Tiga Kesunyian Menuju Sebuah Toko Kue
Oleh: M Taufan Musonip
Gerimis adalah kumpulan tangisan kesunyian
Angle of Death, diambil dari klaudani.com |
Di setiap lubang jendela rumah, drama
itu diperlihatkan, dengan mata seorang anak yang selalu mengintip di ambangnya.
Awan menghitam menghimpun kesunyian yang meratap. Angin memendarkannya menjadi
titik-titik air hujan dari langit.
Ini kesepian yang berulang baginya.
Ayahnya pergi ke sebuah kota beberapa tahun yang lalu untuk bekerja. Sementara
itu ibunya bertugas sebagai petugas loket bus antar kota, sudah pergi sejak
pukul enam pagi tadi. Gerimis telah membuat rumahnya begitu sepi, dia menatap
langit di ambang jendela seperti anak-anak lainnya.
Tapi pagi itu ia harus pergi
menyusuri jalananan yang basah dengan mengenakan jas hujannya. Dia merasa harus
mengisi perutnya dengan sepotong roti, sebelum bis jemputan sekolah
menjemputnya pada pukul sembilan di sebuah shelter tak jauh dari toko kue itu.
Langkah kecil itu mulai menyusuri jalan, kecipak air membuat tubuhnya seperti
melayang. Biasanya setiap pagi seorang pembantu mengantarkannya sampai ke
shelter. Tapi sampai dia memutuskan untuk pergi ke toko kue sendiri,
pembantunya belum juga datang.
Kendaraan yang melintas di jalanan
cukup lengang. Dia melihat malaikat kecil bersayap bertengger di sebuah atap
gedung, sesekali melayang berbegar di langit. Orang-orang dewasa berjalan di
trotoar dengan langkah yang lambat. Ketika dia harus menyeberang, malaikat
kecil itu hinggap disebuah tiang nama jalan dekat toko kue di mana ia harus
membeli rotinya.
Malaikat itu tersenyum padanya,
mengepakan sayapnya hingga genangan air yang ada dibawah tiang berpendar. Mata
anak kecil itu terkunci pada pemandangan di mana orang dewasa sama sekali tak
menyadari adanya peri kecil itu.
***
Sebelum Budong sampai di sebuah toko
kue dia menelepon kekasihnya. Budong akan mempersembahkan setangkai bunga mawar
untuknya. Lelaki itu berharap agar keputusan kekasihnya untuk tidak melanjutkan
hubungan keduanya pada malam sebelumnya dapat
dipertimbangkan lagi. Perempuan yang dahulu ia perjuangkan mampu mengisi
sebagian relung jiwanya. Sebelumnya mereka telah berkomitmen akan menjalani
kehidupan bersama dalam bahtera rumah
tangga.
Pagi itu, Budong tengah berada
dibalik kemudi mobil boxnya. Dia adalah seorang pemuda yang bertugas sebagai
pengantar paket-paket barang ke tiap penjuru kota ini.
“Sudah aku bilang, Budong. Kita
putus!” suara perempuan itu telah mengoyak ruang sadarnya sebagai seorang
pengemudi. Menafikan rambu-rambu yang selama ini menjadi pemandunya.
Gerimis kini seperti akumulasi dari
kesunyian-kesunyian yang mendera hari-harinya, setiap hari Budong melalui
jalan-jalan diperkotaan ini sendirian. Pekerjaannya dimulai pada tengah malam
dari sebuah agen pengumpul paket-paket barang. Dari pekerjaannya itulah dia
berkenalan dengan seorang gadis penunggu toko kue yang bertugas sebagai
penerima paket bahan baku kue dari pabrik pembuatnya. Gendis namanya. Hari-hari
pernah dilalui dengan gadis itu penuh dengan kehangatan. Pada malam natal tahun
lalu, Budong menyematkan cincin pada jari manis perempuan itu.
Tapi kehangatan itu tak berlangsung
sampai mereka menikah. Pada bunyi genta gereja katedral selama delapan kali di
seberang toko kue tempat ia pernah menyatakan cinta, dengan dipupuri gerimis
tipis di jalanan, gadis itu kembali mengulang keputusannya, untuk tidak
meneruskan hubungannya.
Budong lalu mengingat satu nama yang
mungkin telah membuat hubungannya dengan Gendis hancur. Dia adalah Sarim, sopir
pribadi dari seorang pejabat negara yang sering berbelanja kue, ditoko itulah
lelaki itu sering menemui Gendis. Gendis pun sering menyebut nama lelaki itu,
saat dirinya kebetulan temu kangen bersama Budong.
“Dia lelaki keren dengan Volvonya.”
Ujar Gendis.
“Volvo itu milik negara, Gendis”
“Tak peduli, yang penting Volvo,
daripada….”
“Daripada mobil box maksudmu?”
Bayangan perempuan itu di masa lalu semakin mengoyak kesadarannya
saat berkendara. Budong tak sadar telah melewati toko kue di mana ia harus
menyampaikan sebuah paket. Di depan seorang anak lelaki yang tengah menyeberang
ditabraknya. Tapi ruang sadarnya sudah terkoyak, dia meneruskan perjalanannya
seperti tanpa tujuan.
***
Wanita itu menyusuri gang-gang di
jalan raya yang biasa ia lewati. Sebab kalau dia melalui jalan lain dia akan berhadapan dengan
pemulung yang akan segera mengusirnya. Di kota ini jumlah pemulung semakin
besar. Setiap pemulung memiliki wilayahnya masing-masing.
Gerimis membuatnya langkahnya agak
lambat. Seperti kebanyakan orang kalau sedang berjalan dalam gerimis.
Barang-barang loak yang didapatnya belum banyak. Sampailah dia di sebuah
perempatan jalan, dia tak mungkin mengambil arah jalan menanjak, jalan yang
banyak dihuni perkantoran-perkantoran besar itu jarang sekali terdapat
loakan-loakan logam yang dapat dijual dengan harga tinggi.
Maka diambilnya arah jalan yang
menurun. Masuk kembali ke dalam gang-gang sempit di antaranya, hingga dia harus
keluar pada lorong gang sebuah toko kue.
Dia berteduh di sana dan tidak
mendapati loyang-loyang yang biasa menjadi limbah toko kue itu. Padahal sudah
satu tahun dia tidak mendapatkan barang-barang logam darinya. Nung menghela
nafas cukup dalam. Seorang penjaga toko kue menghardiknya, membuatnya bergeser
ke mulut lorong.
Tiba-tiba ia ingin bersimpuh pada
Tuhan, karena segala lelahnya. “Tuhan ijinkan aku mencuri,” begitu bisiknya.
Maka dilihatnya tumpukan loyang dalam salah satu kamar sebagai bagian denah
toko kue yang tampak dilorong itu. Paling tidak, pikirnya, untuk mengisi
perutnya yang lapar. Dan memang hanya untuk itu pekerjaan yang selama ini dia jalankan.
Nung tidak mencari uang untuk siapa-siapa. Nung seorang perempuan sebatang
kara. Belum ada lelaki yang mau menikahinya. Ibunya meninggal sepuluh tahun
yang lalu, terlindas kereta saat memulung. Dan dia adalah seorang anak
perempuan yang tak pernah melihat bapaknya sejak lahir.
Penjaga yang menghardiknya tadi
mungkin sudah berlalu menuju bagian depan toko. Dadanya berdebar. Baru kali ini
dia harus melakukannya. Dan entah kenapa dia harus melakukannya, biasanya dia
tahan dengan lapar yang tiap hari menderanya.
Maka beranjaklah dia. Tetapi bau
anyir mencegahnya melangkah, air hujan mengantarkan suatu kabar yang diliput
darah yang mengalir di kakinya. Maka diikutinya di mana darah itu berasal.
Jalanan kota cukup lengang. Dan Nung
melihat seorang anak laki-laki tak berdaya di jalanan, kepalanya mengeluarkan
darah cukup hebat. Orang-orang kota kalah oleh hujan. Mereka sama sekali tak
memperdulikan jasad anak itu. Padahal di toko kue itu banyak sekali orang
berteduh, banyak pula yang sedang berbelanja. Satu dua orang pengendara motor
malah menghindarinya. Sebuah mobil kemudian menggilas tubuh anak itu seperti
bangkai kucing.
Nung lalu memindahkah jasad anak
lelaki itu ke trotoar dan melupakan semua yang tadi harus dilakukannya, air
hujan menyeka wajahnya, darah ditangannya memberi kehangatan pada seluruh
tubuhnya.
Dipandangnya wajah anak itu, ada
keheningan yang membeku di dalamnya, lalu dia merasa harus melupakan
loyang-loyang di toko kue itu dan
laparnya, dan kembali harus meneruskan perjalanannya.
***
Cikarang, 22 Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar