www.motoyuk.com |
Dua Surat Kyai Arkeman
Oleh: M Taufan Musonip
Di sebuah lembah seseorang telah
membangun kembali gubuknya. Diagungkannya kesunyian, diserahkan bahasanya pada
semesta. Dua ekor harimau sumatera menghampirinya, mengelilingi gubuk yang baru
selesai dibangun, seperti dua orang peziarah yang tengah memutari nisan ka'bah.
Dia lelaki yang telah dikalahkan.
***
Sehabis ternak-ternak penduduk banyak
yang mati karena kawanan harimau menggelandang di desa mereka. Sesudah
babi-babi hutan menghantui pesawahan dan perkebunan penduduk. Dan Lembah Dingin
mengigil karena dibakar ambisi, dua orang utusan datang secara bersamaan di
hadapan Kyai Arkeman.
Kyai Arkeman, sedang tergolek sakit
pada sebuah dipan di ruangan terbuka menghadap punggung sebuah gunung. Salah seorang
dari mereka adalah utusan Lurah Matkadi. Sementara seorang lainnya adalah
bawahan Hasnan seorang pengusaha sawit.
“Saya hendak mengabarkan bahwa Pak
Matkadi, tengah mengidap penyakit aneh. Tubuh beliau sering menggigil, seperti
sedang tersurup jin, dia sering mengigau dalam keadaan pinsan. Saya datang ke
sini, karena beliau sering menyebut Kyai.”
Arkeman yang tengah menderita sakit,
hanya mengalihkan tatapnya pada seorang yang lain.
“Pak Hasnan juga demikian, Pak Kyai.
Sering menyebutnyebut anda dalam sakitnya.”
Kyai Arkeman memerintahkan
pembantunya, membawakan tasbih kayu cendana. Berzikirlah dia dibalik
butirbutir cendana itu. Dalam zikirnya sekalikali disebut nama Partodi penghuni Lembah Dingin.
“Kalian, memintalah maaf pada Allah,
azab telah datang melalui si bisu, Partodi.”
Kedua utusan itu pergi dengan langkah
sepi tanpa dapat mengerti apa yang telah disampaikan Kyai Arkeman. Kecuali
merekamnya dalam kepala mereka, untuk segera disampaikan pada para pengutus.
***
Partodi pernah mendatangi Kyai
Arkeman, dengan bukit dan laut di punggungnya. Senja menyuruk di mata Kyai
Arkeman. Dia sebenarnya tak ingin menerima tamu hari itu. Malam tadi sampai
larut dia telah didatangi tamu dari berbagai kalangan. Kyai masyur yang banyak
dikelilingi orangorang besar itu, kini disambangi orang yang parasnya begitu
sederhana, dia membawa jejak perjalanan yang begitu gelisah.
Pengawal Kyai Arkeman, mencegah
Partodi menghadap. Ombak dan desir angin pohonan kruing di tubuhnya membuat Arkeman ingin menahan
malam dan menambah pekat warna jingga di matanya. Partodi memang bukan orang
penting, tapi dia merasa lelaki itu tahu cara menatap matanya.
Arkeman, melerai dua pengawalnya
untuk mempersilahkan Partodi menyampaikan maksudnya. Lakilaki itu hanya
berbicara lewat matanya. Dia telah membisu sejak memutuskan menyendiri seumur
hidupnya. Atau karena kesendiriannya yang telah banyak membunuh segala gaduh di
matanya, ia membisu. Di mata Kyai Arkeman, kebisuan Partodi adalah sebuah
jalan. Kebisuan yang memahat sebuah saujana seberkas cahaya.
Kyai Arkeman memaknai saujana itu
seperti memasuki sebuah lorong, menelusuri sebuah jalan kenyataan yang
ditanggung lelaki itu di belakang, sebuah jejak yang tak terhapus oleh jarak
perjalanan Partodi menuju tempatnya kini. Ada Matkadi dalam relungnya, seorang
kepala desa yang memaksanya menyerahkan tanah yang berdiri gubuk tempat ia
memuncakkan kesunyiannya menuju bisu abadi. Ada babibabi hutan berkelicak
gelisah, ularular yang mendesis miris, gerimis masam membasahi derai pohonan
sedang berdzikir meminta lindung kuasa langit. Semua melindap di sukma lelaki
itu dalam gambaran sorot matanya.
“Anda telah merestui Matkadi sebagai
seorang Lurah, perintahkanlah kepadanya agar tidak memaksa saya meninggalkan
gubuk dan tanah lembah,” mata Partodi berbicara, saat itu cahaya senja di mata
Arkeman seolah diserapnya.
“Kau lelaki yang sedang berpuasa,
ilmumu tinggi. Matkadi tak mungkin mengganggumu,” sorot Kyai Arkeman membalas.
Partodi, tak habis pikir. Ilmu apa
yang dimaksud Arkeman itu, dia memang tengah berpuasa, justru hendak
membebaskan dirinya dari berbagai keinginan, termasuk keinginan menguasai ilmu
tertentu. Dan ambisi Matkadi telah menghambat kehendaknya. Tahuntahun
kesendiriannya harus berakhir jika ia dengan mudah menyerahkan tanahnya pada
Matkadi.
“Bahasaku telah diserap semesta,
Arkeman. Untuk itulah aku berpuasa, sementara kau berpuasa untuk menyempurnakan
bahasamu.” Alangkah tinggi bahasa Partodi di mata Kyai Arkeman, membuatnya
gemetar. Senja seolah tertahan dalam serangan dingin malam.
Dahulu Arkeman memang seorang
pengembara yang memeroleh nubuat dari sebuah jalan panjang puasa. Takdir telah
membawanya pada kebajikan, mendapat tempat pengganti gurunya yang telah
mangkat. Arkeman berkuasa atas sebuah khanqah,
yang sebagian mustaminya adalah para pembesar di tiap penjuru negeri. Bukankah
Khanqah adalah rumah bahasa, bagi siapapun yang menguasainya, di mana kemudian
selalu terbit bajik dalam setiap kharismanya.
“Apa yang kau inginkan?”
“Matkadi membawa surat, yang
membuatku datang padamu. Aku tak menginginkan lembah itu menjadi perkebunan
sawit”
“Baiklah aku akan membekalimu surat
yang akan kutandatangani dengan darahku sendiri, wahai lelaki yang tak pernah
tahu baca tulis. Sampaikan kepada Matkadi, siapapun tak akan mampu memiliki
matahari.”
***
Matkadi membuka surat yang diserahkan
Partodi lelaki penghuni Lembah Dingin itu. Dia menyaksikan sendiri tanda tangan
darah yang disematkan Kyai Arkeman di surat itu. Matkadi juga membuka surat
atas nama Hasnan, yang menginginkan segera dijalankannya eksekusi tanah lembah
untuk dijadikannya perkebunan sawit baru. Anehnya di sudut surat itu pula
tertera tanda tangan Kyai Arkeman.
Hasnanlah yang membawanya pada
Khanqah Kyai Arkeman. Di sana dia pernah menjalani puasa tiga hari lamanya, melakukan
riyadloh, meminta kepada Yang Maha
Kuasa, agar ia mendapatkan rido dalam pemilihan lurah. Hasnan kenal Kyai
Arkeman karena, pada masa sulit sebelum ia berbisnis sawit, pernah pula tirakat
di Khanqah itu. Khanqah Kyai Arkeman didatangi orang dari berbagai kalangan,
baik kalangan bawah maupun atas. Meskipun hidupnya Khanqah itu karena donasi
dari kalangan atas yang pernah ikut tirakat yang kemudian berdampak pada
semakin masyurnya Kyai Arkeman. Hasnan pula yang memberi donasi masa kampanye
Matkadi pada pemilihan Lurah.
Waktu seolah membeku dalam relung
kamar kerjanya. Telepon berdering berkali-kali di mejanya, membantu
menjungkalkan dopaminnya.
Lelaki, pikirnya, yang bertahuntahun
bersahabat dengan sejuta harimau sumatera, yang tahu kapan mereka terluka, dan
mengobatinya dengan gerus cabai merah, mana mungkin bisa menjangkau Khanqah
Kyai Arkeman, bahkan oleh pikirannya sendiri. Dari mana dia tahu hubungannya
dengan Arkeman, dan bagaimana bisa dia sampai di hadapan Kyai Arkeman, dengan
jarak yang tak dapat dilalui dengan telanjang kaki, menuju Khanqah Kyai Arkeman
dia harus melalui dua bukit gunung dan sebuah selat kecil. Partodi, sebagaimana
pernah diketahuinya, adalah lelaki yang tak pernah memanfaatkan kendaraan
bermesin untuk melakukan perjalanan. Sekali pun dia pernah melakukannya,
seperti banyak desasdesus orang selama ini, malah mati pinsan. Ketika
menumpang sebuah kendaraan, dia merasa langit dan bumi mengikutinya secara
cepat. Partodi hidup dalam dunia perlambatan bukan percepatan.
Tetapi tanda tangan darah itu
benarbenar mirip benar dengan coretan tangan Kyai Arkeman, dan Matkadi tahu
benar, partodi tidak memiliki pengetahuan baca tulis. Namun mana mungkin
Matkadi menyangkal surat dari Hasnan tentang eksekusi tanah, yang memiliki
kedekatan langsung dengan Kyai Arkeman.
Telepon kembali berdering. Kali ini
Matkadi dapat mengatasi gelisah dengan mengangkat gagang telepon itu. Dari
seberang terdengar samarsamar suara seseorang, yang membuat ia menghembuskan
nafas berat.
“Mat, kau sudah membaca surat itu?”
“Aku masih berat melaksanakannya”
“Kyai Arkeman sudah merestuinya”
“Aku berat, pada lelaki penguasa
lembah itu”
Percakapan langsung terputus. Lelaki
di seberang memutusnya tanpa salam. Dia merasa tak dihargai. Matkadi merasa dia
bukan lagi lelaki pemilik kuasa. Dia hanya bagian dari kekuasaan besar.
Tibatiba ia merasa berat harus
mengikuti isi surat dari Partodi dan
memilih percaya pada surat yang dikirimkan Hasnan. Telepon tadi seperti ancaman
yang lebih besar ketimbang darah amanat Kyai Arkeman.
***
22 Juli 2012
Dimuat di Inilah Koran Jabar 24 Februari 2013
Dimuat di Inilah Koran Jabar 24 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar