Sabtu, 12 Januari 2013

Esai



Mengenang Miles Davis Karya Rebeca Bessette dan Victor Pross
Lukisan diambil dari http://riskyrock666.blogspot.com/2011/06/5-lukisan-terkenal-bertema-musik.html

Kecemasan dan Penderitaan yang Menciptakan Kebaruan
Oleh: M Taufan

Segala sesuatu tercerai berai;
Pusatnya tak mampu menahan;
Hanya anarki yang lepas ke dunia
(WB Yeats, “The Second Coming”)

Kecemasan menurut Heidegger adalah pertanda jiwa kreatif. Ia adalah sesuatu yang tak dapat di terka muasalnya. Angst (kecemasan) berimplikasi pada kehendak untuk berkuasa, yang bagi Nietzsche bermula dari ketakutan dan kegelisahan.

Bagi saya ketiganya bermotif ghaib. Heidegger sendiri dengan lantang menyebut Nietzsche sebagai orang metafisika. Angst, Ketakutan dan kegelisahan pertanda adanya the other atau kelianan yang disengaja. Schacht membedakannya dengan posisi kelianan Hegel, dalam istilah Hegel kelianan adalah menembusnya individu ke dalam subtansi sosial yang ada dalam kehidupannya.

Motif kelianan Hegel adalah konservatif terhadap keadaan yang menindas, oleh karenanya Banyak sekali mendapatkan kritik oleh para filsuf belakangan. Sementara Angst ---sebagaimana ketakutan dan kegelisahannya Nietzsche--- semacam bisikan untuk menciptakan kebaruan, sebuah penderitaan yang diamini.

Bagi Nietzsce kehidupan tak lain adalah perjalanan dalam seutas tali yang dibentangkan pada dua tebing jurang,  penuh bahaya, suatu keadaan yang tak mungkin bisa memilih diam atau melangkah mundur. Bedanya Nietzsche tak mengamini kebaruan, ia seolah berkutat dalam kepercayaan sirkular “pengulangan abadi” sehingga sama sekali tidak progresif.

Sunardi membedakan tiga cara mengada manusia, ia adalah sein (ada), seinde (adaan) dan zu sein (to be). Pengulangan Abadi seperti digulirkan Nietzsche berpusat pada to be atau zu sein. Segala sesuatu bukanlah lagi ada tetapi adalah, maka ia memerlukan definisi, untuk memadah eksistensi maknawi (adaan) guna mempertimbangkan fungsi. Sementara Heideger memusatkan jiwa kreatifnya pada sein yang merujuk pada arche: kepemimpinan dalam filsafat untuk mendorong orang memusatkan diri pada kualitas pengalaman.

Kembali mengutip Sunardi bahwa semua gejala moral, keagamaan termasuk pengetahuan adalah semacam adanya kehendak untuk berkuasa dalam pengertian Filsafat Nietzschean yang bermula pada adanya kegiatan menafsir dan menilai seperti yang dilakukan Nietzsche sendiri dalam penilaian kembali semua nilai, maka kehendak berkuasa tak pernah lepas dari unsur ghaibnya sendiri.

Heidegger berusaha mentransformasi unsur ghaib dalam kecemasan (angst) pengasingan kepada sebuah eksistensi yang merdeka.


Apakah wujud kebaruan itu?
Heidegger menjawabnya dengan berupaya mendorong kembali pertanyaan-pertanyaan mendasar (Leitfrage) ketimbang pertanyaan-pertanyaan penuntun (Grundefrage). Leitfrage, berkuasa atas kembalinya segala sesuatu sehingga menimbulkan indeterminasi eksistensi sebagai wujud kreatif. Dalam hal ini Heidegger seolah mengkritik Nietzsche bahwa ungkapan Ich Liebe dich ewigkeit ( Aku mencintaimu wahai keabadian) adalah semata-mata determinasi guna mengobati ketakutan dan kegelisahannya kepada hidup.

Apa yang terjadi hari ini dapat diselesaikan dengan skeptisisme dan kesadaran mendalam tentang kekinian. Keduanya memiliki topangan, topangan itu adalah sesuatu yang lian di luar dirinya, sebuah kekuatan ghaib yang diyakini sebagai sesuatu yang belum datang menjadi kenyataan dalam perulangan abadi, meskipun Nietzsche dan Heidegger mentasbihkan diri sebagai yang berkuasa atas perulangan itu: siapa yang mampu menarik masa depan lebih awal?.

Maka Jelaslah bahwa pelayaran tanpa henti yang di yakini Nietzsche itu tak pernah ada, yang ada adalah ekstase dalam arung. Rasa mabuk yang tinggi terhadap diri sendiri sebagai pusat kehidupan. Rasa mabuk itulah yang sejenak telah memisahkan eksebisi pemikiran dengan pengalaman.

Bersatunya eksebisi pemikiran pada pengalaman (arche) menghasilkan kebaruan-kebaruan ilmu pengetahuan, Big bang telah di bantah oleh teori castrathope sebagaimana juga ilmu chaos membantah castatrhope. Ilmu mekanika telah dikritik oleh teori relativitas, sebagaimana teori kuantum telah melengkapi teori relativitas. Kita tak dapat memungkiri evolusi berpikir manusia demi kepentingan dirinya sendiri.

Agama juga mendapatkan kritiknya, bahkan oleh orang-orang teis. Dalam teori golongan manusia, Fromm menyebutkan para kritisisme sebagai manusia kontemporer. Mereka mencoba menilai kembali nilai agama yang telah dipahami oleh orang belakangan sambil terus menjadikan agama sesuai dengan jaman dan tempatnya.

Ada semacam momentum loncatan sejarah yang terjadi disini. Agama Islam misalnya yang lahir 15 abad yang lalu dalam struktur dan sistem budaya kafilah dagang harus menyesuaikan diri ketika ia berada di Jawa, di mana struktur masyarakatnya berciri agraris.

Jaman dahulu Kyai datang pada sebuah acara tabligh yang sudah ditunggui para santri. Lalu saat Muhammadiyah mendirikan madrasah dengan pola belajar cara barat, para santri datang untuk mendengarkan pengajaran. Sekarang, guru dan murid bisa sangat berjarak, dengan kemajuan teknologi virtual murid bisa mengakses pengajaran guru melalui internet atau buku. Kebaruan akan terus muncul seiring dengan semakin majunya teknologi.

Kebaruan juga akan mengubah struktur budaya masyarakat, tinggal persoalannya, saya ini berada dimana?. Jika saya mengikuti Angst-nya Heidegger, maka ciri saya berada adalah upaya dan keikutsertaan saya dalam penciptaan kebaruan-kebaruan demi kemaslahatan manusia itu sendiri.
Lalu kritisisme terhadap agama adalah merubah cara pandang terhadap nilainya, menghasilkan metodologi baru dalam menghadapi kehidupan.

Sastra dan penderitaan
Dalam dunia sastra pengalaman menjadi hal utama, untuk mendapat aku yang perkasa (Res Cogitans) manusia harus berani menghadapi penderitaan: “menjadikan dirinya sebagai bayang-bayang yang terselip sayup-sayup diantara konstelasi benda-benda atau suara tetumbuhan dan hewan yang ingar bingar”-kata Tia Setiadi.

Paparan Tia terkait dengan pembahasannya atas puisi-puisi Afrizal Malna, dimana sang aku dalam antah-berantah puisi menjadikan dirinya bukan apa-apa, supaya bisa menangkap sang metamir yang berbisik ke dalam pendengarannya.

Penderitaan tak pernah menjadi aral daripada pencapaian spritual, bahkan sebagian penulis besar mencipta karyanya dalam keadaan tertindas oleh rejim pada jamannya, seperti halnya orang-orang sufi yang berkarya dalam keadaan juhud. Penderitaan tak pernah merintangi pencapaian spritual, justru sebaliknya, penderitaan mampu menjernihkan pikiran untuk menciptakan kebaruan-kebaruan dalam berkarya.

Saya pikir sudah saatnya saya memahami diri yang utuh, manusia menyimpan misterinya sendiri dalam hatinya, hati bukanlah segumpal daging, tetapi wadah sesuatu yang misterius yang akan selalu datang ke dalam dirinya, beserta pikiran-pikiran yang menuntut tubuh ini untuk melakukan sesuatu demi kemaslahatan saya dan orang lain.
***
Cikarang, 16 September 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar