Sabtu, 12 Januari 2013

Esai

"Mohamad Ali" Karya Andy Warhol

Hikmah Tragedi
Oleh M Taufan Musonip

Saya pikir bukanlah filsafat jika ia benderang. Memang pusatnya pada pikiran, tapi pikiran dilatih di dalamnya untuk mengetahui batas-batas yang tak bisa terjamah oleh pikiran. Itulah mengapa semua buku filsafat selalu mengurut dahi, ia pada akhirnya mitos pula.

Maka nalar dipertanyakan jika ia hanya mampu menelusuri garis-garis yang dapat dipikirkan. Nalar mendapat kritiknya, sejak Lacan menemukan istilah Psychedelica, para intelektual meyakini ada sesuatu yang lebih eksotis ketimbang apa yang hanya bisa kita lihat.

Maka akhir dari strukturalisme adalah munculnya koordinat cartesian, sebuah momentum di mana sejarah mengalami keterputusan (diskontinuitas), orang-orang mulai meyakini sesuatu di luar nalar. Intelektual dalam garis strukturalisme yang memautkan formalisme mendapat tantangannya. Filsafat di sini mengambil peran sebagai garda depan menunjukan para pemikir pada lorong gelap yang belum terjamah. Sesuatu yang benderang ditarik ke arah gelap, sesuatu yang berbicara tentang kematian itu, tentang sebuah kehendak mengetahui segala sesuatu memerlukan pembinasaan diri, seperti dikatakan oleh Foucault.

Atribut itu bermuara pada ciri berada manusia yang hendak aktual, maka waktu menjadi memiliki gambaran tersendiri, mekanisme sebagai titik yang merentang antara perputaran waktu didekontruksi menjadi waktu mengada. Maka dalam sejarahnya formalisme selalu memautkan pekerja-pekerja yang menyerah oleh waktu mekanis ketimbang pekerja-pekerja yang berkuasa atas waktu.

Pembinasaan diri dalam rentang waktu mengada, bukan berarti hanya berbicara mengenai yang diperlukan setelah mati. Tetapi menjadi semacam tumbukan yang bergerak dua sisi: keabadian dan kehendak berkuasa atas dunia.

Perlu digaris bawahi di sini, keabadian dan kehendak berkuasa bukanlah kehendak konservatisme terhadap keadaan. Keabadian dan kehendak berkuasa akan menjadi bola panas yang menggelinding ke arah strukturalisme. Menjadi semacam tragedi, sesuatu yang paling diingat dalam rentang sejarah kehidupan manusia.

Strukturalisme akan selalu dikelilingi oleh orang-orang yang mengagungkan keabadian dan kehendak berkuasa, di sana digelindingkannya bola panas untuk melibas segala keteraturan yang ada. Bagai momentum retakan: bisa jadi revolusi atau perubahan secara bertahap.

Untuk melalui jalan terjal itu diperlukan pengertian terhadap sesuatu yang berada diluar nalar menghantam segala lanskap formalisme.


Sastra dan Tragedi
Saya melihat seni kesustraan mengarah ke sana. Menuju revolusi pemikiran yang agung. Sejak Sutardji Calzoum Bahri memautkan kata komunitas sastra sebagai agen daripada kritik terhadap intelektual, seni kesusastraan secara khusus ditempatkan sebagai konkretisasi mengacak-ngacak kemapanan.

Maka seperti yang baru saya ketahui, kesusatraan seperti pembentukan terus menerus atas mitos, belajar bagaimana membutakan mata sendiri untuk sesaat mencari sebuah keadaan yang belum lantas dipikirkan. Menjadi suatu hal yang baru dari yang gelap menjadi cahaya yang melingkupi kehidupan. Dan akan bergerak menjadi sesuatu yang tragis bagi sejarah. Perlahan tapi pasti akan membentuk peradabannya sendiri.


The Kiss Karya Gustav Klimt
Oleh karenanya apa artinya tragedi-bencana yang tengah berlangsung di depan mata kita?, bahwa ada kehendak semesta yang dilingkupi kekuatan ghaib untuk segera menghancurkan struktur alam raya tempat tinggal manusia, sebagai hikmah untuk berhenti menjadi orang-orang yang terekslusi oleh kuasa*. Sudah saatnya kita menjadi yang terdepan dalam usaha membangkitkan orang-orang terpinggirkan, sebagian adalah orang-orang desa, para petani berserta lingkungannya. Orang-orang yang tak pernah tahu adat kota itu. Orang-orang yang masih percaya mitos. Mereka yang jelas berada diluar lanskap formalisme sebagai penggerus eksistensi sebagian manusia. Membantu meraih momentumnya sebagai anak-anak rimba raya, merebut kembali simbol-simbol peradaban yang telah lama terkubur, sejak awal mereka terekslusi.

Pembelaan terhadap orang-orang pinggiran memang kelihatan sedang terjadi tapi tak lebih dari semacam eksploitasi dari marjinalisasi yang ada, semata-mata simulakra. Orang-orang pinggiran memiliki fantasme dan hanya bergerak ke arah pemuasan kebutuhan sendiri sebagai ekses dari cengkraman strukturalisme, sementara para borjuis menjadikannya simulakra demi menaikan pamor sendiri, untuk mempertahankan kekuasaan yang secara otomatis berarti mempertahankan kekayaannya.

Simulakra itu masuk ke dalam serangan-serangan barbar yang ramai menguasai dunia gelombang. Seperti seorang selebritas dan partai politik yang mempertahankan kedok agungnya berpartisipasi dalam penanggulangan bencana, dan saya yang menontonnya semakin menyukai adegan seorang artis dalam tayangan sinetron. Masih untung saya tidak tertarik pada partai politik di sana, untuk memilihnya pada pemilu empat tahun mendatang, bukan karena mengerti akan adanya kepura-puraan, tapi karena semakin “apatis” terhadap kehidupan perpolitikan nasional.

Maka saya hanya bisa bernaung dalam puisi yang lebih eksotis dari pada filsafat yang tak minta diselesaikan. Apa yang belum diselesaikan dalam puisi diselesaikan dalam aksi. Begitulah sejatinya.
***
Cikarang-Pebayuran, 1 November 2010
*Sejak ada pembedaan tanah negara dan tanah rakyat masa penjajahan Belanda, masyarakat menjadi terekslusi mendiami lahan tanah di pegunungan yang rawan bencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar