Sabtu, 19 Januari 2013

Esai

Komunitas Sastra dan Pembangunan Kekuatan Pribadi Lokal
Oleh: M Taufan Musonip

Pagi-Sore, Karya Hansen Thiam Sun
http://sahabatgallery.wordpress.com/2011/08/
Boleh diartikan kehadiran komunitas dalam eksistensi kesusastraan memberi peluang individu di dalam pembentukan diskursus hasil daripada puncak pencapaian estetika sebagai refleksi perkembangan individu manusia berkaitan dengan kondisi kultur masyarakat.
Komunitas bukan diartikan lagi sebagai budaya komunal masa lalu di mana itu selalu terkait pada isu-isu kesukuan. Pada masa ini komunitas menjadi semacam pembicaraan ekuminisme  dalam arus volkerwanderung manusia lokal kepada hal-hal baru yang dihujamkan kepada arus pemikiran pribadi yang dibentuk oleh tradisinya.
Artinya komunitas yang lahir dari pribadi-pribadi kedaerahan bukan berarti unifikasi kebaruan dan tradisi seperti halnya pentas seni kolaborasi antara gamelan dan musik hip-hop, estetika bagaimanapun adalah ekspresi pribadi yang bermigrasi dari hanya soal tradisi dan modernitas kepada keputusan estetika meski ia berpentas tentang tradisinya sendiri.
Kembali kepada pengertian aktifitas estetik, kepribadian menjadi soal utama ketimbang soal faktual yang menjadi arus hidupnya, komunitas menjadi tempat percakapan bagaimana pribadi- pribadi mengambil jarak atas peristiwa-peristiwa faktual yang hadir, di dalamnya termasuk pembicaraan soal eksistensi budaya tradisi yang tengah di hajar habis-habisan oleh modernitas. Oleh karenanya ---seperti diungkapkan di atas--- kehadiran komunitas harus merangsang individu di dalamnya bagaimana menjadi begitu soliter dari peristiwa faktual.
Di Indonesia, kedaerahan bukan hanya habis terganyang oleh modernitas dalam pengertian globalisasi, akan tetapi juga merupakan ekses kehendak negara dalam upaya mengaburkan soal tradisi secara genotip. Penyebaran masyarakat daerah yang bermigrasi ke daerah lain menjadikan tradisi kehilangan darahnya dalam mempertahankan kepribadian lokal. Ini terjadi bukan hanya pada masa orde baru ketika masa boomingnya transmigrasi membawa dampak jawanisasi di tiap daerah ---seperti istilah rusifikasi atas koloni komunisme Sovyet--- akan tetapi juga terjadi pada masa-masa agresi kerajaan mataram misalnya di tatar sunda, bahasa egaliter orang sunda tergusur oleh adanya undak-unduk basa (tingkatan bahasa) yang membentuk masyarakat kelas.


Hingga sekarang kedaerahan sebetulnya mengalami puncaknya ketika laju industrialisasi dan gagasan pendirian kota mandiri ---yang berdiri di pelosok-pelosok daerah--- menggerus lokalitas semakin hebat. Dampaknya adalah multikulturalisme, berarti hadirnya komunitas berdasarkan kedaerahan mencirikan pribadi lokal bukan lagi secara geneologis, tetapi atas dasar pilihan dirinya sebagai masyarakat yang bermukim dalam ekumene baru. Maka yang menjadi garis besar bukan lagi melulu soal pemahaman kedaerahan, tetapi usaha pengkayaan pribadinya mengenai subtansi yang akan membawa daerahnya dalam pentas besar benturan peradaban: memperkuat tradisi lokal tidak lagi berkutat mengembalikan lokalitas lama, tetapi berpusat pada pemberdayaan manusia lokal.
Dalam pentas tarian etnis terjadi penciptaan gesture-gesture baru bukan dalam artian menanggapi modernitas faktual tetapi sebuah perkembangan yang muncul dari kehendak estetika pribadinya. Lalu yang terjadi kesenian kembali pada khittahnya yaitu berdasarkan usaha kontemplatif melampaui usaha empirik dalam arus hidup.
Di sini estetika bisa berwujud sebagai aktualisasi ibadah, sebagai ejawantah hadirnya ritual yang mengutamakan kesendirian, mendekat kepada usaha perenungan dalam mengambil jarak atas peristiwa faktual yang melahirkan kreatifitas. Dari sanalah maka ciptaan akan selalu menjadi ciri kekuatan pribadi, memberi kritik atas peristiwa faktual: tradisi dan modernitas.
Adanya komunitas berdasarkan kepada kedaerahan adalah tempat sublimasi berbentuk percakapan berupa diskursus bukan lagi tentang lokalitas yang memberi pakem atas modernitas, tetapi pembicaraan pula mengenai kritik atas lokalitas dalam ketidakberdayaannya menghadapi gempuran peradaban baru. Bagaimana membentuk kesadaran lokalitas yang di dalamnya memiliki pribadi-pribadi dengan kekuatan baru dengan memberi pemaknaan baru atas identitas lokal dalam kekuatannya melawan gempuran peradaban.
Komunitas bagaimanapun adalah kumpulan manusia yang keluar dari arus mainstream, menghayati peristiwa-peristiwa dalam perspektif seorang pribadi, maka yang terjadi adalah wacana, bukan soal kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama muncul ketika suatu model pemikiran direduksi dalam kebudayaan massa yang terputus dari sumbernya. Sebuah pemikiran yang sudah menjadi masif akan selalu mendapatkan kritik dari wacana yang menerbitkan pandangan-pandangan berbeda.
Dalam kesustraan soal lokalitas tengah bergaung begitu hebatnya, ini kemajuan dalam artian kembali menghidupkan tradisi dalam teroka kekinian, yang berarti mengambil jarak pula atas tradisi yang telah berlalu. Namun ada kekhawatiran pula ternyata tema lokalitas hanya baru sebatas membuka ingatan masa lalu, digadang-gadang dapat membuka jalan pulang alih-alih hanya mengemukakan kesan klasik tradisi sebagai nilai jual tinggi yang melibatkan masyarakat modern sebagai penikmatnya. Padahal urgensi membuka kembali tema tradisi adalah persinggungannya dengan modernitas di mana kewilayahan keduanya sudah semakin kabur, sebagai dampak agresi laju industrialisasi dan perkotaan mandiri. Dan semestinya tempat pengarang yang mengambil jarak di dalamnya menjadi usaha kritik atas lemahnya lokalitas dan agresifnya peran modernitas.
Genre sajak sebenarnya berpeluang besar membuka warna kebebasan yang memberi nafas baru atas itu, terlebih karena ia memiliki struktur dari gagasan ke pembentukan kalimat yang lebih kontemplatif, dalam artian memiliki keleluasaan mengambil jarak atas sejarah dan peristiwa faktual. Keleluasaan ini sayangnya baru dimanfaatkan oleh para penyair baru sebatas refleksi pribadi ketimbang kehendak pribadi yang di bangun dari tempat terjauhnya, dalam memberi refleksi terhadap apa yang terjadi diluar kamarnya. 
Komunitas-komunitas yang ada yang lahir dari lokalitas mesti membuka wacana pembentukan kembali manusia-manusia soliter di persimpangan arah pulang dan pergi, menuju langit yang membebaskan dirinya dari banjir bandang peristiwa faktual dan sejarah.
***
Cikarang, 8 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar