Minggu, 17 Februari 2013

Esai

Krisis Bahasa, Krisis Sastra (?)
Oleh M Taufan Musonip

Bila ditelusuri apa pentingnya sastra bagi sendi kehidupan, maka akan didapati bahwa aktifitas kesastraan bukan sekedar bagaimana melahirkan penulis-penulis kreatif, tetapi merupakan inpirasi bagi berbagai aktifitas kehidupan. Bahasa adalah unsur utama membangun dunia, sedang sastra merupakan unsur kedua (Teeuw, 1996).


Segala sesuatu dimulai dari bahasa, dia merupakan wadah gagasan sekaligus cara pandang. Gagasan yang tak memiliki cara untuk menyusun cara pandang terhadap dunia melalui bahasa, maka pada saat itu sebuah masyarakat manusia tengah mengalami krisis kebudayaan. Kebudayaan bukan merupakan cermin keadaan, tetapi merupakan kumpulan narasi yang mendesak perubahan. Ungkapan Xiaoping tentang kucing hitam, telah merubah Negara China, menjadi negara terbuka, dan memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di Eropa, ungkapan “Aku berpikir maka aku ada” menjadi “roh” peradaban membangun bangsanya. Di Indonesia ungkapan-ungkapan progresif seperti itu pada masa kini tengah mengalami defisit. 

Membangun Cara Pandang
Kebudayaan merupakan penjelmaan kemajuan bahasa. Dalam istilah Bourdieu (2010), kultur tak lain merupakan mesin produksi yang menciptakan berbagai produk kebudayaan untuk disebar ditiap arena kumpulan manusia. Bahasa memegang peranan penting dalam membangun sebuah agen perubahan. Sastra muncul sebagai produk budaya mendesak bahasa bagaimana perubahan mesti dibangun.

Sebagai bangsa, kita tengah didera krisis bahasa oleh karenanya kehilangan cara pandang menghadapi kehidupan dunia. Krisis bahasa sejalan dengan krisis sastra, tapi apa benar kita tengah mengalami krisis sastra? Jika benar apa ukurannya?

Bagi para aktivis sastra, pertanyaan itu begitu menohok, sebab bagaimanapun kita masih merasakan hegarnya penciptaan karya sastra, ribuan puisi masih bisa dinikmati, meski horison pembaca umum kurang antusias membacanya, penyair masih punya cara menerbitkan buku puisi secara indi. Bahkan banyak cerita pendek masih bisa kita dapatkan baik dalam surat kabar maupun media online. Novel-novel populer acapkali menjadi inspirasi pembuatan film. Tetapi kenapa hegarnya karya sastra itu tidak sejalan dengan hadirnya kualitas masyarakat, bagaimana memandang dunia melalui bahasa.

Dikhawatirkan sastra Indonesia sedang mengalami semacam kekacauan eksistensial, dia ada tanpa kehadiran ruhnya sendiri, krisis sastra di Indonesia tidak sedang berhadapan dengan otoritarian, bagaimana Balai Pustaka menetapkan konvensinya sendiri sebagai kepanjangan tangan penguasa kolonialis. Atau bak otoritarian negara Uni Sovyet yang mengadakan sensor ketat terhadap karya sastra (Vasili Asyonov oleh Wiratmo Soekito, 1983) yang hendak diterbitkan.

Tetapi sastra akan terus berhadapan dengan negara, sebagai pembangun kualitas sebuah bangsa, memberi refleksi yang langsung dapat dirasakan oleh bahasanya.

Personalisasi
Ketika sebuah karya diterima masyarakatnya, maka ia merupakan sebuah tanda bahwa pengarangnya telah keluar dari kata-kata yang dikreasikannya, namun keduanya ada dalam bahasa. Pengarang dan pembaca masuk ke dalam tahap penanda yang hendak membangun dunia. Tak ayal karya sastra banyak sekali memberi inspirasi perubahan bagi semesta manusia.

Hilangnya hubungan pengarang dan pembaca dalam bahasa, dikarenakan karya sastra gagal membangun bahasa. Pengarang mampu mencipta seribu kata, tetapi pada saat yang lain membisu dalam bahasa. Karya sastra mengalir bagai ombak, tetapi tak mampu menerjang kenyataan. Penyair terus menuliskan puisinya, tapi keluarganya terbengkalai, tatanan masyarakat hancur, demoralitas terjadi di mana-mana.

Bagaimana pengarang menghadapi kata-kata yang muncul begitu cepat dalam berbagai kanal media. Korupsi, prahara politik, kriminalitas, gratifikasi, skema, kuota, banjir, kemacetan dll adalah kata-kata yang sering didengar hari-hari belakangan, untuk menempatkan pengarang sebagai masyarakat biasa. Aktifitas kesastraan mencoba menarik kata-kata tersebut ke luar dari bahasa, kemudian memasukinya secara personal untuk membangun refleksi atas kejadian yang tengah berlangsung, dan hendak membangun bahasa dengan pembacanya melalui penciptaan kata-kata yang kelak akan ditangkap sebagai sebuah sumber inspirasi mencipta bahasa progresif, mengenai perubahan prilaku dan cara pandang terhadap dunia, seperti frasa Kucing Hitam oleh Xiaoping itu.

Kenyataannya jika pengarang tak memiliki cara menghadapi bahasa, maka karya sastra baru sebatas dinilai sebagai bentuk semiotika semata-mata terpusat pada karya, sementara kritik sastra terhadapnya baru memungkinkan analisa formalis (strukturalis) ala Jakobson atau New Critisism (close reading) gaya Amerika Serikat yang sudah ketinggalan jaman. Dia baru sebatas estetika permainan bahasa belaka yang dibangun berdasarkan kaidah empirik dan gersang oleh pengaruh intuitif, dan absen dari posisinya sebagai semiotika komprehensif, berupa segitiga hubungan karya, pembaca, pengarang dan alam semesta.(*)

Cikarang, 13 Februari 2013
Dimuat di Inilah Koran Jabar Rubrik Aspirasi, 17 Februari 2013
http://issuu.com/inilahkoran2/docs/17_feb_13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar