Tanah Edrich
…Namun, bagaimanapun juga jika ia (lelaki) merenungkan Tuhan
dalam dirinya tanpa mereferensi pada wanita maka ia merenungkan-Nya dalam
bentuk pasif… (Ibnu Arabi).
1
Di ujung jalan sebuah desa,
sebagai perantara menuju kaki gunung Manglayang terbentanglah sebuah tanah
hijau. Masyarakat menyebutnya sebagai tanah Vervonding,
tanah peninggalan tuan tanah Van Erdich zaman kolonialisme belanda, karena
terasimilasi oleh bahasa yang membudaya maka tanah tersebut secara turun-temurun
berubah nama menjadi Tanah Edrich atau tanah Erik.
Tanah yang subur ini ditanami
pohon-pohon perkebunan seperti kebun karet, dan tanaman palawija, saking
suburnya tanah ini mengandung mitos yang diyakini masyarakat setempat sebagai
tempat tinggal Nyai Dasima. Masyarakat setempat meyakini Nyai Dasima Tinggal di
sebuah pohon beringin, sebuah pohon besar yang hampir menutupi tampak muka
perkebunan itu.
Girl with a Pearl Earring oleh Jan Vermeer |
Legenda Nyai Dasima
diceritakan sebagai seorang pembantu rumah tangga, yang dengan kecantikannya
berhasil memesona sang tuan tanah. Mereka melakukan skandal seksual yang
membuat Nyai Dasima mengandung anak haram. Berita itu pada akhirnya menyebar dan sampai kepada
Istri Van Edrich. Michelle Istri Edrich histeris bukan main, dan menghendaki
agar Dasima diusir saja dari desa itu. Michelle berhasil mereduksi skandal
tersebut menjadi sebuah konflik masyarakat, ia melakukan siasat dengan Sutami
kekasih Dasima yang merasa terkhianati cintanya, dengan melaporkan skandal itu
pada Kyai Usman.
Kyai Usman, akhirnya berhasil
membakar emosi warga pribumi dengan propaganda keagamaan, bahwa kelakuan Edrich
dan Dasima telah menodai adat masyarakat setempat. Akan tetapi Kyai ini sangat
cerdas karena berhasil mengemas konflik menjadi gairah perjuangan masyarakat
melawan penjajahan. Dasima dianalogikan sebagai perempuan pribumi yang
tertindas sama halnya ketika masyarakat pribumi mengalami ketertindasan. Penodaan
Dasima oleh Edrich, di reduksi Kyai Usman menjadi “penodaan” terhadap tradisi
masyarakat setempat, karena menurut Usman perlakuan seks menyimpang adalah
hasil daripada sikap liberal budaya barat, sikap itu menurutnya perlahan akan
menghinggapi masyarakat pribumi jika penjajahan masih akan terus berlangsung.
Massa yang terprovokasi itu
bergerak melakukan protes di depan kediaman Edrich, dilengkapi dengan yel-yel:
“Pergi dari tanah kami, Anjing Bule”, membuat bergidik bukan saja keluarga
Edrich, tetapi juga pemerintah daerah Hindia
Belanda, dengan dampak melakukan penangkapan terhadap para provokator,
tentunya termasuk di dalamnya Kyai Usman.
Berhentilah protes itu,
selain ditangkapnya para provokator, Dasima diusir. Cerita yang berkembang
menjadi legenda masyarakat itu diakhiri dengan kisah bahwa Dasima pada akhirnya
tewas digantung oleh keluarga Edrich, tepatnya di mana sekarang tumbuh pohon
beringin, di sebuah areal perkebunan Edrich. Arwahnya dikisahkan gentayangan,
karena dianggap telah melawan adat setempat---terutama hukum agama--- ia juga
dianggap telah bersatu dengan lelembutan jahat, disebut-sebut sebagai siluman “kalong
wewe” sesosok tokoh mitos yang sangat akrab di telinga anak-anak. Dengan sosok
inilah anak-anak memilih kegiatan selepas maghrib di masjid dari pada
meneruskan bermain. <Bersambung>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar