Solat Istisqo, Bintang Sirius dan Wali Jarak Dekat
M. Taufan Musonip
"Family" Gustav Klimft
(1862-1918)
Musim panas telah usai. Hujan yang dirindukan telah datang. Karena datangnya disebabkan rindu, air hujan tak langsung pergi dari jalanan. Bahkan semalam atap rumah kami bocor. Tanara memainkannya riang gembira. Ini kali, anak ini sudah mengerti arti hujan. Setelah saya mengajarkan prinsip sederhana tentangnya:
"Yang menghidupkan segala yang hidup!"
Ia memainkan air lagi. Dengan jemari kecilnya seperti ingin bertanya: apakah ini datang langsung dari Allah Swt?
Ngaji tafsir Jalalain tetap dilakukan meski air hujan masih menggenang di pikiran kami antara senang dan repot. Senangnya, mencoba merasakan gembiranya kaum tani. Irigasi untuk sawahnya kembali lancar. Tanaman kebun kembali mekar. Air sumur kembali meningkat debitnya. Repotnya itu tadi, kami berhadapan dengan bocor dan banjir. Tapi repot dan senang seharusnya tak melupakan rasa syukur atas rahmat Allah melalui hujan.
Di kota tempat kami menjadi mukimin, tidak terlalu terpengaruh dengan musim kering kecuali keluhan suhu bumi yang tinggi. Itu pun hampir semua rumah memasang ac. Dan kebanyakan waktu kami bekerja di ruangan yang juga ber-ac. Ac ini salah satu penyebab efek rumah kaca. Menyebabkan debit air di Sungai Tigris dan Eufrat sebagai sungai kelahiran peradaban menurun drastis juga ratusan kilometer es di kutub utara mencair.
Kyai Zaki, Kyai muda pengampu Tafsir Jalalain tiba di masjid beberapa hari ini dengan berjalan kaki. Mengurangi emisi karbon, dan bisa berefek menurunkan berat badan. Beberapa hari sebelumnya beliau kerap berkelakar tentang musim kemarau.
"Tak ada yang ngadain Istisqo!"
"Memang kenapa, Yai?" Tanya saya polos.
"Tes ketakwaan!" Katanya sambil tertawa.
Saya bertanya dalam hati, memang kenapa tidak ada yang mengadakan Istisqo. Apakah hubungan masyarakat kota dan desa sudah terputus? Bukankah beras yang kita makan di kota adalah beras dari desa yang olahannya ditentukan oleh debit air.