Rabu, 27 Februari 2019

ESAI


Menonton Film-Film Festival Cannes Rentang Waktu 2010-2017
---Antara Snobisme dan Fantasi



Saya, mencoba menonton film yang mendapuk anugerah Palme d'Or Festival Cannes setidaknya antara rentang waktu 2010-2017.

Jika terbiasa menonton film Hollywood harus bersiap kecewa, film-film festival Cannes memiliki standar estetika yang tinggi, dan standar itu belum tentu membuat sebuah film menjadi menarik, kalau tak jujur bisa dianggap snobisme.


Film-film yang Tak Bisa Dimengerti

Bukti bahwa pemenang festival Cannes memang memasok kebutuhan psikis penonton snobis, adalah hadirnya film yang dianggap kalangan kritikus sebagai film yang sama sekali tidak masuk akal seperti Uncle Boonmee Who Can Recalls His Past Lives (Sutradara: Apicathpong Weerasethakul) sebagai pemenang pada tahun 2010, film Thailand ini menggambarkan hubungan orang-orang hidup dengan orang mati, layaknya tak berbeda dunia. Istri Bonmee yang setia mengurus suaminya yang tengah didera penyakit ginjal, layaknya orang hidup hingga akhir hayatnya. Kejanggalan mistis lainnya adalah ketika anak Bonmee yang menggemari dunia fotografi dengan objek kera, berubah menjadi menjadi kera, dan hidup berjarak dengan keluarga.

Film Tree of Life (2011, Terrence Malick) saya tonton beberapa tahun lalu, ketika saya mengetahui bahwa film ini salah satu pemegang penghargaan Palme d'Or saya tidak mencoba mengulang menontonya, film yang dibintangi oleh Brad Pitt ini cukup melelahkan untuk ditonton, film beraliran surealis ini, menceritakan perjalanan sebuah pasangan kekasih yang membangun satu keluarga, dalam sudut pandang batin seorang Ibu, musik dan suara alam yang dominan, membuat saya tak mampu menjangkau level artistik film tersebut.

Begitu pula dengan film The Square (2017, Ruben Otslund), yang bercerita tentang sosok seorang pemilik museum benda seni, meski dihiasi dengan fragmen komedi, yang sesekali membuat saya tertawa, menghadirkan seorang anak yang menunggu sendirian di sebuah apartment hampir tengah malam, meminta sang pemilik museum yang bernama Christian (Claes Bang) tersebut, meminta maaf, ketika ia menyebarkan surat yang ditujukan kepada pencopet yang merogol telepon genggam, manset dan dompetnya, pada sebuah apartemen yang terpantau pelacak GPS yang tertanam dalam ponselnya melalui laptopnya. Anak tersebut mendapat hukuman dari orang tuanya, karena surat yang diterimanya. Saya membayangkan, bagaimana seorang anak usia remaja harus mengurus nama baiknya sendiri hingga sampai mengorbankan waktu menunggu sang pengacau hidupnya.

Keanehan lainnya, Seorang lelaki yang masuk ke dalam pesta pada sebuah acara di museum bertingkah seperti kera, mengacak-acak dan mengintimidasi para hadirin, yang awalnya seperti aksi teatrikal, kenyataanya aksinya itu membuat tidak nyaman para undangan, dan tak bisa dihentikan oleh Christian sang pemilik acara tersebut. Apa maksud aksi teatrikal yang disuguhkan pria dalam acara resmi? Dari sisi eksistensi tokoh, pria tersebut hadir tanpa hubungan dengan tokoh lain, dan tanpa sabab-musabab. Dalam kualitas bacaan sastra, tokoh yang hidup tanpa kaitan dengan tokoh-tokoh lainnya, dan tanpa musabab bisa dikatakan karya sastra yang gagal.

Menyelami film seperti itu mengandaikan diri saya sendiri sebagai seorang tokoh salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen Utuy Tatang Sontani, yang sayang sekali saya lupa judulnya, tetapi saya ingat judul kumpulan cerpen tersebut yaitu Menuju Kamar Durhaka, dimana sepasang suami-istri dihadiahi oleh sahabatnya seorang seniman kaya sebuah lukisan yang tak dimengerti sama sekali isinya, sembari menyesali ketika sang istri justru berharap dihadiahi sebuah subang yang justru lebih berarti dan bernilai. Menerima lukisan tersebut kelas sosialnya naik level, akan tetapi apa artinya jika sebuah karya seni tak bisa dinikmati.

Kemungkinan kelas sosial saya meningkat ketika mencoba menyelesaikan beberapa film Festival Cannes, tapi kejujuran bahwa ada fragmen film yang tidak dapat dimengerti tentu lebih penting daripada hanya sekedar kelas sosial. Akses yang luas dari kelimpahan ruang maya, memang membuat saya terdorong untuk mencoba pengalaman luar biasa dari film-film komersil yang mudah didapati di bioskop. Kenyataannya, sebuah pilihan alternatif pun bukan tanpa resiko.

Kebutuhan intelektual
Meski begitu anasir-anasir literasi dalam film-film tersebut tak bisa dibohongi dapat memenuhi kebutuhan intelektual. Dialog Boonmee dengan saudarinya mengenai karma atas penyakit ginjalnya karena pernah menjadi seorang tentara pemerintah yang terlibat dalam pembasmian orang-orang komunis, cukup menarik. Dialog Christian dalam wawancara dengan pemerhati benda seni yang akhirnya menjadi teman tidurnya juga tak kalah menarik, menurut Chris, tak semua hal bernilai seni, meski sebuah benda ditaruh di sebuah museum seni. Luasnya ruang estetika sebuah bangsa kenyataannya tidak bisa mewakili keadaan sebuah negara, negara besar seperti Swiss dilukiskan oleh film tersebut sebagai sebuah negara skandinavia yang tak luput dari kemiskinan, para pengemis hadir di sudut-sudut kota, sementara Chris yang mewakili golongan menengah tak pernah membawa uang tunai, semua transaksi belanjanya menggunakan kartu. Dan menghambat dirinya untuk menjadi seorang dermawan di jalanan. Di awal film tersebut sebuah patung benda seni di depan museum diangkat dan roboh tak berarti.

Film Winter Sleep (2014, Nuri Bilge Ceylan) mengisahkan tentang seorang konglomerat Turki yang memiliki sebuah hotel di Anatolia yang juga seorang kolumnis. Tulisannya mengenai mentalitas muslim dianggap saudarinya hanya pencitraan, sedang dirinya tak pernah mengalami hidup realistis sebagai seorang muslim. Istrinya yang masih muda menganggapnya tak lebih dari lelaki pengganggu yang arogan, yang tak pernah bisa diajak diskusi mengenai misi dalam pendidikan di daerahnya. Seorang ayah yang anaknya melemparkan batu pada kaca jendela mobilnya, bersikap angkuh ketika istri Aydin ---sang kolumnis (Haluk Bilginer), Nihal (Melisa Sőzen) mensedekahkan uang bantuan suaminya ---yang pada awalnya diberikan untuk bantuan yayasan pendidikan yang dibangunnya--- untuk membantu keluarga tersebut, dengan melemparkan setumpuk uang pada pemanas ruangan. Keseruan film ini terjadi ketika perdebatan intelektual antara Aydin dengan saudarinya Necla, mengenai berbagai hal yang ditulis Aydin. Kekayaan harta dan intelektual membuat Aydin justru sangat kesepian, uang dan akal sehat tak bisa diandalkan untuk memberi dorongan perubahan bahkan hanya kepada istri dan saudarinya, Aydin tidak memiliki ketajaman intuisi menghadapi dua perempuan.

Film Deepan (2016, Ken Loach) dan I, Daniel Blake (2015, Jacques Audiard) lebih berwatak sosialis-realis, meski yang disebutkan terakhir diragukan kualitasnya oleh para kritikus film. Film Deepan mengisahkan kaum imigran Srilangka dari konflik negaranya melawan Macan Tamil, sedang film I, Daniel Blake berkisah mengenai seorang manula yang berjuang melawan birokrasi pemerintah inggris dalam pelayanan jaminan sosial disabilitas. Kedua film ini lebih bisa dinikmati dari film-film yang disebutkan di awal, meski bersama Film The Square, ada sudut pandang baru yang disampaikan kepada penonton, negara-negara maju eropa digambarkan sebagai negara yang juga tak lepas dari persoalan kemiskinan, kriminalitas, imigran, dan birokrasi yang ruwet yang justru sering ditemui di negara-negara dunia ketiga. Akan tetapi lebih menarik jika menyandingkan Film Deepan dengan Film Amour (2012, Michael Hanneke) di mana narasi-narasi kekuatan cinta muncul secara periperal, yaitu pasangan kulit berwarna dan manula. Yalini-Deepan, yang menghadapi kebrutalan gang imigran di perancis dengan pasangan Ane-George menghadapi penyakit stroke yang diderita Ane memberi suara anti mainstream, dimana cerita cinta biasanya disampaikan lewat tokoh-tokoh film yang sensual. Film Blue is The Warmest Colour (2013, Adellatif Kechiche) adalah satu-satunya film yang belum berhasil saya temukan.

Kenapa penelusuran film-film Peraih Palme d'Or terlintas di kepala saya? Kenyataannya sebagian besar tokoh-tokoh dalam film tersebut seolah mencerminkan kelas masyarakat yang tidak puas dengan film-film pop.

Dalam hal lain sebuah film alternatif terkadang menggambarkan sebuah alternatif politik pula, yang apabila meminjam istilah Ẑiẑek, jika politik merupakan ekspresi kenikmatan seorang manusia organis, menonton film bisa jadi merupakan upaya menerbitkan fantasi, guna menyelaraskan hal-hal yang tidak bisa dipenuhi oleh hasrat kekuasaan ketika hanya memberi apresiasi berlebih kepada film-film pasar yang kurang mencerdaskan. Film-film Cannes bisa disebut sebagai kultur film alternatif yang mampu memancing hasrat kebutuhan intelektual suatu kelas masyarakat. Meski begitu tetaplah menjadi penonton yang jujur untuk mengakui bahwa nilai estetika yang tinggi dapat juga beresiko melahirkan manusia snobis yang pura-pura menerima sebuah film sebagai bentuk estetika padahal sejatinya tak dapat dimengerti.(*)

Bekasi, 27 Februari 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar