Menciptakan Tradisi Keberaksaraan dalam Akar Budaya Kritik
Oleh M Taufan Musonip
Keberaksaraan merupakan ciri
berwujudnya eksistensi manusia. A Teeuw membedakan kesadaran keberaksaraan
dengan tradisi lisan dalam bukunya Indonesia
antara Kelisanan dan Keberaksaraan yang pada awalnya menelisik sebuah
pidato Presiden 1988, diperdengarkan dalam berbagai media massa elektronik.
Meski sebenarnya pada saat itu Sang Presiden membacakan naskah tertulis, pembacaan
secara verbal memungkinkan orang memiliki pandangan yang sama terhadap isi
pidato tersebut. Hal ini bagi A Teeuw karena dalam bahasa verbal ditemukan
istilah formulaik yang menjadikan
adanya penekanan beberapa kalimat semacam ilmu retorika memunculkan pesona dan kharisma seorang pembaca
pidato.
Formulaik, sebagaimana istilah Teeuw,
juga merujuk pada naskahnaskah Yunani Kuno yang dipertunjukan dalam sandiwara
kisah Illiad dan Odissey, dibawakan oleh Homerus si buta. Persoalan ada atau tidak
adanya naskah dua lakon itu secara tertulis menjadi bukan kajian penting, yang
terpenting adalah ketika Homerus, mempertontonkan lakon tersebut dengan
berbagai gaya pertunjukan. Dalam bahasa verbal istilah formulaik merupakan
upaya menarik minat para pendengar atau penonton, yang karenanya si pembicara
mendapatkan pesona, mengalahkan kekuatan teks yang di sampaikannya.
Di Indonesia tingkat keberaksaraan
tak dapat dipantau dari aktifitas penerbitan buku atau media massa. Meski kita
telah meyakini adanya minat baca yang rendah pada kehidupan kita, toh bukubuku
tetap banyak diterbitkan, buletinbuletin kajian agama masih banyak tersebar di
masjidmasjid, penggalian berbagai kitab dalam komunitas agama tertentu masih
berlangsung. Para sastrawan meskipun sulit menembus penerbit besar tetap saja menerbitkan
bukunya secara indi. Jadi dari manakah kita dapat memantau rendahnya minat baca
masyarakat Indonesia?
Kitab dan perkumpulan
Banyak buku sebenarnya memengaruhi
tingkah laku pembaca. Kitab Fadhillah
Amal yang diyakini sebuah komunitas keagamaan sebagai petunjuk jalan As Sunnah, menjadi pegangan komunitas
tersebut sebagai panduan prilaku di mana jamaahnya sering melakukan
pengembaraan spiritual dari masjid ke masjid. Di dalamnya bukan hanya sekedar
mengutip nilainilai keagamaan, tetapi sajaksajak dari pujangga timur tengah
dan India. Buletin Al Islam membangun
komunitas pengajian dalam Hizbut Tahrir
Indonesia, meski anggotanya belum diketahui cukup besar, buletin itu selalu
eksis di tiap masjid, hendak tampil sebagai pencerah dengan mengkritik berbagai
kebijakan pemerintah dengan syariat. Sementara Kitab Manakiban sering menjadi panduan ritual kaum sufi rintisan
Abah Anom, Tasikmalaya, isinya adalah pengembaraan spiritual Syeikh Abdul Qadir
Jaelani. Di masa lalu dapat terlihat pula bagaimana Buletin Suwara Muhammadiyah oleh KH Achmad
Dahlan dapat mempengaruhi hierarki ulama-santri dalam pengertian transformasi
dari tabligh menuju sekolah modern, yang membangun jarak antara pengarang
(ulama) dengan para santrinya melalui suasana tekstual.
Di Indonesia buku (terutama kitab
tua) sering hampir sama diposisikan dengan Kitab Suci. Dengan demikian
sebenarnya buku sangat berpotensi membangun perkumpulan. Perkumpulan membentuk
tingkatan pemahaman atas teks, struktur itu terjelmakan dalam aktifitas verbal,
yang memegang posisi tertinggi dapat dianggap sebagai patron bagi perkumpulan.
Patronase di dalamnya menjadi caraka bagi kesatuan pandangan atas isi sebuah
kitab. Di sini sebenarnya, tingkat minat baca dapat segera terpantau.
Dalam budaya patronase tersebut
dimungkinkan pula terbentuk pemahaman yang sama, dari model busana, bujana,
gaya dan pandangan hidup disertai prilaku yang lahir dari pragmatisme sesuai
dengan arahan sang patron dari hasil pembacaan atas teks.
Padahal dalam budaya teks, sebuah
karya bukan hanya melahirkan prilaku yang baik, tetapi sebuah pribadi unggul
dengan kreatifitasnya. Bukan hanya melahirkan perkumpulan berpola patronase,
tetapi memunculkan peluang menciptakan sang kreator. Memenuhi itu, diperlukan
adanya tradisi kritik.
Kritisisme
Tingginya minat baca bukan diukur
berapa banyak hadirnya buku dalam keseharian manusia Indonesia. Tetapi diukur
dari seberapa jauh khalayak pembaca melestarikan budaya kritik. Kritisisme awal
adalah adanya keberanian membedah karyakarya yang keberadaannya sudah sejajar
dengan Kitab Suci, diskusi verbal tentang sebuah kitab dengan demikian adalah pemahaman
kritis dengan pisau analisa ilmu pengetahuan yang didapat dari buku lain,
menjadi pengantar para hadirin untuk memberanikan sendiri membaca kitab yang
diyakininya dengan berbekal kritisisme.
Di sini pertanyaannya kemudian,
apakah terbitnya bukubuku yang bagai gelombang pasang itu lahir dari tradisi
kritik? Tradisi kritik menghasilkan karyakarya berisikan khazanah ilmu
pengetahuan, nyatanya menjadi seorang pengarang (baca: penulis) seperti diyakini novelis legendaris Stephen King, adalah
seseorang yang membaca sebuah tulisan minimum 4 jam, sebelum dia menulis.
Hadirnya karyakarya sastra dengan
lahirnya krisis apresiasi publik terhadap karya kritik, dikhawatirkan bukan
muncul dari akar sesungguhnya yaitu kritisisme. Maka terjadilah keseragaman
bentuk karya yang diproduksi oleh kuasa redaktur. Sementara membanjirnya karya sastra
dalam media sosial online, dikhawatirkan tampil tanpa bekal pembacaan teks lain
yang memadai, padahal proses kreatif merupakan pertemuan antara refleksi diri
berbagai pengalaman hidup dengan khazanah ilmu pengetahuan.
Namun bagaimanapun membanjirnya karya
dalam animo publik baik publisitasnya melalui media massa cetak maupun sosial
online merupakan awal keberhasilan membangkitkan tradisi tekstual. Hanya saja
perlu budaya kritik sebagai bentuk apresiasi karya sekaligus penyeimbang
membanjirnya karyakarya yang ada.
Dorongan tersebut merupakan
kegelisahan penulis sebagai redaktur amatir sebuah buletin sastra, karena lebih
banyak menerima karya dengan genre puisi, tanpa diimbangi melimpahnya naskah
esai kritik. Padahal menulis puisi menurut keyakinan saya, tak lebih mudah
daripada menulis esai. Ekspresi puitik merupakan aktifitas tertinggi dibanding
penulisan lainnya, karena menghadapi
penciptaan estetika dalam teks yang lebih padat. Dia harus membebaskan diri
dari pengetahuan yang dibacanya, dengan membangun kekuatan refleksi penciptaan
sebagai kuasa atas teks baik karya maupun bekal ilmunya. Dalam bahasa
ekstrimnya menulis puisi memerlukan pengalaman merasakan “kacaunya keberadaan
tubuh”.
***
Cikarang, 31 Juli 2012
Pustaka:
*Indonesia antara Kelisanan dan
Keberaksaraan, A Teeuw, Penerbit Pustaka Jaya 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar