Sabtu, 22 Juli 2023

ESAI

Tarekat itu Pelayaran

 Ilmu Makrifat dan Hakikat

M. Taufan Musonip


"Dalam tarekat, sufi majnun jarang ditemukan, kecuali Sy. Abu Yazid Busthami, dalam buku Maha Guru Sufi, diriwayatkan beliau pernah hilang akal, karena gila cinta kepada Sang Kekasih, hilang akal kaum sufi, hilang akal sungguhan, saat tidak menjalankan syariat, tentu murid tidak boleh mengikutinya

Lukisan Karya Moses Levi,
Seniman Italia, ditemukan
 di sebuah web seni lukis tanpa judul.


Suatu kali saya pernah mendengar, Abuya Arazzi Hasyim pernah berkata, Kyai pun harus bertarekat. Kenapa Kyai sekarang jarang bertarekat, bisa jadi karena kemajuan Teknologi, teknologi menawarkan solusi mengakses ilmu yang tak terbatas. Tapi beberapa kali saya dapati, pesona Kyai tetap sederhana, bahkan tidak terlalu percaya teknologi. 

Ada pesantren di Pegaulan Kab. Bekasi yang membuka pengajian Rabu Sore, dipimpin oleh KH Ahmad Mustopha, di ruang kelas pengajian itu terpacak foto Habibana Al Haddad, dan memang sebelum pengajian selalu diadakan Dzikir Ratib Al Haddad. Dalam buku Aboe Bakar Atjeh Tarekat dalam Tasawuf, Al Haddad itu tarekat yang sanadnya ke Habib Al Attos. Tapi tarekat Al Hadad ini tidak terasa tarekatnya karena tidak ada talqin dzikir, seperti tarekat pada umumnya, Ratib Al Haddad maupun Al Attos bisa dibaca majelis dzikir umum. Dua Ratib ini sangat dikenal di daerah Bekasi. Karena tidak seperti Tarekat pada umumnya, kalau suatu saat sebelum sebuah acara Ziarah ke Mama Sempur dan Syech Yusuf Purwakarta, beliau pernah memberi ide motto untuk sebuah rompi seragam majelis taklim yang berbunyi: "Tarekat Aing Mah Ngaji!"

Kyai Sya'roni

Kyai Mustopha menjelaskan dari premis ke premis motto itu, mulai dari Mama Sempur, yang pernah mengatakan: 

"Tarekat jaman sekarang yang harus diikuti adalah tarekat pengajian yang ilmunya langsung diamalkan."

Memang buah tarekat itu amal. Kalau pengamalan ilmu seorang murid itu tinggi maka barokah karomah gurunya akan tetap bisa dirasakan, meskipun gurunya sudah meninggal. Dalam Kitab Tanwirul Qulub, karomah barokah guru-guru yang telah meninggal justru semakin bersinar karena tidak terhalang nafsu badani saat mereka masih hidup. Jadi jangan berkecil hati para murid tarekat yang Guru Mursyidnya sudah meninggal, dan selepas wafat tak mengangkat penggantinya, toh hakikatnya jika masih hidup pun, sebenarnya ia tak ada, mengurusi jutaan jamaahnya tetap melalui pekerjaan batin. Beruntung jika ada orang yang pernah bertatap muka dengan Guru Mursyid.


Kyai Sya'roni Pengampu Kitab Tanbihul Ghofilin di Pesantren KH Ahmad Ro'i Tambelang


Mama Sempur bisa jadi tidak bertarekat, ajaran Mama Sempur ini dianut banyak pesantren yang sanad keilmuannya dari Abuya Dimyathi karena beliau pernah belajar kepada Mama Sempur. Salahsatunya ada Pesantren KH Ahmad Ro'i, di Tambelang Kab Bekasi. Suka mengadakan pengajian rutin hari sabtu setiap Dhuha, sekarang diampu tiga muridnya mengajarkan kitab Fatul Mui'n, Tanbihul Ghofilin dan Risalatul Muawanah

Salah satu muridnya Kyai Syahroni dalam tawasulnya sepertinya mengambil sanad silsilah tarekat Sadjiliyah, dan beliau piawai sekali membacakan kitab Tanbihul Ghofilin. Kajian Dhuha Sabtu itu kerap saya dengar mahabbah dan kerinduan para muridnya kepada Kyai Madro'i, mirip mahabbah murid tarekat kepada Guru Mursyidnya. Jadi kalau sudah begitu, apakah murid seorang Kyai tak perlu bertarekat?

Tujuan belajar ilmu di dalam tarekat itu adalah ilmu makrifat dan hakikat, salah kalau tujuannya mendapatkan ilmu tauhid apalagi fiqih. Agar ilmu makrifat dan hakikat menghidupkan ilmu-ilmu syariat. Amaliyah ilmu syariat itu dengan ilmu hakikat. Istilah baratnya ilmu hakikat itu psikososialnya kaum sufi. Agar mudah mengamalkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat tentu yang paling kecil adalah keluarga. Sebab bagaimana pun orang senang mengamalkan ilmu karena orang yang memberi nasihat ilmunya lemah lembut. Lebih terasa khazanahnya dan awet tertanam di dalam dada. Dengan ilmu hakikat pengamalan ilmu tidak akan terhambat oleh sesuatu yang merintanginya, ilmu hakikat mengetahui Allah Maha Berkehendak, orang menyalah artikan dengan istilah kaum determinan (Jabariyah), Allah Maha Berkehendak terhadap prilaku baik dan buruk itu tertulis dalam Al Qur'an (lihat misalnya QS. 2-102) bukan menjadikan manusia sebagai wayang, kehendak buruk tetap bernisbat kepada diri manusia, kemunculannya atau eksistensinya tetap atas izin Allah. 

Itulah makanya murid tarekat justru harus lebih semangat lagi menuntut ilmu. Guru Mursyid sudah membantu memahami  kelemahan mahluk dibanding Kholiknya, dengan mengosongkan hati dari berbagai kotoran dunia, sangat disayangkan muridnya tidak memilik cukup guru dalam bidang ilmu lain, beliau adalah Pengantar Agung kepada guru-guru mulia lainnya, agar muridnya bisa mengenal Allah Swt melalui ilmu dan amal. 

Karenanya Imam Hambali pernah berkata, menyelami ilmu (hakikat) kaum sufi, menambah semangat dalam ibadah. Artinya kaum sufi akan tetap menebar kebaikan (syariat) walau tantangannya ia akan mendapat celaan. 

Kaum sufi dalam tarekat melaksanakan syariat dengan sungguh-sungguh, dengan ilmu hakikat dan makrifatnya, bukan sebaliknya. Semakin tinggi maqom seorang sufi semakin kuat syariatnya. 

Dalam tarekat, sufi majnun jarang ditemukan, kecuali Sy. Abu Yazid Busthami, dalam buku Maha Guru Sufi, diriwayatkan beliau pernah hilang akal, karena gila cinta kepada Sang Kekasih, hilang akal kaum sufi, hilang akal sungguhan, saat tidak menjalankan syariat, tentu murid tidak boleh mengikutinya. Meski begitu riwayat gila cinta Abu Yazid Al Busthami mesti diteliti lebih jauh lagi, beliau pernah meninggalkan begitu saja orang yang dianggap masyarakatnya Guru Mursyid, karena meludah di dekat mimbar masjid. Dia dilahirkan dari orang tua yang waro' dan masuk dalam sanad silsilah tarekat Muta'bar diantaranya Naqsabandiyah.

Jika ada syair gila-cinta dari kaum sufi pembaca awam tidak boleh membacanya secara lahiriah, syair sufi itu wilayah mutasyabihat lebih baik tanyakan kepada ahli sastra.

Pemilik Ilmu

Apakah orang non tarekat bisa mendapatkan ilmu hakikat dan makrifat seperti halnya orang tarekat? Jawabnya tentu saja bisa. Hanya 'rasa' yang memandu kedua ilmu itu tak akan sekuat orang-orang yang berkecimpung dalam tarekat. Rasa bersama Allah itu bukan teori, tapi praktik yang diperoleh melalui dzikir bersanad Guru Mursyid. Dzikir dengan ilmu yang membangun rasa kebersamaan dengan sang Khalik, sebab dzikir tidak bisa dihentikan, ilmu bisa terhenti, karena terpotong oleh kegiatan duniawi. Dzikir membantu menerapkan syariat dalam aktifitas duniawi, bukan itu saja, murid akan merasakan ibadahnya lebih ikhlas, lebih waspada dan mengerti makna zuhud dan qonaah. Lebih tunduk lagi merasa diri terus merasa kekurangan akan ilmu.

Itulah makanya murid tarekat justru harus lebih semangat lagi menuntut ilmu. Guru Mursyid sudah membantu memahami  kelemahan mahluk dibanding Kholiknya, dengan mengosongkan hati dari berbagai kotoran dunia, sangat disayangkan muridnya tidak memiliki cukup guru dalam bidang ilmu lain, beliau adalah Pengantar Agung kepada guru-guru mulia lainnya, agar muridnya bisa mengenal Allah Swt melalui ilmu dan amal. 

Setidaknya dengan memiliki Guru Mursyid kita tak perlu mencari seribu guru seperti Mama Sempur. Mama Sempur mungkin tidak bertarekat tapi beliau tawadhu' karena memiliki banyak guru. Bagi Murid Tarekat cukup memiliki guru yang ahli dibidang tasawuf, fiqih, dan tauhid. Dan menyelami pengajaran akan terasa indah jika kita merasa selalu kurang ilmu. Dan bagi yang cukup ilmu, ilmu itu sifatnya terbatas meskipun pekerjaan kita guru atau dosen, maka keterbatasan ilmu penghubungnya terhadap Pemilik Ilmu adalah Dzikir.(*)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar