Si Gemuk sebagai Perlambang Kebahagiaan Religius
M. Taufan Musonip
"Kini di tengah merebaknya budaya diet dan obat pelangsing badan. Kultur Gemuk bak samsak yang dipukul cercaan orang-orang yang hidupnya lebih teratur. Padahal gemuk atau kurus adalah badan yang keduanya bisa diambil berkah ibadahnya. Keduanya pula jika melalaikan diri dari ibadah kepada Allah sama-sama juga akan menjadi wadag nafsu. Seperti halnya dalam Tanwirul Qulub, apa-apa yang membuat seorang manusia lalai, meski bukan dalam bentuk makanan dan harta benda tetap saja disebut pecinta dunia.
"Catness" Ink Paint 2023 Karya Endre Penovac |
صِرَا طَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ ۙ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّآلِّيْنَ
"(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."
(QS. Al-Fatihah 1: Ayat 7)
Patung Dewa Sidarta Gautama itu gemuk. Kadang dipahat dalam bentuk sedang terlentang miring dan menyungging tawa. Gemuk itu lambang kebahagiaan religius juga. Juga perlambang rasa syukur atas rahmat Allah untuk seorang manusia. Dalam sebuah riwayat, akhir masa hidup Rosulullah Saw (Selawat serta salam senantiasa tercurah padanya, Selawat ummiyi) sebagaimana keterangan Siti Aisyah berbadan gemuk, solat witirnya awalnya 9 rokaat, berkurang menjadi 7 rokaat dan juga pernah terlihat solat duduk. Dalam Fathul Qorib solat sunnah tidak harus berdiri, juga dalam keadaan masakot, solat Fardhu boleh duduk, masakot adalah keadaan sakit yang mengganggu meskipun tidak menyebabkan seseorang tak mampu berdiri sama sekali.
Dalam riwayat lain Sahabat Ali Bin Abi Thalib pun bertubuh tambun, salah seorang murid Imam Hanafi yang dikenal cerdas sebagaimana disebutkan dalam kitab Manakib As'syafii yaitu Muhammad Abu Hasan juga bertubuh tambun, tokoh sufi yang berbadan gemuk ada Hassan Al Basri. Di masa kontemporer ulama yang gemuk ada KH Abdurahman Wahid dan tokoh Muhammadiyah yang menjabat Ketum paling lama yaitu Pak Ar.