Selasa, 08 Januari 2013

Cerpen


Tiga Kesunyian Menuju Sebuah Toko Kue
Oleh: M Taufan Musonip


Gerimis adalah kumpulan tangisan kesunyian

Angle of Death, diambil dari klaudani.com
Di setiap lubang jendela rumah, drama itu diperlihatkan, dengan mata seorang anak yang selalu mengintip di ambangnya. Awan menghitam menghimpun kesunyian yang meratap. Angin memendarkannya menjadi titik-titik air hujan dari langit.

Ini kesepian yang berulang baginya. Ayahnya pergi ke sebuah kota beberapa tahun yang lalu untuk bekerja. Sementara itu ibunya bertugas sebagai petugas loket bus antar kota, sudah pergi sejak pukul enam pagi tadi. Gerimis telah membuat rumahnya begitu sepi, dia menatap langit di ambang jendela seperti anak-anak lainnya.

Tapi pagi itu ia harus pergi menyusuri jalananan yang basah dengan mengenakan jas hujannya. Dia merasa harus mengisi perutnya dengan sepotong roti, sebelum bis jemputan sekolah menjemputnya pada pukul sembilan di sebuah shelter tak jauh dari toko kue itu. Langkah kecil itu mulai menyusuri jalan, kecipak air membuat tubuhnya seperti melayang. Biasanya setiap pagi seorang pembantu mengantarkannya sampai ke shelter. Tapi sampai dia memutuskan untuk pergi ke toko kue sendiri, pembantunya belum juga datang.

Kendaraan yang melintas di jalanan cukup lengang. Dia melihat malaikat kecil bersayap bertengger di sebuah atap gedung, sesekali melayang berbegar di langit. Orang-orang dewasa berjalan di trotoar dengan langkah yang lambat. Ketika dia harus menyeberang, malaikat kecil itu hinggap disebuah tiang nama jalan dekat toko kue di mana ia harus membeli rotinya.

Malaikat itu tersenyum padanya, mengepakan sayapnya hingga genangan air yang ada dibawah tiang berpendar. Mata anak kecil itu terkunci pada pemandangan di mana orang dewasa sama sekali tak menyadari adanya peri kecil itu.
***

Sebelum Budong sampai di sebuah toko kue dia menelepon kekasihnya. Budong akan mempersembahkan setangkai bunga mawar untuknya. Lelaki itu berharap agar keputusan kekasihnya untuk tidak melanjutkan hubungan keduanya pada malam sebelumnya dapat  dipertimbangkan lagi. Perempuan yang dahulu ia perjuangkan mampu mengisi sebagian relung jiwanya. Sebelumnya mereka telah berkomitmen akan menjalani kehidupan bersama  dalam bahtera rumah tangga.

Pagi itu, Budong tengah berada dibalik kemudi mobil boxnya. Dia adalah seorang pemuda yang bertugas sebagai pengantar paket-paket barang ke tiap penjuru kota ini.

“Sudah aku bilang, Budong. Kita putus!” suara perempuan itu telah mengoyak ruang sadarnya sebagai seorang pengemudi. Menafikan rambu-rambu yang selama ini menjadi pemandunya.

Gerimis kini seperti akumulasi dari kesunyian-kesunyian yang mendera hari-harinya, setiap hari Budong melalui jalan-jalan diperkotaan ini sendirian. Pekerjaannya dimulai pada tengah malam dari sebuah agen pengumpul paket-paket barang. Dari pekerjaannya itulah dia berkenalan dengan seorang gadis penunggu toko kue yang bertugas sebagai penerima paket bahan baku kue dari pabrik pembuatnya. Gendis namanya. Hari-hari pernah dilalui dengan gadis itu penuh dengan kehangatan. Pada malam natal tahun lalu, Budong menyematkan cincin pada jari manis perempuan itu.

Tapi kehangatan itu tak berlangsung sampai mereka menikah. Pada bunyi genta gereja katedral selama delapan kali di seberang toko kue tempat ia pernah menyatakan cinta, dengan dipupuri gerimis tipis di jalanan, gadis itu kembali mengulang keputusannya, untuk tidak meneruskan hubungannya.

Budong lalu mengingat satu nama yang mungkin telah membuat hubungannya dengan Gendis hancur. Dia adalah Sarim, sopir pribadi dari seorang pejabat negara yang sering berbelanja kue, ditoko itulah lelaki itu sering menemui Gendis. Gendis pun sering menyebut nama lelaki itu, saat dirinya kebetulan temu kangen bersama Budong.

“Dia lelaki keren dengan Volvonya.” Ujar Gendis.

“Volvo itu milik negara, Gendis”

“Tak peduli, yang penting Volvo, daripada….”

“Daripada mobil box maksudmu?”

Bayangan perempuan itu  di masa lalu semakin mengoyak kesadarannya saat berkendara. Budong tak sadar telah melewati toko kue di mana ia harus menyampaikan sebuah paket. Di depan seorang anak lelaki yang tengah menyeberang ditabraknya. Tapi ruang sadarnya sudah terkoyak, dia meneruskan perjalanannya seperti tanpa tujuan.
***

Wanita itu menyusuri gang-gang di jalan raya yang biasa ia lewati. Sebab kalau dia  melalui jalan lain dia akan berhadapan dengan pemulung yang akan segera mengusirnya. Di kota ini jumlah pemulung semakin besar. Setiap pemulung memiliki wilayahnya masing-masing.

Gerimis membuatnya langkahnya agak lambat. Seperti kebanyakan orang kalau sedang berjalan dalam gerimis. Barang-barang loak yang didapatnya belum banyak. Sampailah dia di sebuah perempatan jalan, dia tak mungkin mengambil arah jalan menanjak, jalan yang banyak dihuni perkantoran-perkantoran besar itu jarang sekali terdapat loakan-loakan logam yang dapat dijual dengan harga tinggi.
Maka diambilnya arah jalan yang menurun. Masuk kembali ke dalam gang-gang sempit di antaranya, hingga dia harus keluar pada lorong gang sebuah toko kue.

Dia berteduh di sana dan tidak mendapati loyang-loyang yang biasa menjadi limbah toko kue itu. Padahal sudah satu tahun dia tidak mendapatkan barang-barang logam darinya. Nung menghela nafas cukup dalam. Seorang penjaga toko kue menghardiknya, membuatnya bergeser ke mulut lorong.

Tiba-tiba ia ingin bersimpuh pada Tuhan, karena segala lelahnya. “Tuhan ijinkan aku mencuri,” begitu bisiknya. Maka dilihatnya tumpukan loyang dalam salah satu kamar sebagai bagian denah toko kue yang tampak dilorong itu. Paling tidak, pikirnya, untuk mengisi perutnya yang lapar. Dan memang hanya untuk itu pekerjaan yang selama ini dia jalankan. Nung tidak mencari uang untuk siapa-siapa. Nung seorang perempuan sebatang kara. Belum ada lelaki yang mau menikahinya. Ibunya meninggal sepuluh tahun yang lalu, terlindas kereta saat memulung. Dan dia adalah seorang anak perempuan yang tak pernah melihat bapaknya sejak lahir.

Penjaga yang menghardiknya tadi mungkin sudah berlalu menuju bagian depan toko. Dadanya berdebar. Baru kali ini dia harus melakukannya. Dan entah kenapa dia harus melakukannya, biasanya dia tahan dengan lapar yang tiap hari menderanya.

Maka beranjaklah dia. Tetapi bau anyir mencegahnya melangkah, air hujan mengantarkan suatu kabar yang diliput darah yang mengalir di kakinya. Maka diikutinya di mana darah itu berasal.

Jalanan kota cukup lengang. Dan Nung melihat seorang anak laki-laki tak berdaya di jalanan, kepalanya mengeluarkan darah cukup hebat. Orang-orang kota kalah oleh hujan. Mereka sama sekali tak memperdulikan jasad anak itu. Padahal di toko kue itu banyak sekali orang berteduh, banyak pula yang sedang berbelanja. Satu dua orang pengendara motor malah menghindarinya. Sebuah mobil kemudian menggilas tubuh anak itu seperti bangkai kucing.

Nung lalu memindahkah jasad anak lelaki itu ke trotoar dan melupakan semua yang tadi harus dilakukannya, air hujan menyeka wajahnya, darah ditangannya memberi kehangatan pada seluruh tubuhnya.
Dipandangnya wajah anak itu, ada keheningan yang membeku di dalamnya, lalu dia merasa harus melupakan loyang-loyang di toko kue itu dan  laparnya, dan kembali harus meneruskan perjalanannya.
***
Cikarang, 22 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar