Sabtu, 15 Juli 2023

FIKSI ESAI

Ekoreligifeminisme dalam Imajinasi Sufisme Rawa Binong

M. Taufan Musonip


"Jika kaum sufi hidup di jaman kemajuan teknologi seperti sekarang, konsep teknologi apa yang akan disumbangkannya kepada masyarakat?


 

Dari Web EYE,
karya @ibrahimsimsek.art IG


Robot drone seorang peneliti melintas memutar di langit Bekasi mencari suara dzikir orang tarekat. Ia mendarat di Rawa Binong. Tidak ada simbol teknologi, dan percakapan ilmu pengetahuan alam. Tapi robot drone terus memperhatikan, melihat danau Rawa Binong yang hijau bak jamrud itu, ia memutar sebentar di atasnya dan menyelam ke dasarnya. Menghitung perkiraan usia si danau. Ia merekam sebuah angka yang akan dilaporkan pada tuannya. Kemudian melangit lagi, mengukur luas hutan kebun dibalik mushola bilik yang sejak siang berdengung suara dzikir menghentak. 

Manqobah ke 8

Tak ada simbol teknologi dan percakapan ilmu pengetahuan alam. Hanya ada dzikir dan keluhan jamaah tarekat yang merasa belum bersih kalbunya, meski sudah dicuci kalimat tauhid. Tanda budaya rendah hati kaum sufi. Drone itu mengajukan protes sesuai konsep yang disimpan dalam CPUnya, bel sensornya terus berbunyi. Tapi ia bergerak dibawah kuasa tuannya, tak kuasa meski terus berbunyi kesal.

Yang menangis itu dari kalangan non intelek, tidak kaya dan tidak alim. Mereka menangis bahagia karena mereka bisa berdzikir terus menerus.

Kelompok sufi di Rawa Binong membiarkan saja si robot asing itu berbunyi, tak ada satu pun yang ketakutan. Semua sudah af'alnya Allah. Kekuatan teknologi akan tetap tunduk oleh karomah Guru Agung mereka. Apalagi saat itu Manakib Sulthon Auliya Syech Abdul Qodir Jaelani Qs. Mengingat kebaikan orang soleh apalagi seorang Wali Allah menggugurkan dosa. Jadi mereka tak ada yang takut akan kehadiran benda asing itu. Dan akhirnya si robot terbang itu mendarat sepi di dekat pohon mangga, menyaksikan dan mencatat konsep teknologi yang mungkin ada terlintas di antara kaum sufi itu.

Si Tuan memang ahli teknologi, pertanyaan di atas dilanjutkan, jika tak ada terlintas sedikitpun pembicaraan mengenai sains dikalangan kaum sufi, kelompok ini tak punya manfaat sedikit pun di dunia ini. 

Manqobah ke 8:

... Kepala Perampok itu menjadi murid pertama Syech Abdul Qodir Jaelani


Si robot hampir berbunyi kembali. Tapi si tuan mematikan sensor bunyi si robot dengan paksa. Dan mendeklain seluruh isi CPU. Si Tuan takjub dengan isi manqobah ke 8 itu. Maka ia hanya mengaktifkan pendengaran dan penglihatan si drone.

Angin sepoy-sepoy, danau purba riaknya tinggi, seorang perempuan bernama Ibu Dewi menyiapkan suguhan bersama Bapak Ideung seorang pewakaf tanah musola ini. Sedangkan Ibu Dewi adalah orang dari kalangan kelas menengah, mualaf tionghwa, hartanya menghidupkan manakib dari bulan ke bulan di Musola bernama Bani Ishaq itu. Hajatnya mendoakan anak-anaknya mendapat hidayah Al Islam.

Berdzikir Terus Menerus

Seorang mubaligh bernama Ustad Taufik membuat mustami menangis, beliau berkata dalam khidmat ilmiahnya:

Tak ada intelek, orang kaya, atau alim yang diterima oleh Allah kecuali ia bertakwa. 

Yang menangis itu dari kalangan non intelek, tidak kaya dan tidak alim. Mereka menangis bahagia karena mereka bisa berdzikir terus menerus.

Si empunya robot yang sudah tak berdaya di naungan pohon mangga ikut menangis. Ia menemukan jawaban konsep teknologi ala sufi: Ecofeminisme Technology. Lalu si drone kembali beranjak, berputar di atas. Dalam hitungan menit ia mengubah CPU robotnya dengan kesadaran kelestarian lingkungan hidup, sufisme dan feminisme.

Si tuan mengarahkan robot ke bengkel kerjanya. Ia ingin membuat robot daur ulang sampah.(*)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar