Komunitas Sastra dan Pembangunan
Kekuatan Pribadi Lokal
Oleh: M Taufan Musonip
Pagi-Sore, Karya Hansen Thiam Sun http://sahabatgallery.wordpress.com/2011/08/ |
Boleh diartikan kehadiran komunitas
dalam eksistensi kesusastraan memberi peluang individu di dalam pembentukan
diskursus hasil daripada puncak pencapaian estetika sebagai refleksi
perkembangan individu manusia berkaitan dengan kondisi kultur masyarakat.
Komunitas bukan diartikan lagi
sebagai budaya komunal masa lalu di mana itu selalu terkait pada isu-isu
kesukuan. Pada masa ini komunitas menjadi semacam pembicaraan ekuminisme dalam arus volkerwanderung
manusia lokal kepada hal-hal baru yang dihujamkan kepada arus pemikiran pribadi
yang dibentuk oleh tradisinya.
Artinya komunitas yang lahir dari
pribadi-pribadi kedaerahan bukan berarti unifikasi kebaruan dan tradisi seperti
halnya pentas seni kolaborasi antara gamelan dan musik hip-hop, estetika
bagaimanapun adalah ekspresi pribadi yang bermigrasi dari hanya soal tradisi
dan modernitas kepada keputusan estetika meski ia berpentas tentang tradisinya
sendiri.
Kembali kepada pengertian aktifitas
estetik, kepribadian menjadi soal utama ketimbang soal faktual yang menjadi
arus hidupnya, komunitas menjadi tempat percakapan bagaimana pribadi- pribadi
mengambil jarak atas peristiwa-peristiwa faktual yang hadir, di dalamnya
termasuk pembicaraan soal eksistensi budaya tradisi yang tengah di hajar
habis-habisan oleh modernitas. Oleh karenanya ---seperti diungkapkan di atas---
kehadiran komunitas harus merangsang individu di dalamnya bagaimana menjadi
begitu soliter dari peristiwa faktual.
Di Indonesia, kedaerahan bukan hanya
habis terganyang oleh modernitas dalam pengertian globalisasi, akan tetapi juga
merupakan ekses kehendak negara dalam upaya mengaburkan soal tradisi secara
genotip. Penyebaran masyarakat daerah yang bermigrasi ke daerah lain menjadikan
tradisi kehilangan darahnya dalam mempertahankan kepribadian lokal. Ini terjadi
bukan hanya pada masa orde baru ketika masa boomingnya transmigrasi membawa
dampak jawanisasi di tiap daerah ---seperti istilah rusifikasi atas koloni komunisme
Sovyet--- akan tetapi juga terjadi pada masa-masa agresi kerajaan mataram
misalnya di tatar sunda, bahasa egaliter orang sunda tergusur oleh adanya undak-unduk basa (tingkatan bahasa) yang
membentuk masyarakat kelas.
Hingga sekarang kedaerahan sebetulnya
mengalami puncaknya ketika laju industrialisasi dan gagasan pendirian kota
mandiri ---yang berdiri di pelosok-pelosok daerah--- menggerus lokalitas
semakin hebat. Dampaknya adalah multikulturalisme, berarti hadirnya komunitas
berdasarkan kedaerahan mencirikan pribadi lokal bukan lagi secara geneologis,
tetapi atas dasar pilihan dirinya sebagai masyarakat yang bermukim dalam
ekumene baru. Maka yang menjadi garis besar bukan lagi melulu soal pemahaman
kedaerahan, tetapi usaha pengkayaan pribadinya mengenai subtansi yang akan
membawa daerahnya dalam pentas besar benturan peradaban: memperkuat tradisi
lokal tidak lagi berkutat mengembalikan lokalitas lama, tetapi berpusat pada
pemberdayaan manusia lokal.
Dalam pentas tarian etnis terjadi
penciptaan gesture-gesture baru bukan dalam artian menanggapi modernitas
faktual tetapi sebuah perkembangan yang muncul dari kehendak estetika
pribadinya. Lalu yang terjadi kesenian kembali pada khittahnya yaitu
berdasarkan usaha kontemplatif melampaui usaha empirik dalam arus hidup.
Di sini estetika bisa berwujud
sebagai aktualisasi ibadah, sebagai ejawantah hadirnya ritual yang mengutamakan
kesendirian, mendekat kepada usaha perenungan dalam mengambil jarak atas peristiwa
faktual yang melahirkan kreatifitas. Dari sanalah maka ciptaan akan selalu
menjadi ciri kekuatan pribadi, memberi kritik atas peristiwa faktual: tradisi
dan modernitas.
Adanya komunitas berdasarkan kepada
kedaerahan adalah tempat sublimasi berbentuk percakapan berupa diskursus bukan
lagi tentang lokalitas yang memberi pakem atas modernitas, tetapi pembicaraan
pula mengenai kritik atas lokalitas dalam ketidakberdayaannya menghadapi
gempuran peradaban baru. Bagaimana membentuk kesadaran lokalitas yang di
dalamnya memiliki pribadi-pribadi dengan kekuatan baru dengan memberi pemaknaan
baru atas identitas lokal dalam kekuatannya melawan gempuran peradaban.
Komunitas bagaimanapun adalah
kumpulan manusia yang keluar dari arus mainstream, menghayati
peristiwa-peristiwa dalam perspektif seorang pribadi, maka yang terjadi adalah
wacana, bukan soal kesepakatan bersama. Kesepakatan bersama muncul ketika suatu
model pemikiran direduksi dalam kebudayaan massa yang terputus dari sumbernya. Sebuah
pemikiran yang sudah menjadi masif akan selalu mendapatkan kritik dari wacana
yang menerbitkan pandangan-pandangan berbeda.
Dalam kesustraan soal lokalitas
tengah bergaung begitu hebatnya, ini kemajuan dalam artian kembali menghidupkan
tradisi dalam teroka kekinian, yang berarti mengambil jarak pula atas tradisi
yang telah berlalu. Namun ada kekhawatiran pula ternyata tema lokalitas hanya
baru sebatas membuka ingatan masa lalu, digadang-gadang dapat membuka jalan
pulang alih-alih hanya mengemukakan kesan klasik tradisi sebagai nilai jual
tinggi yang melibatkan masyarakat modern sebagai penikmatnya. Padahal urgensi
membuka kembali tema tradisi adalah persinggungannya dengan modernitas di mana
kewilayahan keduanya sudah semakin kabur, sebagai dampak agresi laju
industrialisasi dan perkotaan mandiri. Dan semestinya tempat pengarang yang
mengambil jarak di dalamnya menjadi usaha kritik atas lemahnya lokalitas dan
agresifnya peran modernitas.
Genre sajak sebenarnya berpeluang
besar membuka warna kebebasan yang memberi nafas baru atas itu, terlebih karena
ia memiliki struktur dari gagasan ke pembentukan kalimat yang lebih
kontemplatif, dalam artian memiliki keleluasaan mengambil jarak atas sejarah
dan peristiwa faktual. Keleluasaan ini sayangnya baru dimanfaatkan oleh para
penyair baru sebatas refleksi pribadi ketimbang kehendak pribadi yang di bangun
dari tempat terjauhnya, dalam memberi refleksi terhadap apa yang terjadi diluar
kamarnya.
Komunitas-komunitas yang ada yang
lahir dari lokalitas mesti membuka wacana pembentukan kembali manusia-manusia
soliter di persimpangan arah pulang dan pergi, menuju langit yang membebaskan
dirinya dari banjir bandang peristiwa faktual dan sejarah.
***
Cikarang, 8 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar