"Mohamad Ali" Karya Andy Warhol |
Hikmah Tragedi
Oleh M Taufan Musonip
Saya pikir bukanlah filsafat jika ia
benderang. Memang pusatnya pada pikiran, tapi pikiran dilatih di dalamnya untuk
mengetahui batas-batas yang tak bisa terjamah oleh pikiran. Itulah mengapa
semua buku filsafat selalu mengurut dahi, ia pada akhirnya mitos pula.
Maka nalar dipertanyakan jika ia
hanya mampu menelusuri garis-garis yang dapat dipikirkan. Nalar mendapat
kritiknya, sejak Lacan menemukan istilah Psychedelica,
para intelektual meyakini ada sesuatu yang lebih eksotis ketimbang apa yang
hanya bisa kita lihat.
Maka akhir dari strukturalisme adalah
munculnya koordinat cartesian, sebuah momentum di mana sejarah mengalami
keterputusan (diskontinuitas), orang-orang mulai meyakini sesuatu di luar
nalar. Intelektual dalam garis strukturalisme yang memautkan formalisme
mendapat tantangannya. Filsafat di sini mengambil peran sebagai garda depan
menunjukan para pemikir pada lorong gelap yang belum terjamah. Sesuatu yang
benderang ditarik ke arah gelap, sesuatu yang berbicara tentang kematian itu,
tentang sebuah kehendak mengetahui segala sesuatu memerlukan pembinasaan diri,
seperti dikatakan oleh Foucault.
Atribut itu bermuara pada ciri berada
manusia yang hendak aktual, maka waktu menjadi memiliki gambaran tersendiri,
mekanisme sebagai titik yang merentang antara perputaran waktu didekontruksi
menjadi waktu mengada. Maka dalam sejarahnya formalisme selalu memautkan
pekerja-pekerja yang menyerah oleh waktu mekanis ketimbang pekerja-pekerja yang
berkuasa atas waktu.
Pembinasaan diri dalam rentang waktu
mengada, bukan berarti hanya berbicara mengenai yang diperlukan setelah mati. Tetapi
menjadi semacam tumbukan yang bergerak dua sisi: keabadian dan kehendak
berkuasa atas dunia.
Perlu digaris bawahi di sini,
keabadian dan kehendak berkuasa bukanlah kehendak konservatisme terhadap
keadaan. Keabadian dan kehendak berkuasa akan menjadi bola panas yang
menggelinding ke arah strukturalisme. Menjadi semacam tragedi, sesuatu yang
paling diingat dalam rentang sejarah kehidupan manusia.
Strukturalisme akan selalu
dikelilingi oleh orang-orang yang mengagungkan keabadian dan kehendak berkuasa,
di sana digelindingkannya bola panas untuk melibas segala keteraturan yang ada.
Bagai momentum retakan: bisa jadi revolusi atau perubahan secara bertahap.
Untuk melalui jalan terjal itu
diperlukan pengertian terhadap sesuatu yang berada diluar nalar menghantam
segala lanskap formalisme.
Sastra dan Tragedi
Saya melihat seni kesustraan mengarah
ke sana. Menuju revolusi pemikiran yang agung. Sejak Sutardji Calzoum Bahri
memautkan kata komunitas sastra sebagai agen daripada kritik terhadap
intelektual, seni kesusastraan secara khusus ditempatkan sebagai konkretisasi
mengacak-ngacak kemapanan.
Maka seperti yang baru saya ketahui,
kesusatraan seperti pembentukan terus menerus atas mitos, belajar bagaimana
membutakan mata sendiri untuk sesaat mencari sebuah keadaan yang belum lantas
dipikirkan. Menjadi suatu hal yang baru dari yang gelap menjadi cahaya yang
melingkupi kehidupan. Dan akan bergerak menjadi sesuatu yang tragis bagi
sejarah. Perlahan tapi pasti akan membentuk peradabannya sendiri.
The Kiss Karya Gustav Klimt |
Oleh karenanya apa artinya tragedi-bencana
yang tengah berlangsung di depan mata kita?, bahwa ada kehendak semesta yang
dilingkupi kekuatan ghaib untuk segera menghancurkan struktur alam raya tempat
tinggal manusia, sebagai hikmah untuk berhenti menjadi orang-orang yang
terekslusi oleh kuasa*. Sudah saatnya kita menjadi yang terdepan
dalam usaha membangkitkan orang-orang terpinggirkan, sebagian adalah
orang-orang desa, para petani berserta lingkungannya. Orang-orang yang tak
pernah tahu adat kota itu. Orang-orang yang masih percaya mitos. Mereka yang
jelas berada diluar lanskap formalisme sebagai penggerus eksistensi sebagian
manusia. Membantu meraih momentumnya sebagai anak-anak rimba raya, merebut
kembali simbol-simbol peradaban yang telah lama terkubur, sejak awal mereka
terekslusi.
Pembelaan terhadap orang-orang
pinggiran memang kelihatan sedang terjadi tapi tak lebih dari semacam
eksploitasi dari marjinalisasi yang ada, semata-mata simulakra. Orang-orang
pinggiran memiliki fantasme dan hanya bergerak ke arah pemuasan kebutuhan
sendiri sebagai ekses dari cengkraman strukturalisme, sementara para borjuis
menjadikannya simulakra demi menaikan pamor sendiri, untuk mempertahankan
kekuasaan yang secara otomatis berarti mempertahankan kekayaannya.
Simulakra itu masuk ke dalam
serangan-serangan barbar yang ramai menguasai dunia gelombang. Seperti seorang
selebritas dan partai politik yang mempertahankan kedok agungnya berpartisipasi
dalam penanggulangan bencana, dan saya yang menontonnya semakin menyukai adegan
seorang artis dalam tayangan sinetron. Masih untung saya tidak tertarik pada
partai politik di sana, untuk memilihnya pada pemilu empat tahun mendatang,
bukan karena mengerti akan adanya kepura-puraan, tapi karena semakin “apatis”
terhadap kehidupan perpolitikan nasional.
Maka saya hanya bisa bernaung dalam
puisi yang lebih eksotis dari pada filsafat yang tak minta diselesaikan. Apa yang belum
diselesaikan dalam puisi diselesaikan dalam aksi. Begitulah sejatinya.
***
Cikarang-Pebayuran, 1 November 2010
*Sejak ada pembedaan tanah negara dan tanah rakyat masa
penjajahan Belanda, masyarakat menjadi terekslusi mendiami lahan tanah di
pegunungan yang rawan bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar