Kesusastraan Tanpa Kehadiran (Apresiasi) Sastra
Oleh M Taufan Musonip
Secara ekstrem apakah dapat dikatakan sebuah krisis kebudayaan dapat disebabkan karena manusia kurang memerhatikan sastra sebagai produk kebudayaan di antara produk lain yang berkembang dalam masyarakat?
Sastra Tanpa Kehadiran Sastra
sebagaimana ditulis oleh Wiratmo Soekito (Sastra
dan Kekuasaan: 1984) dalam kacamata hari ini bisa jadi merupakan gambaran
kondisi masyarakat yang dilingkupi karya sastra, pada situasi tanpa
keterjalinan komunikasi, sehingga gagasan-gagasan yang dibangun dalam sebuah
karya sastra mengenai kebaikan, melalui hantaran daya estetik belum menjadi
tempat rujukan lain dalam usaha membangun pencerahan.
Simak saja
misalnya telaah Ikram dalam Filologia
Nusantara terhadap empat karya naskah sastra kuno dalam dua bab,
diantaranya Hikayat Sri Rama, Hikayat Pocut Muhamat, Serat Panji Jayakusuma dan satu bab
mengenai Cerita Panji, tentang adanya
kandungan makna soal kekuasaan yang langsung dihadapkan dengan narasi modern
tentang kepemimpinan. Sebenarnya bisa menjadi semacam inspirasi bagi kehidupan
politik hari ini yang menurut Ikram jika merujuk pada Sarachek, dalam poin
kepemimpinan sebagai siasat dan tipu daya, tak bisa didapatkan dalam tiga
naskah kuno itu.
Tapi
jangankan sastra lama yang sulit dijangkau dan terkadang dianggap kolot itu,
kehadiran sastra kontemporer pun terlihat masih kurangnya minat, apa sebab?
Tiga Sebab
Kalangan
sastra pun banyak yang mengatakan bahwa bangsa ini lahir dari tradisi lisan,
padahal jika menengok sejarah Sastra Nusantara, tradisi tulis bangsa Melayu bahkan
tercatat dimulai sejak abad 6 M, dalam prasasti Telaga Batu (Mu’jizah, 2012). Indonesia juga punya naskah
sastra terpanjang di dunia yaitu La
Galigo dari Bugis, Syair-syair hamzah Fansuri, saduran/salinan
naskah-naskah kuno dan penulisan cerita rakyat (folklor) di beberapa daerah.
Pada masa penjajahan, Indonesia juga meneruskan tradisi membaca melalui
terbitnya koran Medan Prijaji sebagai rintisan Tirto Adhi Surjo dan beberapa
karya sastra yang ditulis Moehamad Moesa seperti Panji Wulung dan beberapa wawacan,
di daerah Garut Jawa Barat. Sedang pada masa menjelang kemerdekaan tradisi
tulis dapat dibuktikan dengan terbitnya karya-karya yang ditulis diluar
konvensi Balai Pustaka sebagai penerbit corong pemerintah kolonial, di
antaranya ada nama Kwee Thiam Tjing yang banyak menulis esai satire dalam
bahasa melayu pasar, di Surabaya, karyanya telah dikumpulkan dalam Tjamboek Berdoeri Indonesia: dalem Api dan
Bara (1972), tulisan Kwee kebanyakan seputar perlawanan terhadap
otorarianisme pemerintah kolonial bahkan terhadap kaum tionghoa-Indonesia yang
sangat kooperatif terhadap penjajah (BR O’Gorman Anderson, dalam Kosmopolitanisme Kolonial:
Etnohistori.org).
Sastra
merupakan ruang yang menampung segala peristiwa, ketika koran dan majalah
kekurangan ruang menuliskannya. Tak ayal pada masa-masa sulitnya pergerakan
pers, maka karya sastra paling depan mencatat berbagai peristiwa melalui caranya
sendiri, walaupun terdapat resiko besar di dalamnya, sebagaimana dialami para
pengarang di masa-masa pemerintahan otoriter. Pada masa kebebasan kreatif
sekarang ini, tentunya sastra tak pernah berhenti membicarakan banyak hal,
hanya saja kali ini dia kehilangan apresiasi pembaca, yang pada sejarahnya
disebabkan oleh adanya kekuatan politik yang mempengaruhinya di antaranya
sebagai berikut: (1) masa awal kolonialisme dan ekspansi bisnis kaum eropa yang
mengatakan timur sebagai jaman kegelapan, dengan merujuk pada studi antropologi
Radcliffe-Brown (2012, dalam etnohistori.org), yang menyebut studinya sebagai
antropologi tanpa sejarah, demi kepentingan perluasan wilayah jajahan.
Histori-antropologi hanya memungkinkan adanya dokumen bagi pembelajaran
perkembangan kebudayaan manusia,
sementara masyarakat timur hadir tanpa tradisi tulis, oleh karenanya
terbelakang. Klaim itu kemungkinan tercipta karena munculnya semangat
pencerahan jaman Descartes, dan ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg,
kemudian menepuk dada sendiri: “di luar Barat tak ada peradaban”.
(2) masa
kolonialisme terutama pada masa politik etis, yang hendak menyatukan dua benua
secara berjauhan (Belanda dan Indonesia) dengan bias politik balas budi
penjajah salah satunya melalui pendirian Komisi
untuk Bacaan Rakyat (Commissie Voor
de Volkslectuur), membentuk kasta buku bacaan, karya sastra yang lahir di
luar lembaga itu disebut sebagai bahan bacaan dari kaum rendahan. Lembaga
penerbitan yang kelak akan bernama Balai Pustaka itu menasbihkan diri sebagai
satu-satunya menara pergerakan sejarah sastra Indonesia, diperkuat oleh
statemen Sutan Takdir Alisyahbana tentang kebudayaan Indonesia baru dengan
mengubur kelanjutan sejarah Indonesia masa lalu. Oleh karenanya Sastra-sastra
lama kemudian menjadi nisan kuburan tradisi tulis nenek moyang Indonesia.
(3)
Kehadiran Balai Pustaka tentu tak mengubur aktifitas sastra di luar arus mainstream hingga paska
kemerdekaan, akan tetapi pada masa orde baru gairah itu ditumbangkan dengan pembreidelan buku dan media massa yang tak
sejalan dengan kebijakan politiknya. Minat baca masyarakat tergusur dalam hal
ini karena tradisi kritik sosial dalam sastra kemudian absen.
Poin (1)
dan (2) memungkinkan adanya masyarakat baca yang sengaja dihapus dalam sejarah
---sebagai kekuasaan--- untuk melekatkan cema pada bangsa kita, sebagai bangsa
yang dilahirkan tanpa tradisi tulis. Sementara pada poin (3) selain kuatnya
pencemaan di atas, memang terjadi pengalihan secara struktural dari masyarakat
baca menuju lisani. Oleh karenanya perlu digiring kembali budaya baca itu
melalui kanal sastra sebagai teks yang memiliki kandungan pencerahan dan
hiburan sekaligus.
Proses
Memang ada proses
yang mesti dijalani ---selain pendekatan sejarah tradisi tulis di Indonesia---
dimulai dari perlunya retrospeksi adanya berbagai konvensi sebagai tandingan dari
menara mahzab yang pada saat ini menjulang berdiri. Mahzab itu masih seputar
karya sastra sebagai “seni untuk seni” berhadapan langsung dengan budaya
populer sebagai jerat kegairahan membaca.
Sebuah
keadaan yang menuntut digelarnya kembali sejarah hujah antar konvensi dari
landasan mimetik, pragmatisme dan sosiolinguistik terhadap kajian formalisme
dan close reading sebagaimana
pernah terjadi pada masa lalu dalam sastra dunia. Untuk menggairahkan itu perlu
dibuka kembali tradisi kritik sastra yang selama ini pingsan setelah buku Sebuah Pertemuan karya Arif Budiman
terhadap Chairil Anwar termasuk kritik Dami N Toda kepada tiga buku novel Iwan
Simatupang itu. Hadirnya konvensi-konvensi sastra dalam diskursus kritik sastra
menerbitkan warna-warna baru penulisan sastra, pararel dengan penciptaan
berbagai horison harapan pembaca. Akan tetapi tantangan terberatnya justru bagaimana
mengimbangi budaya populer yang semakin mencengkram akhir-akhir ini, oleh itu
mungkin diperlukan semacam konvensi baru sastra Indonesia, muncul dari tradisi
kritik yang mulai dibangun kembali.(*)
Cikarang,
20 Februari 2013
Dimuat di Lampung Post 17 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar