Sabtu, 05 Januari 2019

ESAI


Anasir Sains dan Seni dalam Islam sebagai Ilham Kesadaran Membaca Gerak Semesta
M Taufan Musonip

Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulunya menyatu, kemudian kami pisahkan antara keduanya; dan kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air, maka mengapa mereka tidak beriman?
(QS. 21:30).

Ayat tersebut adalah ayat dalam Alqur’an yang membuat seorang misionaris kristen dari Kanada terguncang keimanannya. Awalnya ia berniat mencari berbagai macam kelemahan Alqur’an. Tujuannya tidak tercapai, banyak ayat-ayat yang menyentuh kejiwaannya. Bayangkan bagaimana bisa, sebuah kitab suci yang sebelumnya dianggap hanya buah hayalan manusia dari Nabi yang mengabarkanya, mampu menunjukan jalan kebenaran dalam dua wujud, puitis sekaligus penuh nuansa sains. Ayat di atas bagai menceritakan sebuah teori sains yang dikenal dengan Big Bang, tapi disampaikan dengan sangat puitis.


Dunia Imajiner
Anasir-anasir sains dan seni hidup di dalam Alqur’an. Seni di dalam Al Qur’an dibuktikan dengan adanya repetisi, berbagai macam perumpamaan, cerita-cerita para Nabi yang disampaikan secara epik. Sedang anasir sains disampaikan dalam bentuk semacam metafor, tetapi dinyatakan langsung hasil empiriknya. Sebagian nampak seperti dunia imajiner semata, hal itu dikarenakan jangkauan pengetahuan manusia sangat terbatas, pada temuan-temuan hasil penelitian dan secara umum semakin majunya ilmu pengetahuan, fenomena alam semesta yang disebut “baru ditemukan” manusia itu tak pernah bertentangan dengan dunia imajiner Alqur’an. Hal-hal imajiner dalam Alqur’an itu nampak sebagai sesuatu yang puitis, seperti sebuah bentuk narasi naturalisme dalam sebuah puisi atau novel.

Anasir-anasir sains dan seni itu menyumbang kekayaan narasi kepada Islam jaman keemasan jika ingin mencoba beromantisme dengan sejarah Islam masa lalu. Tapi terkadang romantisme itu tak terlalu membuahkan hasil bagi kemajuan Islam di masa sekarang. Sains dalam anasir Alqur’an menegaskan bahwa Allah SWT menciptakan dunia dengan system Maha Teratur, di mana di dalamnya berbagai macam pertanda dipergulirkan, manusia membacanya melalui kemajuan teknologi. Sedang sisi seni dalam anasir Alqur’an memberi ilham dalam perkembangan narasi keadaan jiwa suatu masyarakat.

Perkembangan kemajuan sains yang berbasis Ketuhanan akan menempatkan teknologi sebagai utilitas pelestarian lingkungan hidup. Sementara perkembangan kemajuan wilayah seni berbasis Ketuhanan akan menghasilkan kebudayaan naturalistik. Keduanya akan berada dalam titik temu yang signifikan untuk melakukan berbagai macam rekayasa pertanda yang sinyalnya langsung berkomunikasi dengan pertanda makro yang digulirkan Allah SWT melalui gerak semesta. Berbagai macam alat teknologi membantu mitigasi bencana, tapi burung-burung bangau yang terbang bergerombol tidak dibaca sebagai pertanda akan datangnya tsunami, suara letusan gunung di tengah laut dianggap biasa, bukan hanya oleh masyarakat awam mengenai aktifitas vulkanologi, aktifitas itu pun alpa dilaporkan oleh lembaga terkait kepada lembaga lainnya untuk dilakukan penyelidikan secara cepat, pada kejadian Tsunami di Anyer Desember lalu, Kepala BMKG mengatakan ada golden time 27-28 menit, dari ledakan yang berpotensi menghasilkan longsoran sampai kepada terjadinya Tsunami. Tentu bukan berarti dengan “golden time” itu kita hendak melawan takdir Tuhan, tetapi kenayataannya teknologi mampu merekayasa sebuah dampak bencana untuk meminimalisir korbannya.

Tidak Menarik
Gerak alam adalah upaya Tuhan merekoveri ciptaannya. Salah membaca gerak semesta adalah tanda bahwa kemajuan teknologi tidak hadir sejalan dengan gerak alam. Hutan bakau dan mangrove pertumbuhannya tidak secepat pertumbuhan gedung-gedung mewah di pesisir. Subsiden air terus berkurang berbanding lurus dengan pembangunan villa di lereng-lereng bukit yang menjadi garis sesar gempa. Berbagai macam syair tentang kejadian bencana masa lalu diabaikan, berbagai macam penemuan dan hasil riset tentang kebencanaan dianggap isapan jempol yang hanya menakut-nakuti. Banyak sekali syair-syair yang memuat berbagai pertanda akan datangnya bencana tidak menjadi bahan ajar. Pekerjaan menulis yang menghasilkan berbagai macam karya sastra dan sebuah paper yang melengkapi kemajuan teknologi adalah pekerjaan berat dan tidak menarik. Pekerjaan yang paling menyenangkan adalah berdagang dan berpolitik. Keduanya diletakan dalam kerangka berpikir pragmatis.

Pertanyaan yang mungkin terlintas dan klise dari tulisan ini biasanya seputar relevansi hubungan Ketuhanan, sains dan seni  dengan membandingkan negara barat yang dihuni non-muslim atau Jepang yang bahkan cenderung tak bertuhan mampu mengatasi bencana alam dengan sigap dengan korban yang tak terlalu besar. Jawaban atas pertanyaan yang klise tersebut tidak seharusnya dijawab di sini, hanya akan menambah paparan yang ruangnya memang saya sediakan tidak terlalu luas. Tapi kiranya memang dari awal saya katakan mengenai anasir sains dan seni dalam Alqur’an sebagai suatu ilham kesadaran yang tidak ditangkap oleh pemeluknya. Keadaan ini pun memerlukan berbagai alasan dan fakta sejarah sejak orientalisme barat berbicara Islam sebagai sebuah ancaman kolonialisme. Kebencanaan yang melingkupi gugusan pulau nusantara ini  seharusnya melahirkan masyarakat baru yang mengarahkan teknologi kepada kemaslahatan alam semesta, dan bertumbuhnya kesadaran sastrawi yang menjaga manusia dari prilaku zalim dan melawan sunatullah. (*)

Sukatani, 5 Januari 2018.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar