Selasa, 08 Januari 2013

Cerpen

www.motoyuk.com

Dua Surat Kyai Arkeman
Oleh: M Taufan Musonip



Di sebuah lembah  seseorang telah membangun kembali gubuknya. Diagungkannya kesunyian, diserahkan bahasanya pada semesta. Dua ekor harimau sumatera menghampirinya, mengelilingi gubuk yang baru selesai dibangun, seperti dua orang peziarah yang tengah memutari  nisan ka'bah.
Dia lelaki yang telah dikalahkan.
***

Sehabis ternak-­ternak penduduk banyak yang mati karena kawanan harimau menggelandang di desa mereka. Sesudah babi­-babi hutan menghantui pesawahan dan perkebunan penduduk. Dan Lembah Dingin mengigil karena dibakar ambisi, dua orang utusan datang secara bersamaan di hadapan Kyai Arkeman.

Kyai Arkeman, sedang tergolek sakit pada sebuah dipan di ruangan terbuka menghadap punggung sebuah gunung. Salah seorang dari mereka adalah utusan Lurah Matkadi. Sementara seorang lainnya adalah bawahan Hasnan seorang pengusaha sawit.

“Saya hendak mengabarkan bahwa Pak Matkadi, tengah mengidap penyakit aneh. Tubuh beliau sering menggigil, seperti sedang tersurup jin, dia sering mengigau dalam keadaan pinsan. Saya datang ke sini, karena beliau sering menyebut Kyai.”

Arkeman yang tengah menderita sakit, hanya mengalihkan tatapnya pada seorang yang lain. 

“Pak Hasnan juga demikian, Pak Kyai. Sering menyebut­nyebut anda dalam sakitnya.”

Kyai Arkeman memerintahkan pembantunya, membawakan tasbih kayu cendana. Berzikirlah dia dibalik butir­butir cendana itu. Dalam zikirnya sekali­kali disebut nama Partodi  penghuni Lembah Dingin.

“Kalian, memintalah maaf pada Allah, azab telah datang melalui si bisu, Partodi.”

Kedua utusan itu pergi dengan langkah sepi tanpa dapat mengerti apa yang telah disampaikan Kyai Arkeman. Kecuali merekamnya dalam kepala mereka, untuk segera disampaikan pada para pengutus.


***

Partodi pernah mendatangi Kyai Arkeman, dengan bukit dan laut di punggungnya. Senja menyuruk di mata Kyai Arkeman. Dia sebenarnya tak ingin menerima tamu hari itu. Malam tadi sampai larut dia telah didatangi tamu dari berbagai kalangan. Kyai masyur yang banyak dikelilingi orang­orang besar itu, kini disambangi orang yang parasnya begitu sederhana, dia membawa jejak perjalanan yang begitu gelisah.

Pengawal Kyai Arkeman, mencegah Partodi menghadap. Ombak dan desir angin pohonan kruing  di tubuhnya membuat Arkeman ingin menahan malam dan menambah pekat warna jingga di matanya. Partodi memang bukan orang penting, tapi dia merasa lelaki itu tahu cara menatap matanya.

Arkeman, melerai dua pengawalnya untuk mempersilahkan Partodi menyampaikan maksudnya. Laki­laki itu hanya berbicara lewat matanya. Dia telah membisu sejak memutuskan menyendiri seumur hidupnya. Atau karena kesendiriannya yang telah banyak membunuh segala gaduh di matanya, ia membisu. Di mata Kyai Arkeman, kebisuan Partodi adalah sebuah jalan. Kebisuan yang memahat sebuah saujana seberkas cahaya.

Kyai Arkeman memaknai saujana itu seperti memasuki sebuah lorong, menelusuri sebuah jalan kenyataan yang ditanggung lelaki itu di belakang, sebuah jejak yang tak terhapus oleh jarak perjalanan Partodi menuju tempatnya kini. Ada Matkadi dalam relungnya, seorang kepala desa yang memaksanya menyerahkan tanah yang berdiri gubuk tempat ia memuncakkan kesunyiannya menuju bisu abadi. Ada babi­babi hutan berkelicak gelisah, ular­ular yang mendesis miris, gerimis masam membasahi derai pohonan sedang berdzikir meminta lindung kuasa langit. Semua melindap di sukma lelaki itu dalam gambaran sorot matanya.

“Anda telah merestui Matkadi sebagai seorang Lurah, perintahkanlah kepadanya agar tidak memaksa saya meninggalkan gubuk dan tanah lembah,” mata Partodi berbicara, saat itu cahaya senja di mata Arkeman seolah diserapnya.

“Kau lelaki yang sedang berpuasa, ilmumu tinggi. Matkadi tak mungkin mengganggumu,” sorot Kyai Arkeman membalas.

Partodi, tak habis pikir. Ilmu apa yang dimaksud Arkeman itu, dia memang tengah berpuasa, justru hendak membebaskan dirinya dari berbagai keinginan, termasuk keinginan menguasai ilmu tertentu. Dan ambisi Matkadi telah menghambat kehendaknya. Tahun­tahun kesendiriannya harus berakhir jika ia dengan mudah menyerahkan tanahnya pada Matkadi.

“Bahasaku telah diserap semesta, Arkeman. Untuk itulah aku berpuasa, sementara kau berpuasa untuk menyempurnakan bahasamu.” Alangkah tinggi bahasa Partodi di mata Kyai Arkeman, membuatnya gemetar. Senja seolah tertahan dalam serangan dingin malam.

Dahulu Arkeman memang seorang pengembara yang memeroleh nubuat dari sebuah jalan panjang puasa. Takdir telah membawanya pada kebajikan, mendapat tempat pengganti gurunya yang telah mangkat. Arkeman berkuasa atas sebuah khanqah, yang sebagian mustaminya adalah para pembesar di tiap penjuru negeri. Bukankah Khanqah adalah rumah bahasa, bagi siapapun yang menguasainya, di mana kemudian selalu terbit bajik dalam setiap kharismanya.

“Apa yang kau inginkan?”

“Matkadi membawa surat, yang membuatku datang padamu. Aku tak menginginkan lembah itu menjadi perkebunan sawit”

“Baiklah aku akan membekalimu surat yang akan kutandatangani dengan darahku sendiri, wahai lelaki yang tak pernah tahu baca tulis. Sampaikan kepada Matkadi, siapapun tak akan mampu memiliki matahari.”
***

Matkadi membuka surat yang diserahkan Partodi lelaki penghuni Lembah Dingin itu. Dia menyaksikan sendiri tanda tangan darah yang disematkan Kyai Arkeman di surat itu. Matkadi juga membuka surat atas nama Hasnan, yang menginginkan segera dijalankannya eksekusi tanah lembah untuk dijadikannya perkebunan sawit baru. Anehnya di sudut surat itu pula tertera tanda tangan Kyai Arkeman.

Hasnanlah yang membawanya pada Khanqah Kyai Arkeman. Di sana dia pernah menjalani puasa tiga hari lamanya, melakukan riyadloh, meminta kepada Yang Maha Kuasa, agar ia mendapatkan rido dalam pemilihan lurah. Hasnan kenal Kyai Arkeman karena, pada masa sulit sebelum ia berbisnis sawit, pernah pula tirakat di Khanqah itu. Khanqah Kyai Arkeman didatangi orang dari berbagai kalangan, baik kalangan bawah maupun atas. Meskipun hidupnya Khanqah itu karena donasi dari kalangan atas yang pernah ikut tirakat yang kemudian berdampak pada semakin masyurnya Kyai Arkeman. Hasnan pula yang memberi donasi masa kampanye Matkadi pada pemilihan Lurah.

Waktu seolah membeku dalam relung kamar kerjanya. Telepon berdering berkali-­kali di mejanya, membantu menjungkalkan dopaminnya.

Lelaki, pikirnya, yang bertahun­tahun bersahabat dengan sejuta harimau sumatera, yang tahu kapan mereka terluka, dan mengobatinya dengan gerus cabai merah, mana mungkin bisa menjangkau Khanqah Kyai Arkeman, bahkan oleh pikirannya sendiri. Dari mana dia tahu hubungannya dengan Arkeman, dan bagaimana bisa dia sampai di hadapan Kyai Arkeman, dengan jarak yang tak dapat dilalui dengan telanjang kaki, menuju Khanqah Kyai Arkeman dia harus melalui dua bukit gunung dan sebuah selat kecil. Partodi, sebagaimana pernah diketahuinya, adalah lelaki yang tak pernah memanfaatkan kendaraan bermesin untuk melakukan perjalanan. Sekali pun dia pernah melakukannya, seperti banyak desas­desus orang selama ini, malah mati pinsan. Ketika menumpang sebuah kendaraan, dia merasa langit dan bumi mengikutinya secara cepat. Partodi hidup dalam dunia perlambatan bukan percepatan.

Tetapi tanda tangan darah itu benar­benar mirip benar dengan coretan tangan Kyai Arkeman, dan Matkadi tahu benar, partodi tidak memiliki pengetahuan baca tulis. Namun mana mungkin Matkadi menyangkal surat dari Hasnan tentang eksekusi tanah, yang memiliki kedekatan langsung dengan Kyai Arkeman.
Telepon kembali berdering. Kali ini Matkadi dapat mengatasi gelisah dengan mengangkat gagang telepon itu. Dari seberang terdengar samar­samar suara seseorang, yang membuat ia menghembuskan nafas berat.

“Mat, kau sudah membaca surat itu?”

“Aku masih berat melaksanakannya”

“Kyai Arkeman sudah merestuinya”

“Aku berat, pada lelaki penguasa lembah itu”

Percakapan langsung terputus. Lelaki di seberang memutusnya tanpa salam. Dia merasa tak dihargai. Matkadi merasa dia bukan lagi lelaki pemilik kuasa. Dia hanya bagian dari kekuasaan besar.
Tiba­tiba ia merasa berat harus mengikuti isi surat dari Partodi  dan memilih percaya pada surat yang dikirimkan Hasnan. Telepon tadi seperti ancaman yang lebih besar ketimbang darah amanat Kyai Arkeman.
***
22 Juli 2012
Dimuat di Inilah Koran Jabar 24 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar