Penguasa, Pengusaha dan Premanisme
Oleh: M Taufan Musonip
Seorang Budong yang mampu
mematahkan celurit orang Madura seolah telah menjadi mitos dalam setiap perbincangan kami. Betapa
hebat orang itu, hingga mendapat bagian garapan bisnis limbah, wilayah yang
terdiri dari pabrik-pabrik besar. Sarim sendiri, pemilik kos-kosan dua ratus
pintu adalah mantan anak buah Budong, menelikung untuk mendapatkan jatah
pasokan limbah. Keduanya pernah duduk dalam salah satu organisasi pribumi.
Sarim tak lagi menginginkan dirinya memenuhi storan kepada Budong setelah dia
berhasil mendapatkan SPK dari perusahaan-perusahaan yang ia tangani, selain
berhasil mendekati para preman di tiap pabrik.
Budong tak dapat mengulang
sukses seperti saat memecundangi kelompok Madura, karena Sarim melayaninya
tidak dengan cara kekerasan, seperti adu kesakten, dia memulainya dengan cara
terpelajar, Sarim berhasil mendapat dukungan dari aparat kepolisian dan
militer, sebagian karena Sarim pernah terdaftar sebagai anggota kepolisian. Seperti
dikatakan kaum pribumi, Sarim memang memiliki kedekatan dengan oknum-oknum di dua
institusi itu. Secara perlahan akhirnya Budong merelakan sebagian wilayahnya
berpindah tangan kepada Sarim.
Dari usaha limbah pabrik
itu Sarim berhasil membangun pemukiman kost bagi para pekerja di Cikarang,
sebuah pemukiman yang cukup megah, dia membuat lanskap dengan sebuah masjid
yang dikelilingi kamar kost. Saya mendapatkan cerita ini dari seorang merbot
penghuni masjid, belakangan terdengar Sarim tengah melanjutkan studi kesarjanaannya
untuk mengejar karir politik mencalonkan bupati pada pemilu mendatang. Lalu
saya membayangkan, bahwa cita-citanya itu bisa jadi telah membuat Sarim
terlibat aktif dalam salah satu partai politik. Sebuah langkah maju untuk terus
mengembangkan kekuasaannya tidak hanya sebatas soal bisnis limbah seperti
dilakukan para pesaingnya, lebih dari itu, ia kemungkinan besar dapat
mempertahankan dan memperluas kekuasaan bisnisnya, jika ia berhasil menjadi
seorang Bupati.
Menjelang lebaran 2011
saya juga pernah melihat bahwa rumah Haji Sarim dikunjungi mulai dari para
anggota partai politik, pejabat lokal, kepolisian hingga para preman. Hampir
semua maksud kedatangan itu untuk meminta tunjangan hari raya kepadanya.
Saya bilang kepada kawan
merbot ---sebagai salah satu anggota membership bisnis laundry saya, yang telah
berbulan-bulan berhasil melayani para penghuni kos haji Sarim, untuk memberikan
jasa pencucian pakaian mereka--- bahwa sekarang kekuasaan bukan lagi harus
diperoleh dengan cara mengaji kesaktian seperti pernah dilakukan para jago di
masa lalu, tetapi dengan mendekati pusat-pusat kekuasaan. Tetapi kawan lain
yang sering hadir dalam setiap perbincangan kami telah kadung mengikuti kajian
Al Hikmah, segera menyergah pendapat saya, bahwa istilah jago masih relevan di
tengah percaturan bisnis dan kekuasaannya di Cikarang.
Tidak pernah jelas Kajian
Al Hikmah itu berada, yang jelas para pemuda kampung meyakini bahwa kajian itu
meliputi praktik-praktik ritual untuk membantu mereka menjadi kebal terhadap
senjata tajam dan memiliki ilmu kanuragan. Sebagian alasan hal itu diikuti
untuk mengimbangi kekuatan orang Madura yang sudah semakin besar kekuasaannya
terhadap usaha limbah. Namun saya sendiri mengamininya sebagai usaha orang
untuk memperdalam ilmu kanuragan, terlepas apapun nama kajian itu.
“Sebab yang kita hadapi
adalah jawara-jawara yang sering mangkal di pabrik-pabrik mengawasi keluar
masuknya limbah daur ulang.” Begitu jelas kawan saya sebagai pengikut aliran Al
Hikmah, seorang sahabat yang benar-benar terinspirasi oleh Budong.
Istilah jawara, kemudian
mengingatkan saya pada kumpulan esai yang dipajang di etnohistori.org,
didalamnya berisikan bahasan tentang jawara atau preman yang menurut pandangan
mereka sangat menguasai sendi-sendi negara bahkan semasa penjajahan belanda. Judul bunga rampai itu sangat provokatif,
Preman, Jago Negara.
Benarkah negara kita ini
besar karena para preman?, artikel itu menjawabnya dengan berbagai kisah hidup
para jawara, dari mulai Jawara Bang Pei yang memiliki kedekatan dengan Bung
Karno ( Pengantar Esai) hingga esai Loren Ryter yang menuliskan kisah tentang
geng-geng yang pernah hidup di Jakarta semasa awal pemerintahan Orde Baru,
sebagian besar dari mereka adalah anak-anak tentara, sejumlah nama geng disebutnya
dari mulai Berland Boys, yang menguasai
daerah Matraman hingga Legos (Lelaku Goyang Senggol) di Kebayoran Baru, di mana
diantara tetuanya kemudian belakangan terlibat aktif dalam partai politik,
diantaranya Mangara Siahaan sebagai aktifis PDI-P, Yulius Usman di PUDI, atau
Leo Tomasoa yang pernah menjadi tangan kanan komando Ali Murtopo, dan kemudian
menjadi politisi Golkar. Selain itu Ryter juga menyebut Siliwangi Club, sebuah
geng yang paling ditakuti masa Orba, karena bermukim dikawasan tentara,
pemimpinnya adalah Yapto Soerjosoemarno, belakangan terkenal sebagai pemimpin
Pemuda Pancasila.
Artikel yang lain ditulis
oleh Ulil Amri, menceritakan pula beberapa sosok preman yang pernah berkuasa di
Jogja, salah satunya adalah Mas Yono, aktifis PPP, riwayat hidupnya adalah
catatan kelam kriminal, membuatnya pernah keluar-masuk penjara. Atau artikel yang ditulis oleh I Made
Suryawan tentang Pecalangan di Bali, pecalangan identik dengan jago yang
disegani oleh masyarakat adat Bali, kekuasaannya bisa melampaui tugas aparat
pemerintah, Suryawan menggambarkan seperti apa yang ditulis penulis sebelumnya,
pecalang sering menjadi kaki tangan partai politik baik untuk mengamankan
berbagai acara parpol maupun menggalang masa. Suryawan meyakini kehadiran
pecalang ---yang direduksi dari akar kebudayaan agama hindu itu--- sebagai
tempat yang cocok bagi parpol untuk mengerahkan kekuatan kelompok massa dengan
mengangkat mereka sebagai satgas.
Seperti cerita yang
berkembang di Cikarang tempat mukim saya, preman seperti menjadi jembatan
efektif penghubung antara penguasa dan pengusaha, keduanya membutuhkan jasa preman untuk
melanggengkan kekuasaan dan bisnis mereka, setidaknya dengan begitu mereka
dapat terorganisir oleh komando para jawara. Seperti dikatakan Henk Schulte dan
Marget van Till dalam sejarahnya komandemen jawara atas anak buahnya memberikan
penawaran atas rasa aman dilingkungan kekuasaan, meskipun Schulte dan Till
tidak mengatakannya dalam dunia bisnis.
Saya sendiri meyakini
bahwa preman dalam dunia kontemporer terus bermutasi, preman bisa diartikan
sesuatu yang ada diluar militer, tidak memiliki seragam dengan menjalankan
hidup diluar aturan, baik aturan negara maupun norma. Tapi kemudian terus
berkembang, preman tidak bisa selalu beratribut tanpa seragam, ---seperti
pecalang yang ada di Bali identik dengan poleng (seragam hitam putih ) dan
udeng (ikat kepala) --- tetapi mereka yang berseragam (sebagai atribut
keteraturan) kemudian melanggar identitasnya sendiri.
Dalam sebuah
agenda pembelanjaan di intansi daerah misalnya, fabrikan alat teknik harus
diperdagangkan melalui perusahaan komanditer yang pemiliknya adalah orang dalam
intansi tersebut, dikelola oleh para preman yang duduk dalam sebuah organisasi
massa bahkan underbouw partai politik, dalam perjalannya hubungan premanisme,
pengusaha dan penguasa akan memberikan kesempatan untuk menularkan bakat
masing-masing, belakangan ketiganya terkadang menjadi sulit dibedakan, atau
malah ketiganya menjelma dalam diri seorang manusia.
Namun demikian stigma premanisme
tidak lah harus selalu buruk, ada preman-preman yang menguasai usaha haram
seperti prostitusi dan perjudian menyisihkan keuntungannya untuk fasilitas
umum, dan jasa penagihan yang dapat menyedot tenaga kerja, atau pemberdayaan
para pemuda dalam sebuah organisasi massa. Terlepas dari benar atau tidaknya
praktek premanisme dalam cara pandang keagamaan, toh premanisme memang menjadi
ciri khas negara kita, bukankah praktek legalisasi kawasan prostitusi dan
perjudian pernah dilakukan Ali Sadikin dalam membangun Kota Jakarta, saat ia
menjabat sebagai gubernurnya?
***
Cikarang, 20 September
2011
M Taufan Musonip,
pebisnis yang menyukai dunia sastra, tulisannya pernah dimuat di beberapa media
lokal dan nasional. Sekarang aktif dalam Forum Sastra Bekasi mengelola Buletin
bernama Jejak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar