Senin, 18 Maret 2013

Esai


Kesusastraan Tanpa Kehadiran (Apresiasi) Sastra
Oleh M Taufan Musonip

Secara ekstrem apakah dapat dikatakan sebuah krisis kebudayaan dapat disebabkan karena manusia kurang memerhatikan sastra sebagai produk kebudayaan di antara produk lain yang berkembang dalam masyarakat?

Sastra Tanpa Kehadiran Sastra sebagaimana ditulis oleh Wiratmo Soekito (Sastra dan Kekuasaan: 1984) dalam kacamata hari ini bisa jadi merupakan gambaran kondisi masyarakat yang dilingkupi karya sastra, pada situasi tanpa keterjalinan komunikasi, sehingga gagasan-gagasan yang dibangun dalam sebuah karya sastra mengenai kebaikan, melalui hantaran daya estetik belum menjadi tempat rujukan lain dalam usaha membangun pencerahan.

Simak saja misalnya telaah Ikram dalam Filologia Nusantara terhadap empat karya naskah sastra kuno dalam dua bab, diantaranya Hikayat Sri Rama, Hikayat Pocut Muhamat, Serat Panji Jayakusuma dan satu bab mengenai Cerita Panji, tentang adanya kandungan makna soal kekuasaan yang langsung dihadapkan dengan narasi modern tentang kepemimpinan. Sebenarnya bisa menjadi semacam inspirasi bagi kehidupan politik hari ini yang menurut Ikram jika merujuk pada Sarachek, dalam poin kepemimpinan sebagai siasat dan tipu daya, tak bisa didapatkan dalam tiga naskah kuno itu. 

Tapi jangankan sastra lama yang sulit dijangkau dan terkadang dianggap kolot itu, kehadiran sastra kontemporer pun terlihat masih kurangnya minat, apa sebab?

Tiga Sebab
Kalangan sastra pun banyak yang mengatakan bahwa bangsa ini lahir dari tradisi lisan, padahal jika menengok sejarah Sastra Nusantara, tradisi tulis bangsa Melayu bahkan tercatat dimulai sejak abad 6 M, dalam prasasti Telaga Batu  (Mu’jizah, 2012). Indonesia juga punya naskah sastra terpanjang di dunia yaitu La Galigo dari Bugis, Syair-syair hamzah Fansuri, saduran/salinan naskah-naskah kuno dan penulisan cerita rakyat (folklor) di beberapa daerah. Pada masa penjajahan, Indonesia juga meneruskan tradisi membaca melalui terbitnya koran Medan Prijaji  sebagai rintisan Tirto Adhi Surjo dan beberapa karya sastra yang ditulis Moehamad Moesa seperti Panji Wulung dan beberapa wawacan, di daerah Garut Jawa Barat. Sedang pada masa menjelang kemerdekaan tradisi tulis dapat dibuktikan dengan terbitnya karya-karya yang ditulis diluar konvensi Balai Pustaka sebagai penerbit corong pemerintah kolonial, di antaranya ada nama Kwee Thiam Tjing yang banyak menulis esai satire dalam bahasa melayu pasar, di Surabaya, karyanya telah dikumpulkan dalam Tjamboek Berdoeri Indonesia: dalem Api dan Bara (1972), tulisan Kwee kebanyakan seputar perlawanan terhadap otorarianisme pemerintah kolonial bahkan terhadap kaum tionghoa-Indonesia yang sangat kooperatif terhadap penjajah (BR O’Gorman Anderson, dalam Kosmopolitanisme Kolonial: Etnohistori.org).

Sastra merupakan ruang yang menampung segala peristiwa, ketika koran dan majalah kekurangan ruang menuliskannya. Tak ayal pada masa-masa sulitnya pergerakan pers, maka karya sastra paling depan mencatat berbagai peristiwa melalui caranya sendiri, walaupun terdapat resiko besar di dalamnya, sebagaimana dialami para pengarang di masa-masa pemerintahan otoriter. Pada masa kebebasan kreatif sekarang ini, tentunya sastra tak pernah berhenti membicarakan banyak hal, hanya saja kali ini dia kehilangan apresiasi pembaca, yang pada sejarahnya disebabkan oleh adanya kekuatan politik yang mempengaruhinya di antaranya sebagai berikut: (1) masa awal kolonialisme dan ekspansi bisnis kaum eropa yang mengatakan timur sebagai jaman kegelapan, dengan merujuk pada studi antropologi Radcliffe-Brown (2012, dalam etnohistori.org), yang menyebut studinya sebagai antropologi tanpa sejarah, demi kepentingan perluasan wilayah jajahan. Histori-antropologi hanya memungkinkan adanya dokumen bagi pembelajaran perkembangan kebudayaan manusia,  sementara masyarakat timur hadir tanpa tradisi tulis, oleh karenanya terbelakang. Klaim itu kemungkinan tercipta karena munculnya semangat pencerahan jaman Descartes, dan ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg, kemudian menepuk dada sendiri: “di luar Barat tak ada peradaban”.

(2) masa kolonialisme terutama pada masa politik etis, yang hendak menyatukan dua benua secara berjauhan (Belanda dan Indonesia) dengan bias politik balas budi penjajah salah satunya melalui pendirian Komisi untuk Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Volkslectuur), membentuk kasta buku bacaan, karya sastra yang lahir di luar lembaga itu disebut sebagai bahan bacaan dari kaum rendahan. Lembaga penerbitan yang kelak akan bernama Balai Pustaka itu menasbihkan diri sebagai satu-satunya menara pergerakan sejarah sastra Indonesia, diperkuat oleh statemen Sutan Takdir Alisyahbana tentang kebudayaan Indonesia baru dengan mengubur kelanjutan sejarah Indonesia masa lalu. Oleh karenanya Sastra-sastra lama kemudian menjadi nisan kuburan tradisi tulis nenek moyang Indonesia.

(3) Kehadiran Balai Pustaka tentu tak mengubur aktifitas sastra  di luar arus mainstream hingga paska kemerdekaan, akan tetapi pada masa orde baru gairah itu ditumbangkan dengan  pembreidelan buku dan media massa yang tak sejalan dengan kebijakan politiknya. Minat baca masyarakat tergusur dalam hal ini karena tradisi kritik sosial dalam sastra kemudian absen.

Poin (1) dan (2) memungkinkan adanya masyarakat baca yang sengaja dihapus dalam sejarah ---sebagai kekuasaan--- untuk melekatkan cema pada bangsa kita, sebagai bangsa yang dilahirkan tanpa tradisi tulis. Sementara pada poin (3) selain kuatnya pencemaan di atas, memang terjadi pengalihan secara struktural dari masyarakat baca menuju lisani. Oleh karenanya perlu digiring kembali budaya baca itu melalui kanal sastra sebagai teks yang memiliki kandungan pencerahan dan hiburan sekaligus.

Proses
Memang ada proses yang mesti dijalani ---selain pendekatan sejarah tradisi tulis di Indonesia--- dimulai dari perlunya retrospeksi adanya berbagai konvensi sebagai tandingan dari menara mahzab yang pada saat ini menjulang berdiri. Mahzab itu masih seputar karya sastra sebagai “seni untuk seni” berhadapan langsung dengan budaya populer sebagai jerat kegairahan membaca.

Sebuah keadaan yang menuntut digelarnya kembali sejarah hujah antar konvensi dari landasan mimetik, pragmatisme dan sosiolinguistik terhadap kajian formalisme dan close reading sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu dalam sastra dunia. Untuk menggairahkan itu perlu dibuka kembali tradisi kritik sastra yang selama ini pingsan setelah buku Sebuah Pertemuan karya Arif Budiman terhadap Chairil Anwar termasuk kritik Dami N Toda kepada tiga buku novel Iwan Simatupang itu. Hadirnya konvensi-konvensi sastra dalam diskursus kritik sastra menerbitkan warna-warna baru penulisan sastra, pararel dengan penciptaan berbagai horison harapan pembaca. Akan tetapi tantangan terberatnya justru bagaimana mengimbangi budaya populer yang semakin mencengkram akhir-akhir ini, oleh itu mungkin diperlukan semacam konvensi baru sastra Indonesia, muncul dari tradisi kritik yang mulai dibangun kembali.(*)

Cikarang, 20 Februari 2013
Dimuat di Lampung Post 17 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar