Sabtu, 12 Januari 2013

Cerita Bersambung, Tanah Edrich (1)


Tanah Edrich
…Namun, bagaimanapun juga jika ia (lelaki) merenungkan Tuhan dalam dirinya tanpa mereferensi pada wanita maka ia merenungkan-Nya dalam bentuk pasif… (Ibnu Arabi).

1
Di ujung jalan sebuah desa, sebagai perantara menuju kaki gunung Manglayang terbentanglah sebuah tanah hijau. Masyarakat menyebutnya sebagai tanah Vervonding, tanah peninggalan tuan tanah Van Erdich zaman kolonialisme belanda, karena terasimilasi oleh bahasa yang membudaya maka tanah tersebut secara turun-temurun berubah nama menjadi Tanah Edrich atau tanah Erik.
Tanah yang subur ini ditanami pohon-pohon perkebunan seperti kebun karet, dan tanaman palawija, saking suburnya tanah ini mengandung mitos yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat tinggal Nyai Dasima. Masyarakat setempat meyakini Nyai Dasima Tinggal di sebuah pohon beringin, sebuah pohon besar yang hampir menutupi tampak muka perkebunan itu.
Girl with a Pearl Earring oleh Jan Vermeer
Legenda Nyai Dasima diceritakan sebagai seorang pembantu rumah tangga, yang dengan kecantikannya berhasil memesona sang tuan tanah. Mereka melakukan skandal seksual yang membuat Nyai Dasima mengandung anak haram. Berita itu pada akhirnya menyebar dan sampai kepada Istri Van Edrich. Michelle Istri Edrich histeris bukan main, dan menghendaki agar Dasima diusir saja dari desa itu. Michelle berhasil mereduksi skandal tersebut menjadi sebuah konflik masyarakat, ia melakukan siasat dengan Sutami kekasih Dasima yang merasa terkhianati cintanya, dengan melaporkan skandal itu pada Kyai Usman.

Kyai Usman, akhirnya berhasil membakar emosi warga pribumi dengan propaganda keagamaan, bahwa kelakuan Edrich dan Dasima telah menodai adat masyarakat setempat. Akan tetapi Kyai ini sangat cerdas karena berhasil mengemas konflik menjadi gairah perjuangan masyarakat melawan penjajahan. Dasima dianalogikan sebagai perempuan pribumi yang tertindas sama halnya ketika masyarakat pribumi mengalami ketertindasan. Penodaan Dasima oleh Edrich, di reduksi Kyai Usman menjadi “penodaan” terhadap tradisi masyarakat setempat, karena menurut Usman perlakuan seks menyimpang adalah hasil daripada sikap liberal budaya barat, sikap itu menurutnya perlahan akan menghinggapi masyarakat pribumi jika penjajahan masih akan terus berlangsung.
Massa yang terprovokasi itu bergerak melakukan protes di depan kediaman Edrich, dilengkapi dengan yel-yel: “Pergi dari tanah kami, Anjing Bule”, membuat bergidik bukan saja keluarga Edrich, tetapi juga pemerintah daerah Hindia  Belanda, dengan dampak melakukan penangkapan terhadap para provokator, tentunya termasuk di dalamnya Kyai Usman.
Berhentilah protes itu, selain ditangkapnya para provokator, Dasima diusir. Cerita yang berkembang menjadi legenda masyarakat itu diakhiri dengan kisah bahwa Dasima pada akhirnya tewas digantung oleh keluarga Edrich, tepatnya di mana sekarang tumbuh pohon beringin, di sebuah areal perkebunan Edrich. Arwahnya dikisahkan gentayangan, karena dianggap telah melawan adat setempat---terutama hukum agama--- ia juga dianggap telah bersatu dengan lelembutan jahat, disebut-sebut sebagai siluman “kalong wewe” sesosok tokoh mitos yang sangat akrab di telinga anak-anak. Dengan sosok inilah anak-anak memilih kegiatan selepas maghrib di masjid dari pada meneruskan bermain. <Bersambung>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar