Kamis, 13 Juli 2023

ESAI

Kemeja Kyai Zaki dan Pendidikan Non Formal

M. Taufan Musonip


"Menuntut ilmu tidak terhalang usia dan kepintaran. Ada suatu cerita di pesantren-pesantren seorang guru kerap terlihat ikut mengaji kepada muridnya. Di pesantren yang terbuka dengan masyarakat, orang tua, anak-anak dan santri duduk sejajar mengaji ilmu. Orang tua berusia 70tahun lebih, yang dikenal rajin puasa di Pesantren Kyai Madro'i Tambelang -pesantren dari sanad Abuya Dimyathi Ciomas- mengaji Fiqih Fatul Mu'in.


Fotografi Karya Shibasish Saha
National Geographic India


Kemeja yang dikenakan Kyai Muzzaki Aziz selalu bagus. Bagus, tidak harus berbicara merek. Tapi bagaimana cara memakainya. Kyai muda ini selalu berpenampilan rapi tak beda dengan penampilan seorang marketer, (berlengan panjang tanpa dilipat hingga ke siku) setiap akan mengampu Tafsir Jalalain di Al Mubtadiin, masjid perumahan yang menurut Haji Agus Basuki salah satu mentor saya dalam toriqoh, paling dulu didirikan. 

Entah memang kemejanya itu akan dipakai juga untuk bekerja. Karena beliau juga seorang muhtarif, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tanwirul Qulub itu, meskipun istilah ini cenderung diarahkan pada ahli dzikir, atau bolehlah kita menyebutnya alim-muhtarif, profesional yang alim. Ia memang kerap terlihat menyibukkan diri dengan kitab-kitab, dalam waktu luangnya, meski usianya muda banyak kalangan masyarakat sudah memanggilnya dengan sebutan Kyai. Mungkin karena kemampuannya membacakan kitab dari arab-ke jawa pegon-ke bahasa Indonesia. Dan kerap diminta mengisi kegiatan dakwah dari masjid ke masjid.


Sabiqum Bil Khoeroti

Tapi pekerjaan muhtarifnya itu adalah pekerjaan yang mengutamakan keamanan, perusahaan Kimia, jadi sesekali dalam status facebooknya beliau memakai seragam safety dengan aksesori lengkap. Jadi tidak berkemeja. 

Dalam pengajian Jalalain yang kerap dihadiri hanya bertigaan itu, saya juga tak pernah melihat beliau berkoko, berpeci ala haji. Tetap setia berkopiah songkok, paling banter ia mengganti kemejanya dengan batik, itu pun kerap juga diserasikan dengan sarungnya. Singkatnya Kyai muda ini sangat memperhatikan penampilan. Rapi dan klimis.

Penampilan Kyai Zaki menghargai ilmu yang dituntut dan diamalkannya. Sebagaimana kebiasaan yang dilakukan golongan Sabiqum Bil Khoeroti (yang selalu lebih dulu berbuat kebaikan) yang beliau bahas sendiri dalam Jalalain Q.S Fathir:32 pagi ini. 

Dua golongan sebelumnya disebutkan Dzolimul Binafsih (golongan yang suka zalim terhadap diri sendiri, yang mana saya ada di dalamnya) dan Waminhum Muqtasid (yang tengah-tengah). 

Siapa ingin masuk golongan pertama harus tekun mencari ilmu. Bagaimana bisa menjadi orang yang selalu mendahulukan berbuat kebaikan, jika ilmu tentangnya saja tidak punya. Dalam Tanwirul Qulub bab yang mendahului paparan tentang syariat, dimulai dengan Bab Hukum Akal, untuk mengetahui mustahil, mumkin dan wajibnya dua puluh sifat Allah, empat sifat kenabian, dan siapa suluh yang bersinambungan meretas cahaya Islam sampai akhir jaman. Juga dalam Nasha'ihul 'Ibadnya Syech Nawawi Bantani membuka diri dengan risalah tentang ilmu, menurutnya ilmu memberi penerang kubur orang mukmin, sekaligus penggugur dosa. 

Menuntut ilmu tidak terhalang usia dan kepintaran. Ada suatu cerita di pesantren-pesantren seorang guru kerap terlihat ikut mengaji kepada muridnya. Di pesantren yang terbuka dengan masyarakat, orang tua, anak-anak dan santri duduk sejajar mengaji ilmu. Orang tua berusia 70tahun lebih, yang dikenal rajin puasa di Pesantren Kyai Madro'i Tambelang -pesantren dari sanad Abuya Dimyathi Ciomas- mengaji Fiqih Fatul Mu'in.

"Jika engkau ingin dekat dengan Yang Dicintai, masak tidak ingin membubuhkan parfum kedalam dadamu, memakai pakaian terbaikmu, mengetahui segala rahasia keinginanNya. Dan itu hanya bisa dicapai dengan ilmu, duduk tawajuh di depan guru-guru mulia di bidang fiqih, tasawuf, tauhid, dll.

Software 165

Kenapa usia dan kepintaran bisa mengantarkan seseorang pada golongan Dzolimul Binafsih? Kemungkinan karena jiwa ego yang tinggi tak tertarik lagi menuntut ilmu, karena ilmunya dianggap cukup, usianya sudah kenyang dengan pengalaman hidup. Padahal ilmu dunia saja luas sekali medannya, dan usia tua belum tentu berkah. Kalau saja seluruh lautan dijadikan tinta dan semua pohon dijadikan pena, ilmu-Nya Allah tak akan pernah selesai dituliskan.

Beruntung jika ada sebagian orang dibesarkan oleh lingkungan keluarga Islami, disekolahkan di pesantren. Mengetahui cara membaca kalam ulama dari bahasa aslinya dan budaya penyampaiannya. Ulama jaman dahulu menimba ilmu di pesantren puluhan tahun lamanya, Mama Sempur guru dari Abuya Dimyati berguru pada seribu orang. Tapi meski jaman sekarang menuntut ilmu di pesantren lebih singkat dari jaman dahulu, Kyai Zaki pernah berkata, ilmunya tetap lebih banyak (berkah), daripada ilmu agama yang diberikan di luar pesantren. 

Bergurunya Mama Sempur kepada 1000 orang, bisa diartikan ia ulama yang tawadhu, bagaimana bisa mengambil ilmu dari banyak orang kalau kita merasa pintar? Pesantren mengajarkan itu, dari mulai membiasakan diri mencium tangan Sang Guru hingga belajar adab-adab menuntut ilmu.

Meski begitu bagi orang non pesantren masih bisa menjadi bagian dari kelompok Sabiqum Bil Khoeroti, dengan mempelajari tasawuf, tapi bukan tasawuf falsafi melainkan tasawuf amali dalam tarekat. Tasawuf falsafi sering melupakan misi asli ilmu ini yaitu belajar menurunkan ego diri, dan kadang menjebak pembacanya dalam khazanah bahasa sastrawi yang menjauhkan diri dari amaliyah ilmu. Tasawuf amali dalam tarekat melalui Guru Mursyid ditanamkan software 165 (ihsan, iman dan islam) apapun tarekatnya, software 165 itu lah yang membimbing murid mendapatkan jalur ilmu ladunni melalui membiasakan diri berwirid, ilmu ladunni ini bukan sekadar ilmu Kasyaf, tapi -sebenarnya lebih cenderung kepada- pendidikan ilmu non formal, di mana salik didorong kedalamnya sebagai tanda tumbuhnya rasa cinta beribadah.

Jika engkau ingin dekat dengan Yang Dicintai, masak tidak ingin membubuhkan parfum kedalam dadamu, memakai pakaian terbaikmu, mengetahui segala rahasia keinginanNya. Dan itu hanya bisa dicapai dengan ilmu, duduk tawajuh di depan guru-guru mulia di bidang fiqih, tasawuf, tauhid, dll.(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar