Minggu, 06 Januari 2013

Esai

"Mick Jagger" Karya Andy Warhol

Super Reader dan Konvensi Sastra
Oleh M Taufan Musonip

Adakah ukuran yang membuat karya sastra berkualitas? Dan bagaimana karya sastra yang berkualitas itu? Sebenarnya kualitas sastra dipengaruhi oleh pembacaannya. Nilai yang dibentuk pembacaan membentuk semacam konvensi. Konvensi itu sifatnya harus beragam, oleh karenanya saling bertanding dan menyempurnakan. Pada konvensi apakah karya sastra Indonesia digantungkan kualitasnya? Mungkin bisa dibilang salah satu konvensi yang ajeg sampai saat ini adalah sastra koran, skema pemuatan karya ditentukan oleh seleksi yang dilakukan oleh redaksi yang diistilahkan Riffatere sebagai super reader, di dalamnya proses pembacaan dilatar belakangi oleh pemahaman keilmuan untuk menentukan sebuah karya layak dibaca.

Persoalannya, apakah konvensi yang dipegang oleh super reader itu bersifat sejenis atau memiliki perangkat lain, memungkinkan dapat mempertimbangkan konvensi lainnya. Dalam sejarahnya konvensi­konvensi kesusastraan mengalami perkembangan melalui pertentangan yang saling menyempurnakan. Sebuah karya muncul sebagai bentuk semiotika, yang berhadapan dengan semesta sebagai sumber gagasan seorang penulis, penulisnya sendiri, dan pembaca (Abrams, dalam Teeuw 1984). Tiga sudut pandang itu melahirkan mahzab­mahzab pembacaan, yang pertama adalah objektifisme, pembacaan berpusat pada karya, di sini kemudian berkembang kritik berhaluan formalis strukturalisme yang lahir di Rusia, salah satu perintisnya adalah Jakobson hingga New Critisism di AS.

Kedua, pembacaan yang berpusat pada pembaca sering disebut sebagai mahzab pragmatisme, perkembangan di dalamnya memautkan haluan­haluan seperti efek dan resepsionisme, sejarah sastra hingga dekonstruksi. Selanjutnya adalah mahzab pembacaan yang berpusat pada semesta, dipengaruhi oleh istilah mimetik Aristoteles, yang menganggap sebuah karya adalah cermin dari peristiwa dalam dunia nyata, ini banyak sekali dianut oleh kaum marxisme. Dan yang terakhir adalah ekspresif, pembacaan yang berpusat pada penulisnya.

Keempat mahzab itu saling bertentangan, bahkan terjadi dalam mahzab yang sama. Pertentangan itu kenyataannya menghasilkan berbagai macam cara pembacaan, hingga ke tingkat paling mutakhir.


Kuasa
Konvensi sastra sering menjelma menjadi kuasa ketika dirinya belum dapat menerima faham­faham yang muncul dan berkembang, kekuasaan Stalin di Rusia misalnya telah melakukan pelarangan aktifitas kritik aliran strukturalisme formalis karena tidak sesuai dengan marxisme yang cenderung pada mahzab mimetik. Juga misalnya yang terjadi pada karya roman Madame Bovary oleh Gustave Flaubert karena telah menciptakan tokoh Emma si pezinah, dianggap sebagai karya yang melawan norma masyarakat Perancis ketika itu, padahal Flaubert meyakini, bahwa perzinahan Emma, bukan muncul dari dirinya, melainkan perasaan mendalam pengarang atas tokohnya sendiri yang kemudian disuarakannya dalam roman tersebut. Di Indonesia pada beberapa karya Rendra termasuk sebuah karya yang diterbitkan oleh HB Jassin, Langit Makin Mendung, telah membuat ke dua sastrawan tersebut mengalami masa pahit dibui oleh pemerintah yang hanya merestui konvensinya sendiri mengenai apa dan bagaimana kah sastra yang layak itu.

Kuasa konvensi sastra selain menciptakan masyarakat pembaca yang tak memiliki rujukan atau tertutup pada konvensi lain juga akan menghasilkan karya sastra yang seragam. Padahal  perkembangan kesusastraan dibutuhkan adanya super reader yang memberi pencerahan kepada khalayak pembaca mengenai berbagai sudut pandang cara pembacaan, artinya tugas super reader itu adalah mengupayakan naiknya tahta pembaca, dari semata­mata konsumen atas karya sastra menjadi pembaca yang tercerahkan dengan mengenalkan berbagai khazanah keilmuan, baik melalui selektifitas karya maupun karya kritik dalam cakupan sudut pandang keilmuan secara menyeluruh. Hal itu akan berdampak pula pada kualitas kekaryaan, semakin tinggi aktifitas super reader menciptakan pembaca melek ilmu, maka semakin tercipta variasi­variasi bentuk kekaryaan, variable itu akan mencerminkan sebuah masyarakat pembaca dan penulis yang maju sebagaimana sejarah kritik itu berlangsung, karya sastra dan pertentangan berbagai macam konvensi selalu melahirkan mahzab baru.

Tentu saja hal itu akan terjadi jika karya­karya yang bersifat rekaan (puisi, cerpen, dan novel) kelahirannya selalu diimbangi dengan karya kritik yang di Indonesia sendiri sedang mengalami paceklik. Paceklik bukan saja karena kurangnya kehadiran karya tersebut, terlebih kenyataannya pada berbagai kesempatan, baik ulasan mengenai sebuah buku puisi, ataupun kemunculannya di media massa cetak, tradisi kritik belumlah mati total. Persoalannya karya kritik dalam berbagai kesempatan sering menjadi reklame atas sebuah karya tanpa tinjauan kritis apalagi mewacanakan berbagai sudut pandang keilmuan di dalamnya, bahkan pada beberapa kesempatan hanya menampilkan konvensi yang searah, lebih sering pula didapati kritik­kritik tersebut berhaluan pada mahzab ekspresionis yang membicarakan penulisnya tanpa tinjauan lain, hal itu dikarenakan adanya kecenderungan karya kritik dilangsungkan sesuai dengan pesanan si penulis agar karyannya dikenal.

Konvensi sastra koran yang menjadi dermaga bagi kapal­kapal kecil kritik atas karya sastra masih dianggap satu pegangan yang menjadi gantungan penilaian kualitas karya. Terbatasnya ruang dalam rubrik koran sering dijadikan alasan sebuah karya kritik tak memiliki keleluasaan membicarakan karya secara lebih komprehensif. Padahal tradisi kritik sendiri merupakan barometer kekaryaan, semakin luas kesempatan yang diberikan untuknya, maka penciptaan kelas  super reader semakin tinggi, semakin tinggi terciptanya masyarakat pembaca dengan latar keilmuan melalui pembacaan karya kritik, kualitas karya pun semakin meningkat, tentunya dengan diiringi semakin meluasnya variable harapan pembaca (konvensi), dengan itu maka akan terciptalah sebuah masyarakat yang menghendaki lahirnya konvensi baru, meninggalkan keprihatinan tradisi kritik paska dua aliran terkemuka di Indonesia: Ganzheit dan Rawamangun.

Menciptakan Pembaca
Hal itu tidak akan terjadi jika aktifitas kekaryaan kita sudah menemu kepuasan melalui kuasa konvensi yang ada. Kemajuan proses kekaryaan berlangsung di dalam tradisi kritik yang hegar, tentu kemudian akan disusul dengan kenyataan bahwa lahirnya sebuah karya bukan lagi memenuhi kuasa konvensi, tetapi menciptakan pembaca melalui berbagai bentuk khazanah estetika. Kritik bertugas sebagai pembawa kayu estafet kekaryaan dengan sifatnya yang non rekaan, kepada khalayak pembaca bagaimana membaca sebuah karya.

Jika memang koran tak memberi kesempatan lebih leluasa tampilnya karya kritik, maka harapannya adalah adanya karya kritik dalam bentuk buku dengan niatan awal menulis buku, berarti mempersiapkan kerangka yang lebih terstruktur, kini adakah karya kritik dalam bentuknya yang terstruktur mengenai sebuah karya berbentuk buku sehabis Arif Budiman (1976) mengulas karya­karya Chairil Anwar berjudul Sebuah Pertemuan? ­­­itupun masih dalam satu dimensi sudut pandang: ekspresionis.

Atau memang karya kritik dalam bentuk buku dengan pembahasan yang komprehensif lebih pantas dilakukan oleh para akademisi sastra? Kenyataannya kita sedang menunggu itu, jika tidak, mungkinkah penulis autodidak mampu merebutnya, ditengah­tengah berlangsungnya paceklik karya kritik?(*)

Cikarang, 29 Oktober 2012
Buletin Jejak Ed. Desember 2012
Dimuat di Lampung Post 13 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar