Masyarakat Air
Oleh: M Taufan Musonip
I
“Tenang dasar lautku: siapa bisa
menduga bahwa ia menyembunyikan moster-moster sportif”(Also
Sprach Zarathustra, F. Nietzsche).
Seperti kita ketahui air sangat bermanfaat bagi kehidupan
kita, ia menyuburkan tanah hingga tetanaman tumbuh sebagai pemuas kebutuhan
mahluk hidup dan menjadi salah satu penyebab hidupnya rantai ekosistem.
Arnold Toynbee menyebut sumber air dan alirannya (sungai),
adalah merupakan latar berlangsungnya drama sejarah, dimana berbagai peradaban
mulai tercipta. Peradaban Mesir lahir di dekat sungai Nil, begitupula dengan
peradaban Sumero-Akadia (Armenia?) besar karena aliran sungai Tigris
dan Euphrat, sementara Cina oleh sungai Kuning…. Aliran Air (sungai) adalah
media transportasi memadai bagi umat manusia, agar ekspansi kekuasaannya
centang perenang dapat mengekploitasi alam lebih jauh.
Starry Night Karya Van Gogh |
Orang-orang Eleatik
Yunani meyakini mitos bahwa Air adalah simbol kekuasaan bijak sang Ayah
(langit) terhadap Ibu (Alam), karena diakui sebagai energi lahirnya mahluk
hidup yang produktif. Di China kita mengenal Bodhisatwa (ayah) atas Kwan-Im
(Ibu) dalam ajaran Mahayana yang terakulturasi, sementara orang Yunani
menyembah Zeus dan Elea .
Dalam buku Filsafat Sejarah Karya GWF Hegel, air laut
(pesisir pantai) digambarkan sebagai puncak peradaban termaju ketimbang daratan
Tinggi dan daerah berlembah, ia mengatakan: “siapa yang menguasai laut, ia akan
lebih dulu maju”
II
Siapa bisa menduga ia menyembunyikan moster-moster sportif?,
Kesan ilusif-imajinatif yang disimbolkan dengan teriakan
Nietzsche hari ini di Indonesia
dalam pikiran penulis, bukan tidak relevan dan sangat nyata. Di Indonesia Air
sudah tidak lagi mampu bersahabat dengan penggunanya, kini ia bagai monster
menakutkan, bagi para petani, dan orang kota yang tinggal di daerah “kumuh”,
mereka sering mengeluh oleh kehebatan amarah air terhadap padi dan rumah-rumah
yang ditenggelamkannya.
Dilaut para Nelayan merugi hingga ratusan juta karena
bencana gelombang pasang mengancam mereka untuk tidak melaut. Padahal itulah
satu-satunya mata pencaharian yang diandalkan para nelayan untuk menghidupi
keluarganya.
III
Hegel membagi letak geografis yang ia yakini sangat
mempengaruhi etape sejarah kemajuan peradaban sebagai: 1. dataran tinggi 2. dataran berlembah dan 3. dataran pantai.
Dataran tinggi menenurutnya, sebuah tempat tinggal masyarakat manusia yang
paling belakangan memiliki kesadaran akan kemajuan daerahnya, Hegel cenderung
menamakan mereka sebagai masyarakat Barbar, masyarakat yang mengorientasikan
kekuasaan dengan kekerasan. Sebab, katanya sumber pemuas kebutuhannya bersumber
kepada peternakan, hingga memiliki insting membunuh lebih besar1.
Dataran berlembah, Masyarakat daerah ini mengandalkan,
pertanian dan perkebunan sebagai pemuas kebutuhannya. Dr Kuntowijoyo, menyebut
kebudayaan Agraris sebagai cikal bakal kebudayaan Aristokrasi (priyayi), Di
China jaman dinasti Liu Pyang, pengaruh konfusian menghilangkan budaya ini,
akan tetapi pada akhirnya masyarakat egaliter yang lulus seleksi terdaftar
sebagai staff pegawai pemerintah, menguasai tanah lebih banyak ketimbang para
petani sendiri --- karena penghasilan menjadi staff pemerintah lebih besar
ketimbang menjadi petani --- dan mereka membelanjakan sebagian besar gajinya
untuk ekspansi penguasaan tanah.
Dan terakhir adalah Dataran pantai, yang memiliki mata pencaharian
berburu ikan (nelayan) dan berdagang. Orang-orang pantai menyebut laut sebagai
media transportasi perdagangan, dan pergaulan Dunia, karena dengan laut mereka
mampu melewati keterbatasan daratannya, dan menembus laut demi mengenal daerah
lainnya.
Anehnya Indonesia, yang dikenal sebagai wilayah maritim
terbesar, tidak memiliki budaya pantai, dan cenderung lebih dekat dengan budaya
pertanian, bahkan alih-alih pegunungan, fenomena illegal-logging, pengrusakan terumbu karang, penguasaan lahan tanah
yang tidak manusiawi, adalah perilaku orang-orang pegunungan.
IV
Pembagian wilayah
yang mempengaruhi maju tidaknya peradaban, yang dikupas Hegel, seakan tak
relevan dengan kehidupan sekarang, karena komitmenya terhadap penegakan Hak
Azasi Manusia dan persoalan rasialisme. Masyarakat modern adalah sebuah masyarakat
yang memiliki kehendak perubahan: sebuah proses perjalanan masyarakat pra-urban
menuju urbanitas. Masyarakat pra Urban menggambarkan bahwa nilai religius tak
mampu “mengada” menghadapi tantangan zaman. Religiusitas yang berlawanan dengan
realitas adalah syarat terjadinya rasialisme dan aristokrasi, sebab yang
terjadi adalah ketika Agama memihak salah satu golongan, hukum Marxis yang
mengatakan Agama adalah candu bagi masyarakat bisa dibenarkan. Proses
masyarakat urban, mengalir seperti air yang bermula dari sumber mata air hingga
kelaut, dan alirannya menyiratkan sportifitas (seperti dibilang Nietzsche).
Sportif karena sifatnya yang sangat plastis, dan
susah-gampang bisa menguasainya: tingkah laku air tergantung siapa yang
mengalirkannya dan bagaimana mengalirkannya.
Dengan demikian manusia harus mampu mempelajari sifat-sifat
air dan tingkah lakunya. Manusia dalam tubuhnya memiliki 80-90 persen air,
menggambarkan betapa bersatunya ia dengan tubuh manusia, sifatnya, tingkah
lakunya tak pelak juga tergambar dalam pola pikir dan tingkah laku manusia.
Ilustrasi “masyarakat-air”,
yang mendamba urbanitas adalah masyarakat dengan daya mobilitas tinggi. Adalah
Al Ghazali yang telah berhasil dengan cermat mendesain gerakan masyarakat Urban
yang alirannya dimulai dari puncak gunung hingga ke pesisir.
Bagi Al Ghazali puncak Gunung tak lagi dikatakan sebagai
daerah terbelakang, --- seperti dikatakan Hegel--- baginya puncak gunung adalah
simbol kekayaan spiritual individu masyarakat, ini diilustrasikan dengan bagaimana
para nabi mendapatkan wahyu di sana.
Simbol ketinggian adalah tempat pencapaian ruh, sementara
aliran airnya, adalah bentuk dari pada etika, liukannya mencerminkan bahwa
etika manusia berjalan disesuaikan dengan
kehendak intelektual, empiris bahkan nafsu. Sedang laut adalah bukti dari pada
pergaulan dunia, yang mencerminkan sebuah keindahan diri, tercermin dalam
relativitas etis.
Disini aliran air dari hulu ke laut digambarkan sebagai
seorang mistikus yang memiliki desain: Religius, etika dan estetika. Kekuatan
diri yang sublim adalah bentuk estetika pergaulan, yang mendamba kebahagian dan
“kebebasan” sosial.
V
Indonesia, sebagai salah satu wilayah maritim terbesar
dunia, mestinya memiliki inpirasi religius, yang menciptakan tingkah laku
seperti “air”, dimana kekuatan hadir bukan dalam bentuk kekerasan berupa
kerusakan di muka bumi, akan tetapi dalam bentuk estetiknya: mencermati
pergaulan dunia sebagai sebuah hikmah yang besar dari Allah, dimanfaatkan untuk
memperbaiki diri, dan senantiasa memancang pengaruh kepada pergaulan, ketika
jati diri dan kekuatannya sudah eksis.
Bencana Banjir, tsunami, dan belakangan Gelombang pasang
dibeberapa daerah pantai, adalah sebuah pesan yang datang dari Allah melalui
bahasa air, ketika manusia sudah lama melupakannya.
****
CATATAN
KAKI
1.
Filsafat Sejarah, GWF Hegel, Pustaka
pelajar. Hegel menganalogikan, masyarakat Daratan Tinggi dengan ras Negro, yang
tak memiliki peradaban seperti yang dimiliki ras Eropa, dengan demikian
menurutnya perbudakan yang dilakukan ras kulit putih terhadap ras Negro, bukan
murni kehendak ras Eropa, karena didorong juga dengan prilaku biadab raja
Negro, yang menjual penduduknya kepada orang Eropa. Pernyataan rasialis Hegel
tak berhenti disitu saja, ia juga mengatakan bahwa prilaku ras Negro yang selalu
mempraktekan kekerasan dalam melanggengkan kekuasaannya, adalah sebuah fenomena
atas kondisi mereka yang mendiami daratan tinggi. Pernyataan ini mungkin saja
merupakan bekal teori Egalitarian Marx: ketika konsep Ketuhanan Hegel bernada
ketidak-adilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar