Sabtu, 12 Januari 2013

Esai


Lokalitas dan Pemihakan Terhadap Orang-orang Terekslusi
Oleh: M Taufan Musonip

Modernitas menempatkan posisi kota dan desa bukan lagi semata-mata persoalan geografis. Sejatinya telah terjadi invasi modernitas secara membabi buta, melepaskan batas-batas itu. Orang-orang kota yang memegang kekuatan ekonomi, toh bisa merencanakan lanskap modernitas bahkan di pelosok desa.

Orang-orang desa bahkan sedang terdistorsi budayanya dari serangan distribusi produksi, industrialisasi, hingga rencana perkotaan mandiri. Prilaku materialistis menular begitu saja. Mereka dipaksa untuk menjangkau gaya hidup perkotaan yang menerjangnya. Sementara lahan pekerjaan yang dahulu tercermin dalam kebiasaan bercocok tanam, misalnya, sudah sedemikian tergerus.

Dalam keadaan itu, mereka kemudian merasa harus memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara orang kota, tapi selalu menjadi pertanda marjinalisasi bagi laku gerak modernitas.

Maka pada kenyataannya perkara kedaerahan bukan lagi persoalan asal muasal, tapi merupakan sebuah pilihan ketika orang mulai mencari tempat yang tepat untuk melangsungkan hidupnya saat ia harus mencoba peruntungan di luar kampungnya.

Lalu bagaimana mempertahankan kedaerahan itu mengikuti irama modernitas? Para sastrawan, hendak melakukannya dengan menguak kembali memori prilaku masyarakat kampungnya, menghadirkan simbolisasi mitologis tradisi dalam teroka kekinian.


Mustinya memang begitu. Meneroka prilaku adat kampung bukan hendak melemahkannya. Tapi mencobanya sebagai perkakas yang unggul dari perkakas modernitas yang ada, bahwa tradisi itu adalah cara pandang yang tepat dalam menghadapi arus hidup. Setidaknya sebagai  pakem saat modernitas sudah semakin kehilangan kendalinya.

Persoalan Silariang (Senarai Kisah, Mengawini Ibu. 2010) dalam Cerpen Khrisna Pabhicara, sebagai salah satu tradisi orang Makassar, hadir dalam bentuknya yang kritis terhadap adat kota. Tanpa sadar perseteruan antar dua keluarga, telah mencerminkan adat kota itu, yang saling mendendam, tanpa reses, menjadi semacam keadaan melawan adat kampung, yang serba rukun, yang serba kekeluargaan.

Namun dalam hal ini Silariang bukan lagi semata-mata adat kampung, karena kawin lari adalah upaya pemberontakan terhadap sebuah lembaga paling sakral bernama keluarga, oleh karenanya juga bersifat modern dalam artian melabrak adat kampung juga, di mana anak diwajibkan untuk patuh pada ke dua orang tuanya.

Pergolakan Batin
Ada semacam upaya entmytologysierung seperti dikatakan Romo Mangun, semacam daya religiositas, menampung cara modernisasi yang benar, yang terkadang melawan adat kampungnya sendiri, justru melalui perangkat-perangkat adatnya. Arah folklorisasi masa kolonial dalam Balai Pustaka bergerak di jaman globalisasi sebagai pemunculan kembali adat kampung sebagai sesuatu yang berjarak sehingga nampak klasik dan indah untuk didedah dan diapresiasi.

Sastra menjadi kampiun sebuah modernisasi, sebagai alat representasi mitos-mitos adat kampung yang ada. Hati-hati kehilangan daya pemihakan, terhadap marjinalisasi orang desa dari serangan bertubi-tubi adat kota itu. Jika fokus kepengarangan adalah marjinalisasi orang-orang desa yang sudah nirzona, maka kedaerahan bukan lagi fokus garapan satu-satunya, daerah garapan keperangan bisa jadi adalah daerah perkotaan secara administratif, yang dihuni oleh orang-orang daerah yang terekslusi.

Maka pada dasarnya seorang seniman sastra (apapun bentuknya), setidaknya tengah berada di persimpangan jalan antara tempat kelahirannya dengan modernitas tempat ia tinggal sekarang. Di mana jejak tinggalnya sudah mulai tersapu angin yang tercipta dari derap urbanisasi. Ia sebenarnya tersesat, membuka kenangannya kembali akan tempat kelahirannya tanpa bisa kembali menjadi manusia lokal secara utuh.

Ia menjadi manusia yang kini, bukan yang lalu. Meraih kemerdekaan bagi dirinya dengan ‘merantau’--- diartikan bukan semata-mata fisik---, tak sadar apa yang didapatnya selalu beresiko menjadi negasi bagi dirinya yang lalu. Muncullah pergolakan bathin, nyatanya kesadaran akan kelokalan, bukan semata-mata pembicaraan mengenainya saja, tetapi memiliki maksud yang kuat bagaimana melakukan pemihakan terhadap mereka yang terkalahkan dengan apa yang sudah berhasil ia kuasai saat dirinya merantau.
***
Cikarang, 5 Januari 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar