Jumat, 16 Desember 2011

Esai

  Penguasa, Pengusaha dan Premanisme
Oleh: M Taufan Musonip

Seorang Budong yang mampu mematahkan celurit orang Madura seolah telah menjadi  mitos dalam setiap perbincangan kami. Betapa hebat orang itu, hingga mendapat bagian garapan bisnis limbah, wilayah yang terdiri dari pabrik-pabrik besar. Sarim sendiri, pemilik kos-kosan dua ratus pintu adalah mantan anak buah Budong, menelikung untuk mendapatkan jatah pasokan limbah. Keduanya pernah duduk dalam salah satu organisasi pribumi. Sarim tak lagi menginginkan dirinya memenuhi storan kepada Budong setelah dia berhasil mendapatkan SPK dari perusahaan-perusahaan yang ia tangani, selain berhasil mendekati para preman di tiap pabrik.
Budong tak dapat mengulang sukses seperti saat memecundangi kelompok Madura, karena Sarim melayaninya tidak dengan cara kekerasan, seperti adu kesakten, dia memulainya dengan cara terpelajar, Sarim berhasil mendapat dukungan dari aparat kepolisian dan militer, sebagian karena Sarim pernah terdaftar sebagai anggota kepolisian. Seperti dikatakan kaum pribumi, Sarim memang memiliki kedekatan dengan oknum-oknum di dua institusi itu. Secara perlahan akhirnya Budong merelakan sebagian wilayahnya berpindah tangan kepada Sarim.


Dari usaha limbah pabrik itu Sarim berhasil membangun pemukiman kost bagi para pekerja di Cikarang, sebuah pemukiman yang cukup megah, dia membuat lanskap dengan sebuah masjid yang dikelilingi kamar kost. Saya mendapatkan cerita ini dari seorang merbot penghuni masjid, belakangan terdengar Sarim tengah melanjutkan studi kesarjanaannya untuk mengejar karir politik mencalonkan bupati pada pemilu mendatang. Lalu saya membayangkan, bahwa cita-citanya itu bisa jadi telah membuat Sarim terlibat aktif dalam salah satu partai politik. Sebuah langkah maju untuk terus mengembangkan kekuasaannya tidak hanya sebatas soal bisnis limbah seperti dilakukan para pesaingnya, lebih dari itu, ia kemungkinan besar dapat mempertahankan dan memperluas kekuasaan bisnisnya, jika ia berhasil menjadi seorang Bupati.
Menjelang lebaran 2011 saya juga pernah melihat bahwa rumah Haji Sarim dikunjungi mulai dari para anggota partai politik, pejabat lokal, kepolisian hingga para preman. Hampir semua maksud kedatangan itu untuk meminta tunjangan hari raya kepadanya.
Saya bilang kepada kawan merbot ---sebagai salah satu anggota membership bisnis laundry saya, yang telah berbulan-bulan berhasil melayani para penghuni kos haji Sarim, untuk memberikan jasa pencucian pakaian mereka--- bahwa sekarang kekuasaan bukan lagi harus diperoleh dengan cara mengaji kesaktian seperti pernah dilakukan para jago di masa lalu, tetapi dengan mendekati pusat-pusat kekuasaan. Tetapi kawan lain yang sering hadir dalam setiap perbincangan kami telah kadung mengikuti kajian Al Hikmah, segera menyergah pendapat saya, bahwa istilah jago masih relevan di tengah percaturan bisnis dan kekuasaannya di Cikarang.
Tidak pernah jelas Kajian Al Hikmah itu berada, yang jelas para pemuda kampung meyakini bahwa kajian itu meliputi praktik-praktik ritual untuk membantu mereka menjadi kebal terhadap senjata tajam dan memiliki ilmu kanuragan. Sebagian alasan hal itu diikuti untuk mengimbangi kekuatan orang Madura yang sudah semakin besar kekuasaannya terhadap usaha limbah. Namun saya sendiri mengamininya sebagai usaha orang untuk memperdalam ilmu kanuragan, terlepas apapun nama kajian itu.
“Sebab yang kita hadapi adalah jawara-jawara yang sering mangkal di pabrik-pabrik mengawasi keluar masuknya limbah daur ulang.” Begitu jelas kawan saya sebagai pengikut aliran Al Hikmah, seorang sahabat yang benar-benar terinspirasi oleh Budong.
Istilah jawara, kemudian mengingatkan saya pada kumpulan esai yang dipajang di etnohistori.org, didalamnya berisikan bahasan tentang jawara atau preman yang menurut pandangan mereka sangat menguasai sendi-sendi negara bahkan semasa penjajahan belanda.  Judul bunga rampai itu sangat provokatif, Preman, Jago Negara.
Benarkah negara kita ini besar karena para preman?, artikel itu menjawabnya dengan berbagai kisah hidup para jawara, dari mulai Jawara Bang Pei yang memiliki kedekatan dengan Bung Karno ( Pengantar Esai) hingga esai Loren Ryter yang menuliskan kisah tentang geng-geng yang pernah hidup di Jakarta semasa awal pemerintahan Orde Baru, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak tentara, sejumlah nama geng disebutnya dari mulai Berland Boys, yang  menguasai daerah Matraman hingga Legos (Lelaku Goyang Senggol) di Kebayoran Baru, di mana diantara tetuanya kemudian belakangan terlibat aktif dalam partai politik, diantaranya Mangara Siahaan sebagai aktifis PDI-P, Yulius Usman di PUDI, atau Leo Tomasoa yang pernah menjadi tangan kanan komando Ali Murtopo, dan kemudian menjadi politisi Golkar. Selain itu Ryter juga menyebut Siliwangi Club, sebuah geng yang paling ditakuti masa Orba, karena bermukim dikawasan tentara, pemimpinnya adalah Yapto Soerjosoemarno, belakangan terkenal sebagai pemimpin Pemuda Pancasila.
Artikel yang lain ditulis oleh Ulil Amri, menceritakan pula beberapa sosok preman yang pernah berkuasa di Jogja, salah satunya adalah Mas Yono, aktifis PPP, riwayat hidupnya adalah catatan kelam kriminal, membuatnya pernah keluar-masuk penjara.  Atau artikel yang ditulis oleh I Made Suryawan tentang Pecalangan di Bali, pecalangan identik dengan jago yang disegani oleh masyarakat adat Bali, kekuasaannya bisa melampaui tugas aparat pemerintah, Suryawan menggambarkan seperti apa yang ditulis penulis sebelumnya, pecalang sering menjadi kaki tangan partai politik baik untuk mengamankan berbagai acara parpol maupun menggalang masa. Suryawan meyakini kehadiran pecalang ---yang direduksi dari akar kebudayaan agama hindu itu--- sebagai tempat yang cocok bagi parpol untuk mengerahkan kekuatan kelompok massa dengan mengangkat mereka sebagai satgas.
Seperti cerita yang berkembang di Cikarang tempat mukim saya, preman seperti menjadi jembatan efektif penghubung antara penguasa dan pengusaha,  keduanya membutuhkan jasa preman untuk melanggengkan kekuasaan dan bisnis mereka, setidaknya dengan begitu mereka dapat terorganisir oleh komando para jawara. Seperti dikatakan Henk Schulte dan Marget van Till dalam sejarahnya komandemen jawara atas anak buahnya memberikan penawaran atas rasa aman dilingkungan kekuasaan, meskipun Schulte dan Till tidak mengatakannya  dalam dunia bisnis.
Saya sendiri meyakini bahwa preman dalam dunia kontemporer terus bermutasi, preman bisa diartikan sesuatu yang ada diluar militer, tidak memiliki seragam dengan menjalankan hidup diluar aturan, baik aturan negara maupun norma. Tapi kemudian terus berkembang, preman tidak bisa selalu beratribut tanpa seragam, ---seperti pecalang yang ada di Bali identik dengan poleng (seragam hitam putih ) dan udeng (ikat kepala) --- tetapi mereka yang berseragam (sebagai atribut keteraturan) kemudian melanggar identitasnya sendiri.
Dalam sebuah agenda pembelanjaan di intansi daerah misalnya, fabrikan alat teknik harus diperdagangkan melalui perusahaan komanditer yang pemiliknya adalah orang dalam intansi tersebut, dikelola oleh para preman yang duduk dalam sebuah organisasi massa bahkan underbouw partai politik, dalam perjalannya hubungan premanisme, pengusaha dan penguasa akan memberikan kesempatan untuk menularkan bakat masing-masing, belakangan ketiganya terkadang menjadi sulit dibedakan, atau malah ketiganya menjelma dalam diri seorang manusia.
Namun demikian stigma premanisme tidak lah harus selalu buruk, ada preman-preman yang menguasai usaha haram seperti prostitusi dan perjudian menyisihkan keuntungannya untuk fasilitas umum, dan jasa penagihan yang dapat menyedot tenaga kerja, atau pemberdayaan para pemuda dalam sebuah organisasi massa. Terlepas dari benar atau tidaknya praktek premanisme dalam cara pandang keagamaan, toh premanisme memang menjadi ciri khas negara kita, bukankah praktek legalisasi kawasan prostitusi dan perjudian pernah dilakukan Ali Sadikin dalam membangun Kota Jakarta, saat ia menjabat sebagai gubernurnya?
***
Cikarang, 20 September 2011
M Taufan Musonip, pebisnis yang menyukai dunia sastra, tulisannya pernah dimuat di beberapa media lokal dan nasional. Sekarang aktif dalam Forum Sastra Bekasi mengelola Buletin bernama Jejak.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar