Mengenang Miles Davis Karya Rebeca Bessette dan Victor Pross Lukisan diambil dari http://riskyrock666.blogspot.com/2011/06/5-lukisan-terkenal-bertema-musik.html |
Kecemasan dan Penderitaan yang Menciptakan Kebaruan
Oleh: M
Taufan
Segala
sesuatu tercerai berai;
Pusatnya tak
mampu menahan;
Hanya anarki
yang lepas ke dunia
(WB Yeats, “The Second Coming”)
Kecemasan menurut
Heidegger adalah pertanda jiwa kreatif. Ia adalah sesuatu yang tak dapat di
terka muasalnya. Angst (kecemasan)
berimplikasi pada kehendak untuk berkuasa, yang bagi Nietzsche bermula dari
ketakutan dan kegelisahan.
Bagi saya ketiganya bermotif ghaib.
Heidegger sendiri dengan lantang menyebut Nietzsche sebagai orang metafisika. Angst, Ketakutan dan kegelisahan
pertanda adanya the other atau
kelianan yang disengaja. Schacht membedakannya dengan posisi kelianan Hegel,
dalam istilah Hegel kelianan adalah menembusnya individu ke dalam subtansi
sosial yang ada dalam kehidupannya.
Motif kelianan Hegel adalah
konservatif terhadap keadaan yang menindas, oleh karenanya Banyak sekali
mendapatkan kritik oleh para filsuf belakangan. Sementara Angst ---sebagaimana ketakutan dan kegelisahannya Nietzsche---
semacam bisikan untuk menciptakan kebaruan, sebuah penderitaan yang diamini.
Bagi Nietzsce kehidupan tak lain
adalah perjalanan dalam seutas tali yang dibentangkan pada dua tebing
jurang, penuh bahaya, suatu keadaan yang
tak mungkin bisa memilih diam atau melangkah mundur. Bedanya Nietzsche tak
mengamini kebaruan, ia seolah berkutat dalam kepercayaan sirkular “pengulangan
abadi” sehingga sama sekali tidak progresif.
Sunardi membedakan tiga cara mengada
manusia, ia adalah sein (ada), seinde (adaan) dan zu sein (to be). Pengulangan Abadi seperti digulirkan Nietzsche
berpusat pada to be atau zu sein. Segala sesuatu bukanlah lagi ada tetapi adalah, maka ia memerlukan definisi, untuk memadah eksistensi
maknawi (adaan) guna mempertimbangkan fungsi. Sementara Heideger memusatkan jiwa
kreatifnya pada sein yang merujuk
pada arche: kepemimpinan dalam filsafat untuk
mendorong orang memusatkan diri pada kualitas pengalaman.
Kembali mengutip Sunardi bahwa semua
gejala moral, keagamaan termasuk pengetahuan adalah semacam adanya kehendak
untuk berkuasa dalam pengertian Filsafat Nietzschean yang bermula pada adanya
kegiatan menafsir dan menilai seperti yang dilakukan Nietzsche sendiri dalam
penilaian kembali semua nilai, maka kehendak berkuasa tak pernah lepas dari
unsur ghaibnya sendiri.
Heidegger berusaha mentransformasi
unsur ghaib dalam kecemasan (angst) pengasingan kepada sebuah eksistensi yang
merdeka.
Apakah wujud kebaruan itu?
Heidegger menjawabnya dengan berupaya
mendorong kembali pertanyaan-pertanyaan mendasar (Leitfrage) ketimbang
pertanyaan-pertanyaan penuntun (Grundefrage). Leitfrage, berkuasa atas kembalinya segala sesuatu sehingga
menimbulkan indeterminasi eksistensi sebagai wujud kreatif. Dalam hal ini
Heidegger seolah mengkritik Nietzsche bahwa ungkapan Ich Liebe dich ewigkeit ( Aku mencintaimu wahai keabadian) adalah
semata-mata determinasi guna mengobati ketakutan dan kegelisahannya kepada
hidup.
Apa yang terjadi hari ini dapat diselesaikan
dengan skeptisisme dan kesadaran mendalam tentang kekinian. Keduanya memiliki
topangan, topangan itu adalah sesuatu yang lian di luar dirinya, sebuah
kekuatan ghaib yang diyakini sebagai sesuatu yang belum datang menjadi kenyataan
dalam perulangan abadi, meskipun Nietzsche dan Heidegger mentasbihkan diri
sebagai yang berkuasa atas perulangan itu: siapa yang mampu menarik masa depan
lebih awal?.
Maka Jelaslah bahwa pelayaran tanpa
henti yang di yakini Nietzsche itu tak pernah ada, yang ada adalah ekstase
dalam arung. Rasa mabuk yang tinggi terhadap diri sendiri sebagai pusat kehidupan.
Rasa mabuk itulah yang sejenak telah memisahkan eksebisi pemikiran dengan
pengalaman.
Bersatunya eksebisi pemikiran pada
pengalaman (arche) menghasilkan kebaruan-kebaruan ilmu pengetahuan, Big bang telah di bantah oleh teori
castrathope sebagaimana juga ilmu chaos membantah castatrhope. Ilmu mekanika telah dikritik oleh teori relativitas,
sebagaimana teori kuantum telah melengkapi teori relativitas. Kita tak dapat
memungkiri evolusi berpikir manusia demi kepentingan dirinya sendiri.
Agama juga mendapatkan kritiknya,
bahkan oleh orang-orang teis. Dalam teori golongan manusia, Fromm menyebutkan
para kritisisme sebagai manusia kontemporer. Mereka mencoba menilai kembali
nilai agama yang telah dipahami oleh orang belakangan sambil terus menjadikan
agama sesuai dengan jaman dan tempatnya.
Ada semacam momentum loncatan sejarah
yang terjadi disini. Agama Islam misalnya yang lahir 15 abad yang lalu dalam
struktur dan sistem budaya kafilah dagang harus menyesuaikan diri ketika ia
berada di Jawa, di mana struktur masyarakatnya berciri agraris.
Jaman dahulu Kyai datang pada sebuah
acara tabligh yang sudah ditunggui para santri. Lalu saat Muhammadiyah
mendirikan madrasah dengan pola belajar cara barat, para santri datang untuk
mendengarkan pengajaran. Sekarang, guru dan murid bisa sangat berjarak, dengan
kemajuan teknologi virtual murid bisa mengakses pengajaran guru melalui
internet atau buku. Kebaruan akan terus muncul seiring dengan semakin majunya
teknologi.
Kebaruan juga akan mengubah struktur
budaya masyarakat, tinggal persoalannya, saya ini berada dimana?. Jika saya
mengikuti Angst-nya Heidegger, maka ciri saya berada adalah upaya dan
keikutsertaan saya dalam penciptaan kebaruan-kebaruan demi kemaslahatan manusia
itu sendiri.
Lalu kritisisme terhadap agama adalah
merubah cara pandang terhadap nilainya, menghasilkan metodologi baru dalam
menghadapi kehidupan.
Sastra dan penderitaan
Dalam dunia sastra pengalaman menjadi
hal utama, untuk mendapat aku yang perkasa (Res Cogitans) manusia harus berani
menghadapi penderitaan: “menjadikan dirinya sebagai bayang-bayang yang terselip
sayup-sayup diantara konstelasi benda-benda atau suara tetumbuhan dan hewan
yang ingar bingar”-kata Tia Setiadi.
Paparan Tia terkait dengan
pembahasannya atas puisi-puisi Afrizal Malna, dimana sang aku dalam
antah-berantah puisi menjadikan dirinya bukan apa-apa, supaya bisa menangkap
sang metamir yang berbisik ke dalam
pendengarannya.
Penderitaan tak pernah menjadi aral
daripada pencapaian spritual, bahkan sebagian penulis besar mencipta karyanya
dalam keadaan tertindas oleh rejim pada jamannya, seperti halnya orang-orang
sufi yang berkarya dalam keadaan juhud. Penderitaan tak pernah merintangi
pencapaian spritual, justru sebaliknya, penderitaan mampu menjernihkan pikiran
untuk menciptakan kebaruan-kebaruan dalam berkarya.
Saya pikir sudah saatnya saya
memahami diri yang utuh, manusia menyimpan misterinya sendiri dalam hatinya,
hati bukanlah segumpal daging, tetapi wadah sesuatu yang misterius yang akan
selalu datang ke dalam dirinya, beserta pikiran-pikiran yang menuntut tubuh ini
untuk melakukan sesuatu demi kemaslahatan saya dan orang lain.
***
Cikarang, 16 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar