Senin, 28 Januari 2013

Esai

http://daxbennington.blogspot.com/2010/04/atheistic-existentialism.html



Pembacaan Teks Sastra, kelahiran Tradisi Kritik, Perkumpulan dan Eksistensialisme
Oleh: M Taufan Musonip

Kumpulan Esai Kesusastraan dan kekuasaan (Yayasan Arus, 1984) karya Wiratmo Soekito, yang pada tulisan pembukanya menelusuri secara singkat kiprah George Lukacs, dalam gerakan sosialisme yang meneruka jalan kesustraan pada pembacaan atas dua novel Franz Kafka, Der Prozess dan Der Schllos, merupakan imajinasi tentang pergerakan kepahlawanan melawan kekuasaan diktator yang pada satu dasawarsa berikutnya setelah dua novel itu terbit (1930an) muncul di beberapa negara pemerintahan diktatoriat.

Wiratmo berpendapat bahwa pada kenyataannya teks menciptakan universalitas, dalam cahaya pencerahan, sebagaimana teks Sumpah Pemuda membentuk perkumpulan awal membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan seperti halnya pula karya­karya sastra lainnya yang telah memberi inspirasi pergerakan: Karya­karya Muhammad Iqbal yang menginspirasi kemerdekaan Negara Pakistan, atau Novel Uncle Tom Cabin yang memicu perang Saudara.

Berbeda dengan Wiratmo, A Teeuw dalam bukunya Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994)  menyatakan dengan adanya jarak (distance) antara sang kreator dengan pembaca pada budaya teks ketimbang antara pembicara dan hadirin, justru akan membangun pembacaan multitafsir khalayak pembaca. Apa sebenarnya letak perbedaan dari wacana yang disampaikan Wiratmo dengan Teeuw itu? Jika kita memahami bahwa keduanya sebenarnya sedang membicarakan tradisi tulis dengan pertimbangan­pertimbangan kesusastraan.


Historiografi
Dalam teks sastra, pengalaman terekstraksi menjadi semacam plot, diksi, lebih lanjut lagi dalam refleksi puitik menjadi metafora, simbol dan bunyi. Aktifitas penulisan sastra, merupakan endapan pengalaman, potret yang masuk ke dalam ruang pembacaan batin, guna memeroleh estetika memadai, oleh karenanya bersifat individual.

Karena pengalaman terekstrasi dalam berbagai kaidah sastrawi (plot, simbol, metafora dan bunyi)   pembacaan pun bersifat individual, melahirkan multi tafsir, kritik yang beragam. Teeuw, mengatakan bahwa hadirnya varian perbedaan pembacaan karena teks yang tercerap oleh indera penglihatan bersifat memecah, sementara dalam tradisi lisan, meskipun merupakan hasil pembacaan teks ia bersifat mempersatukan.

Teeuw mengambil contoh teks pidato Presiden Indonesia tahun 1988, yang secara tematik maupun jangkauan literasi, beserta retorika politik memang berniat mempersatukan pemahaman sidang pendengar. Dia kemudian mengkhawatirkan mungkin dengan cara deklamasi, kekuatan teks puisi akan kalah dengan kekuatan cara pembacaan sang Penyair, yang kemudian akan menonjolkan Penyairnya ketimbang karyanya. Tesisnya diperkuat dengan kajian mitologi Yunani, Homeros si buta sebagai pengisah Illiad dan Oddisey, yang dibawakan secara lisani, membuat sang pencerita dan karyanya menjadi menonjol tanpa kritik. Tradisi Lisani itu kemudian mendapatkan kritik dari imajinasi Republik­nya Plato, yang oleh Teeuw disebut­sebut sebagai awal mula kebudayaan tinggi Yunani, yaitu titik tolak lahirnya tradisi tulis yang melahirkan kritisisme.

Dalam Bab II yang secara khusus membahas penyair Hamzah Fansuri <1600 M>, Teeuw memang berkutat dalam teks puisi ketimbang siapa Hamzah Fansuri sendiri. Ketika pembacaan atas teks puisi itu habis di bedah ­­­tentang pola rubai'at yang dibangun Hamzah dalam sajaknya sebagai bentuk baru sistem rubai'at Persia, atau tentang penulisan subjek Hamzah Fansuri dalam setiap penutup puisinya­­­ barulah ia bercerita tentang Penulisnya. Menurutnya historiografi dalam teks sastra berawal dari tulisannya, bukan dari riwayat hidupnya. Dalam pada itu, maka sang pengulas karya mendapatkan pandangan baru tentang siapa tokoh yang tengah ia dalami itu: : Hamzah Fansuri dinobatkan Teeuw sebagai awal pencetus puisi modern di Indonesia atas otentisitas proses kekaryaannya, merupakan terobosan bagi penulis berkebangsaan Belanda ini terhadap sejarah kesustraan Indonesia yang memahami puisi modern lahir sejak angkatan 45.

Titik
Jika teks sastra adalah ungkapan tertinggi seorang individu manusia tentang pengalamannya yang memiliki ruang refleksi sebagai pengekstraksinya, dua buku Kafka yang terbaca oleh Lukacs, merupakan bukti bahwa individualitas baik dalam proses penciptaan maupun pembacaan hanya merupakan titik sebagai awal mula terbentuknya perkumpulan semesta manusia, membicarakan sebuah karya.

Titik itu menciptakan inspirasi bagi kehidupan, termasuk membangun budaya kritik, di sini karya sastra menemukan momentumnya sebagai monumen arkeologi seperti pernah dibicarakan Foucault.

Sejaumana Sebuah karya sastra dapat menjadi jalan bagi sebuah perjalanan perubahan kolektif ditentukan dengan seberapa banyak karya tersebut telah dilisankan, bukan dalam bentuk propaganda, tetapi dalam berbagai bentuk diskusi yang kritis yang kemudian dapat menerbitkan inspirasi kepada pergerakan ke arah humanisme. Kecuali memang sudah tidak ada lagi tempat pembicaraan humanisme dalam sastra.

Dan bagaimana sebuah sastra dapat membangun kekuatan pribadi, sebagai kritisisme lebih lanjut, maka aktifitas kelisanan yang membicarakan sebuah karya akan diteruskan kepada aktifitas pembacaan, yang menstimulus pemahaman dan sudut pandang terhadap teks secara lebih reflektif.

Maka keberhasilan hadirnya teks sastra adalah lahirnya eksistensialisme: menciptakan pembaca yang terangsang untuk bebas menafsir dan meyakini isi di balik teks secara sendiri, sambil mengaktualkan diri dalam berbagai pertemuan, membicarakan sudut pandang masing­masing mengenai karya yang tengah dibacanya.
***
Cikarang, 13 Agustus 2012
Dimuat di Majalah Sagang Ed. 172

Tidak ada komentar:

Posting Komentar