Krisis Bahasa, Krisis Sastra (?)
Oleh M Taufan Musonip
Bila ditelusuri apa pentingnya sastra bagi sendi kehidupan, maka akan didapati bahwa aktifitas kesastraan bukan sekedar bagaimana melahirkan penulis-penulis kreatif, tetapi merupakan inpirasi bagi berbagai aktifitas kehidupan. Bahasa adalah unsur utama membangun dunia, sedang sastra merupakan unsur kedua (Teeuw, 1996).
Segala
sesuatu dimulai dari bahasa, dia merupakan wadah gagasan sekaligus cara
pandang. Gagasan yang tak memiliki cara untuk menyusun cara pandang terhadap
dunia melalui bahasa, maka pada saat itu sebuah masyarakat manusia tengah
mengalami krisis kebudayaan. Kebudayaan bukan merupakan cermin keadaan, tetapi
merupakan kumpulan narasi yang mendesak perubahan. Ungkapan Xiaoping tentang kucing hitam, telah merubah Negara
China, menjadi negara terbuka, dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di
Eropa, ungkapan “Aku berpikir maka aku ada” menjadi “roh” peradaban membangun
bangsanya. Di Indonesia ungkapan-ungkapan progresif seperti itu pada masa kini
tengah mengalami defisit.
Membangun Cara Pandang
Kebudayaan
merupakan penjelmaan kemajuan bahasa. Dalam istilah Bourdieu (2010), kultur tak
lain merupakan mesin produksi yang menciptakan berbagai produk kebudayaan untuk
disebar ditiap arena kumpulan manusia. Bahasa memegang peranan penting dalam membangun
sebuah agen perubahan. Sastra muncul sebagai produk budaya mendesak bahasa
bagaimana perubahan mesti dibangun.
Sebagai
bangsa, kita tengah didera krisis bahasa oleh karenanya kehilangan cara pandang
menghadapi kehidupan dunia. Krisis bahasa sejalan dengan krisis sastra, tapi
apa benar kita tengah mengalami krisis sastra? Jika benar apa ukurannya?
Bagi para
aktivis sastra, pertanyaan itu begitu menohok, sebab bagaimanapun kita masih
merasakan hegarnya penciptaan karya sastra, ribuan puisi masih bisa dinikmati,
meski horison pembaca umum kurang antusias membacanya, penyair masih punya cara
menerbitkan buku puisi secara indi. Bahkan banyak cerita pendek masih bisa kita
dapatkan baik dalam surat kabar maupun media online. Novel-novel populer
acapkali menjadi inspirasi pembuatan film. Tetapi kenapa hegarnya karya sastra
itu tidak sejalan dengan hadirnya kualitas masyarakat, bagaimana memandang
dunia melalui bahasa.
Dikhawatirkan
sastra Indonesia sedang mengalami semacam kekacauan eksistensial, dia ada tanpa
kehadiran ruhnya sendiri, krisis sastra di Indonesia tidak sedang berhadapan
dengan otoritarian, bagaimana Balai Pustaka menetapkan konvensinya sendiri
sebagai kepanjangan tangan penguasa kolonialis. Atau bak otoritarian negara Uni
Sovyet yang mengadakan sensor ketat terhadap karya sastra (Vasili Asyonov oleh
Wiratmo Soekito, 1983) yang hendak diterbitkan.
Tetapi
sastra akan terus berhadapan dengan negara, sebagai pembangun kualitas sebuah
bangsa, memberi refleksi yang langsung dapat dirasakan oleh bahasanya.
Personalisasi
Ketika
sebuah karya diterima masyarakatnya, maka ia merupakan sebuah tanda bahwa
pengarangnya telah keluar dari kata-kata yang dikreasikannya, namun keduanya
ada dalam bahasa. Pengarang dan pembaca masuk ke dalam tahap penanda yang
hendak membangun dunia. Tak ayal karya sastra banyak sekali memberi inspirasi
perubahan bagi semesta manusia.
Hilangnya
hubungan pengarang dan pembaca dalam bahasa, dikarenakan karya sastra gagal
membangun bahasa. Pengarang mampu mencipta seribu kata, tetapi pada saat yang
lain membisu dalam bahasa. Karya sastra mengalir bagai ombak, tetapi tak mampu
menerjang kenyataan. Penyair terus menuliskan puisinya, tapi keluarganya
terbengkalai, tatanan masyarakat hancur, demoralitas terjadi di mana-mana.
Bagaimana
pengarang menghadapi kata-kata yang muncul begitu cepat dalam berbagai kanal
media. Korupsi, prahara politik, kriminalitas, gratifikasi, skema, kuota, banjir,
kemacetan dll adalah kata-kata yang sering didengar hari-hari belakangan, untuk
menempatkan pengarang sebagai masyarakat biasa. Aktifitas kesastraan mencoba
menarik kata-kata tersebut ke luar dari bahasa, kemudian memasukinya secara
personal untuk membangun refleksi atas kejadian yang tengah berlangsung, dan
hendak membangun bahasa dengan pembacanya melalui penciptaan kata-kata yang
kelak akan ditangkap sebagai sebuah sumber inspirasi mencipta bahasa progresif,
mengenai perubahan prilaku dan cara pandang terhadap dunia, seperti frasa Kucing Hitam oleh Xiaoping itu.
Kenyataannya
jika pengarang tak memiliki cara menghadapi bahasa, maka karya sastra baru
sebatas dinilai sebagai bentuk semiotika semata-mata terpusat pada karya,
sementara kritik sastra terhadapnya baru memungkinkan analisa formalis (strukturalis) ala Jakobson
atau New Critisism (close reading) gaya Amerika Serikat yang
sudah ketinggalan jaman. Dia baru sebatas estetika permainan bahasa belaka yang
dibangun berdasarkan kaidah empirik dan gersang oleh pengaruh intuitif, dan
absen dari posisinya sebagai semiotika komprehensif, berupa segitiga hubungan
karya, pembaca, pengarang dan alam semesta.(*)
Cikarang,
13 Februari 2013
Dimuat di Inilah Koran Jabar Rubrik Aspirasi, 17 Februari 2013
http://issuu.com/inilahkoran2/docs/17_feb_13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar