Lokalitas dan Pemihakan Terhadap Orang-orang Terekslusi
Oleh: M Taufan Musonip
Modernitas menempatkan posisi kota
dan desa bukan lagi semata-mata persoalan geografis. Sejatinya telah terjadi
invasi modernitas secara membabi buta, melepaskan batas-batas itu. Orang-orang
kota yang memegang kekuatan ekonomi, toh bisa merencanakan lanskap modernitas
bahkan di pelosok desa.
Orang-orang desa bahkan sedang terdistorsi
budayanya dari serangan distribusi produksi, industrialisasi, hingga rencana
perkotaan mandiri. Prilaku materialistis menular begitu saja. Mereka dipaksa
untuk menjangkau gaya hidup perkotaan yang menerjangnya. Sementara lahan
pekerjaan yang dahulu tercermin dalam kebiasaan bercocok tanam, misalnya, sudah
sedemikian tergerus.
Dalam keadaan itu, mereka kemudian
merasa harus memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara orang kota, tapi selalu
menjadi pertanda marjinalisasi bagi laku gerak modernitas.
Maka pada kenyataannya perkara
kedaerahan bukan lagi persoalan asal muasal, tapi merupakan sebuah pilihan ketika
orang mulai mencari tempat yang tepat untuk melangsungkan hidupnya saat ia
harus mencoba peruntungan di luar kampungnya.
Lalu bagaimana mempertahankan
kedaerahan itu mengikuti irama modernitas? Para sastrawan, hendak melakukannya
dengan menguak kembali memori prilaku masyarakat kampungnya, menghadirkan
simbolisasi mitologis tradisi dalam teroka kekinian.
Mustinya memang begitu. Meneroka
prilaku adat kampung bukan hendak melemahkannya. Tapi mencobanya sebagai
perkakas yang unggul dari perkakas modernitas yang ada, bahwa tradisi itu
adalah cara pandang yang tepat dalam menghadapi arus hidup. Setidaknya
sebagai pakem saat modernitas sudah
semakin kehilangan kendalinya.
Persoalan Silariang (Senarai Kisah, Mengawini Ibu. 2010) dalam Cerpen Khrisna
Pabhicara, sebagai salah satu tradisi orang Makassar, hadir dalam bentuknya
yang kritis terhadap adat kota. Tanpa sadar perseteruan antar dua keluarga,
telah mencerminkan adat kota itu, yang saling mendendam, tanpa reses, menjadi
semacam keadaan melawan adat kampung, yang serba rukun, yang serba
kekeluargaan.
Namun dalam hal ini Silariang bukan lagi semata-mata adat
kampung, karena kawin lari adalah upaya pemberontakan terhadap sebuah lembaga
paling sakral bernama keluarga, oleh karenanya juga bersifat modern dalam artian
melabrak adat kampung juga, di mana anak diwajibkan untuk patuh pada ke dua
orang tuanya.
Pergolakan Batin
Ada semacam upaya entmytologysierung seperti dikatakan
Romo Mangun, semacam daya religiositas, menampung cara modernisasi yang benar,
yang terkadang melawan adat kampungnya sendiri, justru melalui
perangkat-perangkat adatnya. Arah folklorisasi masa kolonial dalam Balai
Pustaka bergerak di jaman globalisasi sebagai pemunculan kembali adat kampung
sebagai sesuatu yang berjarak sehingga nampak klasik dan indah untuk didedah
dan diapresiasi.
Sastra menjadi kampiun sebuah
modernisasi, sebagai alat representasi mitos-mitos adat kampung yang ada.
Hati-hati kehilangan daya pemihakan, terhadap marjinalisasi orang desa dari
serangan bertubi-tubi adat kota itu. Jika fokus kepengarangan adalah
marjinalisasi orang-orang desa yang sudah nirzona, maka kedaerahan bukan lagi
fokus garapan satu-satunya, daerah garapan keperangan bisa jadi adalah daerah
perkotaan secara administratif, yang dihuni oleh orang-orang daerah yang
terekslusi.
Maka pada dasarnya seorang seniman
sastra (apapun bentuknya), setidaknya tengah berada di persimpangan jalan
antara tempat kelahirannya dengan modernitas tempat ia tinggal sekarang. Di
mana jejak tinggalnya sudah mulai tersapu angin yang tercipta dari derap
urbanisasi. Ia sebenarnya tersesat, membuka kenangannya kembali akan tempat
kelahirannya tanpa bisa kembali menjadi manusia lokal secara utuh.
Ia menjadi manusia yang kini, bukan
yang lalu. Meraih kemerdekaan bagi dirinya dengan ‘merantau’--- diartikan bukan
semata-mata fisik---, tak sadar apa yang didapatnya selalu beresiko menjadi
negasi bagi dirinya yang lalu. Muncullah pergolakan bathin, nyatanya kesadaran
akan kelokalan, bukan semata-mata pembicaraan mengenainya saja, tetapi memiliki
maksud yang kuat bagaimana melakukan pemihakan terhadap mereka yang terkalahkan
dengan apa yang sudah berhasil ia kuasai saat dirinya merantau.
***
Cikarang, 5 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar