran Yunani tepatnya para idealis (Plato, Sokrates dan Aristoteles), bahwa roh adalah ide, adalah pemikiran, adalah rasional, dengan demikian bersifat individual.

Selasa, 08 Januari 2013

Cerpen

www.motoyuk.com

Dua Surat Kyai Arkeman
Oleh: M Taufan Musonip



Di sebuah lembah  seseorang telah membangun kembali gubuknya. Diagungkannya kesunyian, diserahkan bahasanya pada semesta. Dua ekor harimau sumatera menghampirinya, mengelilingi gubuk yang baru selesai dibangun, seperti dua orang peziarah yang tengah memutari  nisan ka'bah.
Dia lelaki yang telah dikalahkan.
***

Sehabis ternak-­ternak penduduk banyak yang mati karena kawanan harimau menggelandang di desa mereka. Sesudah babi­-babi hutan menghantui pesawahan dan perkebunan penduduk. Dan Lembah Dingin mengigil karena dibakar ambisi, dua orang utusan datang secara bersamaan di hadapan Kyai Arkeman.

Kyai Arkeman, sedang tergolek sakit pada sebuah dipan di ruangan terbuka menghadap punggung sebuah gunung. Salah seorang dari mereka adalah utusan Lurah Matkadi. Sementara seorang lainnya adalah bawahan Hasnan seorang pengusaha sawit.

“Saya hendak mengabarkan bahwa Pak Matkadi, tengah mengidap penyakit aneh. Tubuh beliau sering menggigil, seperti sedang tersurup jin, dia sering mengigau dalam keadaan pinsan. Saya datang ke sini, karena beliau sering menyebut Kyai.”

Arkeman yang tengah menderita sakit, hanya mengalihkan tatapnya pada seorang yang lain. 

“Pak Hasnan juga demikian, Pak Kyai. Sering menyebut­nyebut anda dalam sakitnya.”

Kyai Arkeman memerintahkan pembantunya, membawakan tasbih kayu cendana. Berzikirlah dia dibalik butir­butir cendana itu. Dalam zikirnya sekali­kali disebut nama Partodi  penghuni Lembah Dingin.

“Kalian, memintalah maaf pada Allah, azab telah datang melalui si bisu, Partodi.”

Kedua utusan itu pergi dengan langkah sepi tanpa dapat mengerti apa yang telah disampaikan Kyai Arkeman. Kecuali merekamnya dalam kepala mereka, untuk segera disampaikan pada para pengutus.

Cerpen


Tiga Kesunyian Menuju Sebuah Toko Kue
Oleh: M Taufan Musonip


Gerimis adalah kumpulan tangisan kesunyian

Angle of Death, diambil dari klaudani.com
Di setiap lubang jendela rumah, drama itu diperlihatkan, dengan mata seorang anak yang selalu mengintip di ambangnya. Awan menghitam menghimpun kesunyian yang meratap. Angin memendarkannya menjadi titik-titik air hujan dari langit.

Ini kesepian yang berulang baginya. Ayahnya pergi ke sebuah kota beberapa tahun yang lalu untuk bekerja. Sementara itu ibunya bertugas sebagai petugas loket bus antar kota, sudah pergi sejak pukul enam pagi tadi. Gerimis telah membuat rumahnya begitu sepi, dia menatap langit di ambang jendela seperti anak-anak lainnya.

Tapi pagi itu ia harus pergi menyusuri jalananan yang basah dengan mengenakan jas hujannya. Dia merasa harus mengisi perutnya dengan sepotong roti, sebelum bis jemputan sekolah menjemputnya pada pukul sembilan di sebuah shelter tak jauh dari toko kue itu. Langkah kecil itu mulai menyusuri jalan, kecipak air membuat tubuhnya seperti melayang. Biasanya setiap pagi seorang pembantu mengantarkannya sampai ke shelter. Tapi sampai dia memutuskan untuk pergi ke toko kue sendiri, pembantunya belum juga datang.

Kendaraan yang melintas di jalanan cukup lengang. Dia melihat malaikat kecil bersayap bertengger di sebuah atap gedung, sesekali melayang berbegar di langit. Orang-orang dewasa berjalan di trotoar dengan langkah yang lambat. Ketika dia harus menyeberang, malaikat kecil itu hinggap disebuah tiang nama jalan dekat toko kue di mana ia harus membeli rotinya.