Minggu, 06 Januari 2013

Esai


Menciptakan Tradisi Keberaksaraan dalam Akar Budaya Kritik
Oleh M Taufan Musonip

Keberaksaraan merupakan ciri berwujudnya eksistensi manusia. A Teeuw membedakan kesadaran keberaksaraan dengan tradisi lisan dalam bukunya Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan yang pada awalnya menelisik sebuah pidato Presiden 1988, diperdengarkan dalam berbagai media massa elektronik. Meski sebenarnya pada saat itu Sang Presiden membacakan naskah tertulis, pembacaan secara verbal memungkinkan orang memiliki pandangan yang sama terhadap isi pidato tersebut. Hal ini bagi A Teeuw karena dalam bahasa verbal ditemukan istilah formulaik yang menjadikan adanya penekanan beberapa kalimat ­­­semacam ilmu retorika­­­  memunculkan pesona dan kharisma seorang pembaca pidato.

Formulaik, sebagaimana istilah Teeuw, juga merujuk pada naskah­naskah Yunani Kuno yang dipertunjukan dalam sandiwara kisah Illiad dan Odissey, dibawakan oleh Homerus si buta. Persoalan ada atau tidak adanya naskah dua lakon itu secara tertulis menjadi bukan kajian penting, yang terpenting adalah ketika Homerus, mempertontonkan lakon tersebut dengan berbagai gaya pertunjukan. Dalam bahasa verbal istilah formulaik merupakan upaya menarik minat para pendengar atau penonton, yang karenanya si pembicara mendapatkan pesona, mengalahkan kekuatan teks yang di sampaikannya.

Di Indonesia tingkat keberaksaraan tak dapat dipantau dari aktifitas penerbitan buku atau media massa. Meski kita telah meyakini adanya minat baca yang rendah pada kehidupan kita, toh buku­buku tetap banyak diterbitkan, buletin­buletin kajian agama masih banyak tersebar di masjid­masjid, penggalian berbagai kitab dalam komunitas agama tertentu masih berlangsung. Para sastrawan meskipun sulit menembus penerbit besar tetap saja menerbitkan bukunya secara indi. Jadi dari manakah kita dapat memantau rendahnya minat baca masyarakat Indonesia?

Kitab dan perkumpulan
Banyak buku sebenarnya memengaruhi tingkah laku pembaca. Kitab Fadhillah Amal yang diyakini sebuah komunitas keagamaan sebagai petunjuk jalan As Sunnah, menjadi pegangan komunitas tersebut sebagai panduan prilaku di mana jamaahnya sering melakukan pengembaraan spiritual dari masjid ke masjid. Di dalamnya bukan hanya sekedar mengutip nilai­nilai keagamaan, tetapi sajak­sajak dari pujangga timur tengah dan India. Buletin Al Islam membangun komunitas pengajian dalam Hizbut Tahrir Indonesia, meski anggotanya belum diketahui cukup besar, buletin itu selalu eksis di tiap masjid, hendak tampil sebagai pencerah dengan mengkritik berbagai kebijakan pemerintah dengan syariat. Sementara Kitab Manakiban sering menjadi panduan ritual kaum sufi rintisan Abah Anom, Tasikmalaya, isinya adalah pengembaraan spiritual Syeikh Abdul Qadir Jaelani. Di masa lalu dapat terlihat pula bagaimana Buletin Suwara Muhammadiyah oleh KH Achmad Dahlan dapat mempengaruhi hierarki ulama-santri dalam pengertian transformasi dari tabligh menuju sekolah modern, yang membangun jarak antara pengarang (ulama) dengan para santrinya melalui suasana tekstual.

Di Indonesia buku (terutama kitab tua) sering hampir sama diposisikan dengan Kitab Suci. Dengan demikian sebenarnya buku sangat berpotensi membangun perkumpulan. Perkumpulan membentuk tingkatan pemahaman atas teks, struktur itu terjelmakan dalam aktifitas verbal, yang memegang posisi tertinggi dapat dianggap sebagai patron bagi perkumpulan. Patronase di dalamnya menjadi caraka bagi kesatuan pandangan atas isi sebuah kitab. Di sini sebenarnya, tingkat minat baca dapat segera terpantau.

Dalam budaya patronase tersebut dimungkinkan pula terbentuk pemahaman yang sama, dari model busana, bujana, gaya dan pandangan hidup disertai prilaku yang lahir dari pragmatisme sesuai dengan arahan sang patron dari hasil pembacaan atas teks.

Padahal dalam budaya teks, sebuah karya bukan hanya melahirkan prilaku yang baik, tetapi sebuah pribadi unggul dengan kreatifitasnya. Bukan hanya melahirkan perkumpulan berpola patronase, tetapi memunculkan peluang menciptakan sang kreator. Memenuhi itu, diperlukan adanya tradisi kritik. 

Kritisisme
Tingginya minat baca bukan diukur berapa banyak hadirnya buku dalam keseharian manusia Indonesia. Tetapi diukur dari seberapa jauh khalayak pembaca melestarikan budaya kritik. Kritisisme awal adalah adanya keberanian membedah karya­karya yang keberadaannya sudah sejajar dengan Kitab Suci, diskusi verbal tentang sebuah kitab dengan demikian adalah pemahaman kritis dengan pisau analisa ilmu pengetahuan yang didapat dari buku lain, menjadi pengantar para hadirin untuk memberanikan sendiri membaca kitab yang diyakininya dengan berbekal kritisisme.

Di sini pertanyaannya kemudian, apakah terbitnya buku­buku yang bagai gelombang pasang itu lahir dari tradisi kritik? Tradisi kritik menghasilkan karya­karya berisikan khazanah ilmu pengetahuan, nyatanya menjadi seorang pengarang (baca: penulis) seperti diyakini novelis legendaris Stephen King, adalah seseorang yang membaca sebuah tulisan minimum 4 jam, sebelum dia menulis.

Hadirnya karya­karya sastra dengan lahirnya krisis apresiasi publik terhadap karya kritik, dikhawatirkan bukan muncul dari akar sesungguhnya yaitu kritisisme. Maka terjadilah keseragaman bentuk karya yang diproduksi oleh kuasa redaktur. Sementara membanjirnya karya sastra dalam media sosial online, dikhawatirkan tampil tanpa bekal pembacaan teks lain yang memadai, padahal proses kreatif merupakan pertemuan antara refleksi diri ­­­berbagai pengalaman hidup­­­ dengan khazanah ilmu pengetahuan.

Namun bagaimanapun membanjirnya karya dalam animo publik baik publisitasnya melalui media massa cetak maupun sosial online merupakan awal keberhasilan membangkitkan tradisi tekstual. Hanya saja perlu budaya kritik sebagai bentuk apresiasi karya sekaligus penyeimbang membanjirnya karya­karya yang ada.

Dorongan tersebut merupakan kegelisahan penulis sebagai redaktur amatir sebuah buletin sastra, karena lebih banyak menerima karya dengan genre puisi, tanpa diimbangi melimpahnya naskah esai kritik. Padahal menulis puisi menurut keyakinan saya, tak lebih mudah daripada menulis esai. Ekspresi puitik merupakan aktifitas tertinggi dibanding penulisan lainnya,  karena menghadapi penciptaan estetika dalam teks yang lebih padat. Dia harus membebaskan diri dari pengetahuan yang dibacanya, dengan membangun kekuatan refleksi penciptaan sebagai kuasa atas teks baik karya maupun bekal ilmunya. Dalam bahasa ekstrimnya menulis puisi memerlukan pengalaman merasakan “kacaunya keberadaan tubuh”.
***
Cikarang, 31 Juli 2012
Pustaka:
*Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan, A Teeuw, Penerbit Pustaka Jaya 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar