"Mick Jagger" Karya Andy Warhol |
Super Reader dan Konvensi Sastra
Oleh M Taufan Musonip
Adakah
ukuran yang membuat karya sastra berkualitas? Dan bagaimana karya sastra yang
berkualitas itu? Sebenarnya kualitas sastra dipengaruhi oleh pembacaannya.
Nilai yang dibentuk pembacaan membentuk semacam konvensi. Konvensi itu sifatnya
harus beragam, oleh karenanya saling bertanding dan menyempurnakan. Pada
konvensi apakah karya sastra Indonesia digantungkan kualitasnya? Mungkin bisa
dibilang salah satu konvensi yang ajeg sampai saat ini adalah sastra koran,
skema pemuatan karya ditentukan oleh seleksi yang dilakukan oleh redaksi yang
diistilahkan Riffatere sebagai super
reader, di dalamnya proses pembacaan dilatar belakangi oleh pemahaman
keilmuan untuk menentukan sebuah karya layak dibaca.
Persoalannya,
apakah konvensi yang dipegang oleh super
reader itu bersifat sejenis atau memiliki perangkat lain, memungkinkan
dapat mempertimbangkan konvensi lainnya. Dalam sejarahnya konvensikonvensi
kesusastraan mengalami perkembangan melalui pertentangan yang saling
menyempurnakan. Sebuah karya muncul sebagai bentuk semiotika, yang berhadapan
dengan semesta sebagai sumber gagasan seorang penulis, penulisnya sendiri, dan
pembaca (Abrams, dalam Teeuw 1984). Tiga sudut pandang itu melahirkan
mahzabmahzab pembacaan, yang pertama adalah objektifisme, pembacaan berpusat
pada karya, di sini kemudian berkembang kritik berhaluan formalis
strukturalisme yang lahir di Rusia, salah satu perintisnya adalah Jakobson
hingga New Critisism di AS.
Kedua,
pembacaan yang berpusat pada pembaca sering disebut sebagai mahzab pragmatisme,
perkembangan di dalamnya memautkan haluanhaluan seperti efek dan resepsionisme, sejarah sastra hingga dekonstruksi.
Selanjutnya adalah mahzab pembacaan yang berpusat pada semesta, dipengaruhi
oleh istilah mimetik Aristoteles, yang menganggap sebuah karya adalah cermin
dari peristiwa dalam dunia nyata, ini banyak sekali dianut oleh kaum marxisme.
Dan yang terakhir adalah ekspresif, pembacaan yang berpusat pada penulisnya.
Keempat
mahzab itu saling bertentangan, bahkan terjadi dalam mahzab yang sama. Pertentangan
itu kenyataannya menghasilkan berbagai macam cara pembacaan, hingga ke tingkat
paling mutakhir.
Kuasa
Konvensi
sastra sering menjelma menjadi kuasa ketika dirinya belum dapat menerima
fahamfaham yang muncul dan berkembang, kekuasaan Stalin di Rusia misalnya
telah melakukan pelarangan aktifitas kritik aliran strukturalisme formalis
karena tidak sesuai dengan marxisme yang cenderung pada mahzab mimetik. Juga
misalnya yang terjadi pada karya roman Madame
Bovary oleh Gustave Flaubert karena telah menciptakan tokoh Emma si
pezinah, dianggap sebagai karya yang melawan norma masyarakat Perancis ketika
itu, padahal Flaubert meyakini, bahwa perzinahan Emma, bukan muncul dari
dirinya, melainkan perasaan mendalam pengarang atas tokohnya sendiri yang kemudian
disuarakannya dalam roman tersebut. Di Indonesia pada beberapa karya Rendra
termasuk sebuah karya yang diterbitkan oleh HB Jassin, Langit Makin Mendung,
telah membuat ke dua sastrawan tersebut mengalami masa pahit dibui oleh
pemerintah yang hanya merestui konvensinya sendiri mengenai apa dan bagaimana
kah sastra yang layak itu.
Kuasa
konvensi sastra selain menciptakan masyarakat pembaca yang tak memiliki rujukan
atau tertutup pada konvensi lain juga akan menghasilkan karya sastra yang
seragam. Padahal perkembangan
kesusastraan dibutuhkan adanya super
reader yang memberi pencerahan kepada khalayak pembaca mengenai berbagai
sudut pandang cara pembacaan, artinya tugas super
reader itu adalah mengupayakan naiknya tahta pembaca, dari sematamata
konsumen atas karya sastra menjadi pembaca yang tercerahkan dengan mengenalkan
berbagai khazanah keilmuan, baik melalui selektifitas karya maupun karya kritik
dalam cakupan sudut pandang keilmuan secara menyeluruh. Hal itu akan berdampak
pula pada kualitas kekaryaan, semakin tinggi aktifitas super reader menciptakan pembaca melek ilmu, maka semakin tercipta
variasivariasi bentuk kekaryaan, variable itu akan mencerminkan sebuah
masyarakat pembaca dan penulis yang maju sebagaimana sejarah kritik itu
berlangsung, karya sastra dan pertentangan berbagai macam konvensi selalu
melahirkan mahzab baru.
Tentu saja
hal itu akan terjadi jika karyakarya yang bersifat rekaan (puisi, cerpen, dan
novel) kelahirannya selalu diimbangi dengan karya kritik yang di Indonesia
sendiri sedang mengalami paceklik. Paceklik bukan saja karena kurangnya
kehadiran karya tersebut, terlebih kenyataannya pada berbagai kesempatan, baik
ulasan mengenai sebuah buku puisi, ataupun kemunculannya di media massa cetak,
tradisi kritik belumlah mati total. Persoalannya karya kritik dalam berbagai
kesempatan sering menjadi reklame atas sebuah karya tanpa tinjauan kritis
apalagi mewacanakan berbagai sudut pandang keilmuan di dalamnya, bahkan pada
beberapa kesempatan hanya menampilkan konvensi yang searah, lebih sering pula
didapati kritikkritik tersebut berhaluan pada mahzab ekspresionis yang
membicarakan penulisnya tanpa tinjauan lain, hal itu dikarenakan adanya
kecenderungan karya kritik dilangsungkan sesuai dengan pesanan si penulis agar
karyannya dikenal.
Konvensi
sastra koran yang menjadi dermaga bagi kapalkapal kecil kritik atas karya
sastra masih dianggap satu pegangan yang menjadi gantungan penilaian kualitas
karya. Terbatasnya ruang dalam rubrik koran sering dijadikan alasan sebuah
karya kritik tak memiliki keleluasaan membicarakan karya secara lebih
komprehensif. Padahal tradisi kritik sendiri merupakan barometer kekaryaan,
semakin luas kesempatan yang diberikan untuknya, maka penciptaan kelas super
reader semakin tinggi, semakin tinggi terciptanya masyarakat pembaca dengan
latar keilmuan melalui pembacaan karya kritik, kualitas karya pun semakin
meningkat, tentunya dengan diiringi semakin meluasnya variable harapan pembaca
(konvensi), dengan itu maka akan terciptalah sebuah masyarakat yang menghendaki
lahirnya konvensi baru, meninggalkan keprihatinan tradisi kritik paska dua
aliran terkemuka di Indonesia: Ganzheit dan Rawamangun.
Menciptakan Pembaca
Hal itu
tidak akan terjadi jika aktifitas kekaryaan kita sudah menemu kepuasan melalui
kuasa konvensi yang ada. Kemajuan proses kekaryaan berlangsung di dalam tradisi
kritik yang hegar, tentu kemudian akan disusul dengan kenyataan bahwa lahirnya
sebuah karya bukan lagi memenuhi kuasa konvensi, tetapi menciptakan pembaca
melalui berbagai bentuk khazanah estetika. Kritik bertugas sebagai pembawa kayu
estafet kekaryaan dengan sifatnya yang non rekaan, kepada khalayak pembaca
bagaimana membaca sebuah karya.
Jika memang
koran tak memberi kesempatan lebih leluasa tampilnya karya kritik, maka
harapannya adalah adanya karya kritik dalam bentuk buku dengan niatan awal
menulis buku, berarti mempersiapkan kerangka yang lebih terstruktur, kini
adakah karya kritik dalam bentuknya yang terstruktur mengenai sebuah karya berbentuk
buku sehabis Arif Budiman (1976) mengulas karyakarya Chairil Anwar berjudul Sebuah Pertemuan? itupun masih dalam
satu dimensi sudut pandang: ekspresionis.
Atau memang
karya kritik dalam bentuk buku dengan pembahasan yang komprehensif lebih pantas
dilakukan oleh para akademisi sastra? Kenyataannya kita sedang menunggu itu,
jika tidak, mungkinkah penulis autodidak mampu merebutnya, ditengahtengah
berlangsungnya paceklik karya kritik?(*)
Cikarang, 29 Oktober 2012
Buletin Jejak Ed. Desember 2012
Dimuat di Lampung Post 13 Januari 2013
Dimuat di Lampung Post 13 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar