Jumat, 05 April 2019

Cerpen

TV
M Taufan Musonip

Di sebuah bilik di bawah kolong jembatan,  Ki Sopran mencoba tv yang ia temukan di tumpukan barang rongsok. Tak jauh dari bedengnya. Setelah memutar-mutar antenanya,  ia temukan sebuah channel, meski masih bersemut,  ia melihat sosok perempuan. Dengan tv ia berharap dapat melihat keadaan negeri sendiri dan dunia, yang sementara ini hanya bisa dilihat di potongan surat kabar, yg kadang menceritakan negerinya beberapa tahun yang lalu. Atau,  pada spanduk-spanduk caleg di sekitaran rumahnya yang nampak seperti kandang merpati itu,  di mana tertulis bunyi serupa: membela wong cilik. Dengan spanduk-spanduk itu,  ia seperti terhubung dengan orang yang senasib dengan dirinya,  masih banyak orang yang nasibnya sama dengannya,  olehnya ia tak perlu terlalu risau. Tapi lama kelamaan bunyi tulisan seirama itu seperti membodohinya. Ia merasa tak percaya,  ia harus terhubung dengan sesuatu yang bisa lebih dipercaya: kini ia mendapatkan tv yang masih bisa menyala.

"Perempuan ini seorang menteri!" anaknya yang masih berumur dua puluhan bereaksi setelah lama membaca judul tulisan berita yang dikerubuti semut itu.

"Apa beritanya?" tanya Ki Sopran sambil mendekatkan kuping kanannya ke televisi.

"Men zzzz kedzzz ka, menj zzz terbaik zzz sezzzz azzzz zzzzik," begitu suara berita yang terdengar di kuping Ki Sopran.

Anaknya Ki Silah disuruhnya memutar mutar antena dari luar. Tapi semut makin banyak,  keluar dari televisi tersebut dan memenuhi cakrawala. Semua benda benda dan manusia hanyut oleh lautan semut. Dan sebelum itu ribuan semut masuk ke kepala Ki Sopran,  bunyinya mendengung seperti berita tadi:

"Mentrizzzz kedzzz ka, menj zzz terbaik zzz sezzzz azzzz zzzzik,"

Ki Silah menepuk pundak bapaknya,  yang mengidap penyakit manusia lilin itu,

"Bapak belum makan!" Ki Silah hanya memandang matanya yang tak berkedip dan mematung di sebelah tv. Ki Silah sudah lama ingin mengajak bapaknya pergi keliling kota, untuk membuktikan orang miskin masih banyak. Tapi ia menunggu serangan fajar.  Ia mendengar orang-orang dari menara raksasa akan turun ke kota-kota bersedekah, tak lama lagi.

Sabtu, 16 Maret 2019

Esai

Puisi dan Matematika
M Taufan Musonip

MATEMATIKA adalah seni mengolah angka. Sedang puisi seni mengolah kata,  beberapa ilmuwan sains sengaja melekatkannya untuk mengatakan bahwa matematika adalah puisi. Puisi tak pernah lepas dari angka,  keindahan pantun dibangun dengan deret angka suku kata. Termasuk geguritan memerlukan kaidah persamaan matematis tertentu untuk menghasilkan bunyi. Sedang persamaan matematika dibangun oleh kaidah puitis. Seperti halnya definisi bilangan prima.  "Ia adalah deret angka lebih dari 1 yang hanya akan habis oleh dirinya sendiri dan angka 1." Hal itu puitis meski ditulis dengan cara esai,  isinya mengandung khazanah spritual: setelah 1, kehidupan akan habis oleh dirinya sendiri melalui ketentuan hukum Tuhan. Mirip prinsip yang dianut kaum Assyari'iyah dalam Islam. 

Rabu, 27 Februari 2019

ESAI


Menonton Film-Film Festival Cannes Rentang Waktu 2010-2017
---Antara Snobisme dan Fantasi



Saya, mencoba menonton film yang mendapuk anugerah Palme d'Or Festival Cannes setidaknya antara rentang waktu 2010-2017.

Jika terbiasa menonton film Hollywood harus bersiap kecewa, film-film festival Cannes memiliki standar estetika yang tinggi, dan standar itu belum tentu membuat sebuah film menjadi menarik, kalau tak jujur bisa dianggap snobisme.

Sabtu, 05 Januari 2019

ESAI


Anasir Sains dan Seni dalam Islam sebagai Ilham Kesadaran Membaca Gerak Semesta
M Taufan Musonip

Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulunya menyatu, kemudian kami pisahkan antara keduanya; dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air, maka mengapa mereka tidak beriman?
(QS. 21:30).

Ayat tersebut adalah ayat dalam Alqur’an yang membuat seorang misionaris kristen dari Kanada terguncang keimanannya. Awalnya ia berniat mencari berbagai macam kelemahan Alqur’an. Tujuannya tidak tercapai, banyak ayat-ayat yang menyentuh kejiwaannya. Bayangkan bagaimana bisa, sebuah kitab suci yang sebelumnya dianggap hanya buah hayalan manusia dari Nabi yang mengabarkanya, mampu menunjukan jalan kebenaran dalam dua wujud, puitis sekaligus penuh nuansa sains. Ayat di atas bagai menceritakan sebuah teori sains yang dikenal dengan Big Bang, tapi disampaikan dengan sangat puitis.