Anasir Sains dan Seni dalam Islam sebagai Ilham Kesadaran Membaca Gerak
Semesta
M Taufan Musonip
Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya
dahulunya menyatu, kemudian kami pisahkan antara keduanya; dan kami jadikan
segala sesuatu yang hidup berasal dari air, maka mengapa mereka tidak beriman?
(QS. 21:30).
Ayat tersebut adalah ayat dalam
Alqur’an yang membuat seorang misionaris kristen dari Kanada terguncang
keimanannya. Awalnya ia berniat mencari berbagai macam kelemahan Alqur’an.
Tujuannya tidak tercapai, banyak ayat-ayat yang menyentuh kejiwaannya.
Bayangkan bagaimana bisa, sebuah kitab suci yang sebelumnya dianggap hanya buah
hayalan manusia dari Nabi yang mengabarkanya, mampu menunjukan jalan kebenaran
dalam dua wujud, puitis sekaligus penuh nuansa sains. Ayat di atas bagai
menceritakan sebuah teori sains yang dikenal dengan Big Bang, tapi disampaikan dengan sangat puitis.
Dunia Imajiner
Anasir-anasir sains dan seni hidup di
dalam Alqur’an. Seni di dalam Al Qur’an dibuktikan dengan adanya repetisi,
berbagai macam perumpamaan, cerita-cerita para Nabi yang disampaikan secara
epik. Sedang anasir sains disampaikan dalam bentuk semacam metafor, tetapi
dinyatakan langsung hasil empiriknya. Sebagian nampak seperti dunia imajiner
semata, hal itu dikarenakan jangkauan pengetahuan manusia sangat terbatas, pada
temuan-temuan hasil penelitian dan secara umum semakin majunya ilmu
pengetahuan, fenomena alam semesta yang disebut “baru ditemukan” manusia itu
tak pernah bertentangan dengan dunia imajiner Alqur’an. Hal-hal imajiner dalam
Alqur’an itu nampak sebagai sesuatu yang puitis, seperti sebuah bentuk narasi
naturalisme dalam sebuah puisi atau novel.
Anasir-anasir sains dan seni itu
menyumbang kekayaan narasi kepada Islam jaman keemasan jika ingin mencoba
beromantisme dengan sejarah Islam masa lalu. Tapi terkadang romantisme itu tak
terlalu membuahkan hasil bagi kemajuan Islam di masa sekarang. Sains dalam
anasir Alqur’an menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan dunia dengan system Maha
Teratur, di mana di dalamnya berbagai macam pertanda dipergulirkan, manusia
membacanya melalui kemajuan teknologi. Sedang sisi seni dalam anasir Alqur’an
memberi ilham dalam perkembangan narasi keadaan jiwa suatu masyarakat.
Perkembangan kemajuan sains yang
berbasis Ketuhanan akan menempatkan teknologi sebagai utilitas pelestarian
lingkungan hidup. Sementara perkembangan kemajuan wilayah seni berbasis
Ketuhanan akan menghasilkan kebudayaan naturalistik. Keduanya akan berada dalam
titik temu yang signifikan untuk melakukan berbagai macam rekayasa pertanda
yang sinyalnya langsung berkomunikasi dengan pertanda makro yang digulirkan
Allah SWT melalui gerak semesta. Berbagai macam alat teknologi membantu
mitigasi bencana, tapi burung-burung bangau yang terbang bergerombol tidak
dibaca sebagai pertanda akan datangnya tsunami, suara letusan gunung di tengah
laut dianggap biasa, bukan hanya oleh masyarakat awam mengenai aktifitas
vulkanologi, aktifitas itu pun alpa dilaporkan oleh lembaga terkait kepada
lembaga lainnya untuk dilakukan penyelidikan secara cepat, pada kejadian
Tsunami di Anyer Desember lalu, Kepala BMKG mengatakan ada golden time 27-28
menit, dari ledakan yang berpotensi menghasilkan longsoran sampai kepada
terjadinya Tsunami. Tentu bukan berarti dengan “golden time” itu kita hendak
melawan takdir Tuhan, tetapi kenayataannya teknologi mampu merekayasa sebuah
dampak bencana untuk meminimalisir korbannya.
Tidak Menarik
Gerak alam adalah upaya Tuhan
merekoveri ciptaannya. Salah membaca gerak semesta adalah tanda bahwa kemajuan
teknologi tidak hadir sejalan dengan gerak alam. Hutan bakau dan mangrove
pertumbuhannya tidak secepat pertumbuhan gedung-gedung mewah di pesisir.
Subsiden air terus berkurang berbanding lurus dengan pembangunan villa di
lereng-lereng bukit yang menjadi garis sesar gempa. Berbagai macam syair
tentang kejadian bencana masa lalu diabaikan, berbagai macam penemuan dan hasil
riset tentang kebencanaan dianggap isapan jempol yang hanya menakut-nakuti.
Banyak sekali syair-syair yang memuat berbagai pertanda akan datangnya bencana
tidak menjadi bahan ajar. Pekerjaan menulis yang menghasilkan berbagai macam
karya sastra dan sebuah paper yang melengkapi kemajuan teknologi adalah
pekerjaan berat dan tidak menarik. Pekerjaan yang paling menyenangkan adalah
berdagang dan berpolitik. Keduanya diletakan dalam kerangka berpikir pragmatis.
Pertanyaan yang mungkin terlintas dan
klise dari tulisan ini biasanya seputar relevansi hubungan Ketuhanan, sains dan
seni dengan membandingkan negara barat
yang dihuni non-muslim atau Jepang yang bahkan cenderung tak bertuhan mampu
mengatasi bencana alam dengan sigap dengan korban yang tak terlalu besar. Jawaban
atas pertanyaan yang klise tersebut tidak seharusnya dijawab di sini, hanya
akan menambah paparan yang ruangnya memang saya sediakan tidak terlalu luas.
Tapi kiranya memang dari awal saya katakan mengenai anasir sains dan seni dalam
Alqur’an sebagai suatu ilham kesadaran yang tidak ditangkap oleh pemeluknya.
Keadaan ini pun memerlukan berbagai alasan dan fakta sejarah sejak orientalisme
barat berbicara Islam sebagai sebuah ancaman kolonialisme. Kebencanaan yang
melingkupi gugusan pulau nusantara ini
seharusnya melahirkan masyarakat baru yang mengarahkan teknologi kepada
kemaslahatan alam semesta, dan bertumbuhnya kesadaran sastrawi yang menjaga
manusia dari prilaku zalim dan melawan sunatullah. (*)
Sukatani, 5 Januari 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar