Kamis, 16 November 2023

ESAI

Bagaimana Ilmu Menggapai Kebijaksanaanya

M. Taufan Musonip


"Menurut Syech Al Harits Muhasibi dalam kitab Tulus Tanpa Batas, pengamalan ilmu tanpa hati yang bersih akan memunculkan sikap sombong dan riya. Lebih jauh lagi hati yang kotor akan melupakan tujuan ilmu, tujuan ilmu adalah mengenal Pemilik Ilmu, dan amal itu sendiri. Mengenal Pemilik Ilmu mengetahui betapa penuntut ilmu itu memiliki banyak keterbatasan baik dalam menerima atau mengamalkannya.

 

 
Gambar diambil dari blog Jade in Japan
Gunung Fuji Dilihat pada Malam Hari




Belakangan saya haus sekali membeli buku. Tanpa sadar kenyataannya waktu untuk membaca sudah semakin jauh berkurang. Bukan hanya kesibukan. Ternyata ruang sosial lebih membutuhkan saya dari pada ruang baca.

Setiap kali hendak membaca atau menulis selalu ada interupsi, terutama interupsi si kecil, Tanara. Ingin diajarkan banyak hal sambil bermain. Anak perempuan nyatanya lebih suka bermain dengan Ayahnya.

Ternyata alam pengajaran tidak hanya menginginkan saya seterusnya menjadi Muta'alimin. Saya harus berperan menjadi guru pula. Dan ini bagian yang sulit. Paling sulit adalah menjadi guru dari anak balita. Ajakannya sering dianggap bukan ajakan pengajaran. Padahal pengajaran usia dini itu fase pengajaran paling penting. Dan mengoleksi buku pengajaran anak balita, tidak menjadi perhatian khusus.

Filsuf dari Yogyakarta

Menjadi muta'alimin itu paling nikmat dan mudah. Tak ada beban seperti menjadi guru. Muta'alamin itu pasif sekali. Sekadar wadah, yang siap terus diisi. Isi pelajaran yang sudah dicurahkan kemarin tidak perlu dibuang, cukup makin dibesarkan saja wadahnya. Kadang ilmu-ilmu itu bisa kita lupakan atau alamiah terlupakan, untuk mendapat pengajaran yang lebih baru.

Cara mengingat ilmu itu pengamalan dan pengajaran. Tapi nyatanya tidak semua ilmu dapat diamalkan juga diajarkan. Pengajaran perlu kecerdasan dalam menyampaikan, pengamalan membutuhkan kebeningan kalbu. Pengajaran ilmu yang didapat tergantung siapa audiencenya. Pengajaran juga bagian dari pengamalan. Jadi baik pengajaran maupun pengamalan memerlukan hati yang bersih. 

Menurut Syech Al Harits Muhasibi dalam kitab Tulus Tanpa Batas, pengamalan ilmu tanpa hati yang bersih akan memunculkan sikap sombong dan riya. Lebih jauh lagi hati yang kotor akan melupakan tujuan ilmu, tujuan ilmu adalah mengenal Pemilik Ilmu, dan amal itu sendiri. Mengenal Pemilik Ilmu mengetahui betapa penuntut ilmu itu memiliki banyak keterbatasan baik dalam menerima atau mengamalkannya. 

Makin dewasa sebagaimana saya alami di atas, semakin sadar keterbatasan saya menerima ilmu. Karena ruang sosial segera membutuhkan saya baik sebagai teknokrat maupun pembimbing dari anak-anak dan keluarga saya.

Walau begitu saya terus tetap berusaha mencarinya. Kalau tidak oleh mata, oleh telinga. Sepanjang perjalanan dari satu klien ke klien lain saya selalu setel taklim para penceramah, kadang mendengarkan musik pun bisa mengendalikan kemana ilmu yang saya dapatkan harus berlabuh. Salah menyampaikan ilmu atau mencurahkannya pada orang yang tidak tepat bisa tidak bijaksana.

Nah, bijaksana. Suatu kali saya pernah mendengar kata ini secara lebih jernih dari seorang Filsuf dari Yogyakarta melalui saluran youtube yang saya setel dengan tape mobil saya. Dia berkata: 

"Sedikit ilmu dungu, kebanyakan ilmu melahirkan kesombongan, dan kebijaksanaan itu menggunakan ilmu untuk tujuan kemanusiaan, walau pun mungkin ilmu yang dimilikinya tidak terlalu banyak."

Menurut filsuf muda ini, kutipan tersebut ia dapatkan dari Buya Hamka dan Buya Hamka dari Imam Ghazali. Filsuf muda ini pun sering berkata tentang ilmu tasawuf dan tarekat di setiap persentasenya. Olehnya saya ingat pengajaran mubaligh tarekat saya:

"Yang terpenting dari ilmu adalah keberkahan dan manfaatnya, bukan sebanyak apa telah kita dapat."

Kebijaksanaan itu jalan tengah dari kedunguan dan kesombongan. Hasil dari pembersihan kalbu. Bersihnya kalbu akan membantu memahami bahwa tidak semua ilmu bisa diterapkan dan diamalkan. Contohnya orang miskin yang belum bisa mengamalkan membayar zakat. Ilmu mengetahui biota laut tidak lebih aplikatif dari ilmu memahami manusia melalui rasa kemanusiannya.

Einstein dan BJ Habibie

Ada ilmu yang sekadar ilmu. Yaitu mencari ilmu untuk ilmunya sendiri. Seperti istilah seni untuk seni, tak memiliki tujuan dan kadang tak bermakna. Tapi Tak apa kita miliki sebatas wawasan. Ilmu untuk ilmu melupakan tujuan ilmu di atas tadi. 

Dua ilmuwan Teknik seperti Einstein pernah menyesal ilmunya tentang mekanika kuantum menyebabkan tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Padahal sepanjang petualangan ilmunya, si ahli ilmu relativitas ini tak pernah melepaskan nafas ketuhanannya. Juga Baharudin Habibie, pernah berkata jika waktu diputar kembali, ia sejatinya ingin memilih ilmu agama. Habibie dan Einstein semua teori-teori sainsnya ditopang oleh kecerdasan religius. Dua profesor dan masyur di bidangnya ini juga telah memilih sikap bijaksana dengan ilmunya yaitu memahami kemanusiaan.

Menutup tulisan ini, sambil melihat wajah Tanara tengah terlelap karena kecapekan habis bermain. Saya petik cerita tentang ditegurnya Musa AS dalam salah satu cerita Jalaluddin Rumi. 

Nabi Musa mencari seorang penggembala yang pernah ia marahi karena telah menyamakan Allah Swt dengan mahluk dalam doanya. Penggembala itu berdoa penuh cinta: ia ingin mengorbankan kambingnya setiap hari sebagai tanda cintanya. Bahkan katanya, ia ingin menjahitkan pakaianNya, menambal Kaus kakiNya, menyisir rambutNya, mencium kakiNya.

Maha Suci Allah dari prasangka si gembala yang bodoh itu. Nabi Musa marah, tentu dengan dengan segala ilmuNya. Si gembala mendengar nasihat Sang Nabi sangat menyesal melakukan itu dan meninggalkan semua gembalaanya pergi menjauhi kehidupan menuju padang pasir.

Puas dengan khotbahnya kepada si gembala Allah malahan menegur Sang Nabi sebagaimana dalam buku Layla dan Majnun kumpulan cerita dan kebijaksanaan sufi yang ditulis Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, seperti ini Allah menegur Musa As.:

Kenapa engkau MengusikKu dan Hamba setiaKu [...] Aku tidak menciptakan dunia untuk mengambil manfaat darinya. Seluruh ciptaan ini untuk kepentingan mahluk [...] Ingatlah bahwa dalam cinta kata-kata hanya kulit luar dan tidak berarti sama sekali. Aku tidak memperhatikan kata-kata atau susunan kalimat. Aku hanya memperhatikan keadaan hati. Dengan begitu aku mengetahui ketulusan mahluk-mahlukKu [...].

Nabi Musa kemudian kembali mencari si gembala untuk menyampaikan firman Tuhannya. Tapi si gembala berkata:

Aku telah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku diterangi oleh hadirNya. Aku tak bisa menjelaskan keadaanya kepadamu. Aku pun tak bisa menggambarkannya kepada orang lain.

Pelajaran dari cerita ini untuk kita adalah mengetahui bahwa dengan ilmunya manusia belum tentu bijaksana. Agar ilmu bisa membuat manusia bijaksana, hidupkan api kasih sayangNya di dalamnya, untuk menyeleksi ilmu-ilmu yang pantas atau tidak disampaikan kepada khalayak. Untuk menyeleksi ilmu-ilmu yang efektif untuk tujuan kemanusiaan. Mengetahui kehebatan ilmu, belum tentu akan menggugah kesadaran orang lain.*









Tidak ada komentar:

Posting Komentar