Sabtu, 12 Januari 2013

Esai


Masyarakat Air
Oleh: M Taufan Musonip


I
“Tenang dasar lautku: siapa bisa menduga bahwa ia menyembunyikan moster-moster sportif”(Also Sprach Zarathustra, F. Nietzsche).

Seperti kita ketahui air sangat bermanfaat bagi kehidupan kita, ia menyuburkan tanah hingga tetanaman tumbuh sebagai pemuas kebutuhan mahluk hidup dan menjadi salah satu penyebab hidupnya rantai ekosistem.
Arnold Toynbee menyebut sumber air dan alirannya (sungai), adalah merupakan latar berlangsungnya drama sejarah, dimana berbagai peradaban mulai tercipta. Peradaban Mesir lahir di dekat sungai Nil, begitupula dengan peradaban Sumero-Akadia (Armenia?) besar karena aliran sungai Tigris dan Euphrat, sementara Cina oleh sungai Kuning…. Aliran Air (sungai) adalah media transportasi memadai bagi umat manusia, agar ekspansi kekuasaannya centang perenang dapat mengekploitasi alam lebih jauh.
Starry Night Karya Van Gogh
Kerajaan Fir’aun dapat mengusai lembah Nil yang dulu dikungkung oleh mitologi Dewa Isis, karena menguasai aliran sungai Nil, dan menambah cerita legenda tentang kemenangan dewa Osiris atas Isis. Dan kehancurannya, tak pelak adalah melibatkan “kekuasaan” air, orang-orang Libya menyerang melalui laut merah, sementara Fir’aun Luluh lantak tenggelam oleh kesaktian Musa AS, ketika melakukan urbanisasi besar-besaran bangsa Israel menuju Palestina.
Orang-orang Eleatik Yunani meyakini mitos bahwa Air adalah simbol kekuasaan bijak sang Ayah (langit) terhadap Ibu (Alam), karena diakui sebagai energi lahirnya mahluk hidup yang produktif. Di China kita mengenal Bodhisatwa (ayah) atas Kwan-Im (Ibu) dalam ajaran Mahayana yang terakulturasi, sementara orang Yunani menyembah Zeus dan Elea.
Dalam buku Filsafat Sejarah Karya GWF Hegel, air laut (pesisir pantai) digambarkan sebagai puncak peradaban termaju ketimbang daratan Tinggi dan daerah berlembah, ia mengatakan: “siapa yang menguasai laut, ia akan lebih dulu maju”


II
Siapa bisa menduga ia menyembunyikan moster-moster sportif?,
Kesan ilusif-imajinatif yang disimbolkan dengan teriakan Nietzsche hari ini di Indonesia dalam pikiran penulis, bukan tidak relevan dan sangat nyata. Di Indonesia Air sudah tidak lagi mampu bersahabat dengan penggunanya, kini ia bagai monster menakutkan, bagi para petani, dan orang kota yang tinggal di daerah “kumuh”, mereka sering mengeluh oleh kehebatan amarah air terhadap padi dan rumah-rumah yang ditenggelamkannya.
Dilaut para Nelayan merugi hingga ratusan juta karena bencana gelombang pasang mengancam mereka untuk tidak melaut. Padahal itulah satu-satunya mata pencaharian yang diandalkan para nelayan untuk menghidupi keluarganya.
Ada apa dengan Air?,
III
Hegel membagi letak geografis yang ia yakini sangat mempengaruhi etape sejarah kemajuan peradaban sebagai: 1. dataran tinggi  2. dataran berlembah dan 3. dataran pantai. Dataran tinggi menenurutnya, sebuah tempat tinggal masyarakat manusia yang paling belakangan memiliki kesadaran akan kemajuan daerahnya, Hegel cenderung menamakan mereka sebagai masyarakat Barbar, masyarakat yang mengorientasikan kekuasaan dengan kekerasan. Sebab, katanya sumber pemuas kebutuhannya bersumber kepada peternakan, hingga memiliki insting membunuh lebih besar1.
Dataran berlembah, Masyarakat daerah ini mengandalkan, pertanian dan perkebunan sebagai pemuas kebutuhannya. Dr Kuntowijoyo, menyebut kebudayaan Agraris sebagai cikal bakal kebudayaan Aristokrasi (priyayi), Di China jaman dinasti Liu Pyang, pengaruh konfusian menghilangkan budaya ini, akan tetapi pada akhirnya masyarakat egaliter yang lulus seleksi terdaftar sebagai staff pegawai pemerintah, menguasai tanah lebih banyak ketimbang para petani sendiri --- karena penghasilan menjadi staff pemerintah lebih besar ketimbang menjadi petani --- dan mereka membelanjakan sebagian besar gajinya untuk ekspansi penguasaan tanah.
Dan terakhir adalah Dataran pantai, yang memiliki mata pencaharian berburu ikan (nelayan) dan berdagang. Orang-orang pantai menyebut laut sebagai media transportasi perdagangan, dan pergaulan Dunia, karena dengan laut mereka mampu melewati keterbatasan daratannya, dan menembus laut demi mengenal daerah lainnya.
Anehnya Indonesia, yang dikenal sebagai wilayah maritim terbesar, tidak memiliki budaya pantai, dan cenderung lebih dekat dengan budaya pertanian, bahkan alih-alih pegunungan, fenomena illegal-logging, pengrusakan terumbu karang, penguasaan lahan tanah yang tidak manusiawi, adalah perilaku orang-orang pegunungan.

IV
 Pembagian wilayah yang mempengaruhi maju tidaknya peradaban, yang dikupas Hegel, seakan tak relevan dengan kehidupan sekarang, karena komitmenya terhadap penegakan Hak Azasi Manusia dan persoalan rasialisme. Masyarakat modern adalah sebuah masyarakat yang memiliki kehendak perubahan: sebuah proses perjalanan masyarakat pra-urban menuju urbanitas. Masyarakat pra Urban menggambarkan bahwa nilai religius tak mampu “mengada” menghadapi tantangan zaman. Religiusitas yang berlawanan dengan realitas adalah syarat terjadinya rasialisme dan aristokrasi, sebab yang terjadi adalah ketika Agama memihak salah satu golongan, hukum Marxis yang mengatakan Agama adalah candu bagi masyarakat bisa dibenarkan. Proses masyarakat urban, mengalir seperti air yang bermula dari sumber mata air hingga kelaut, dan alirannya menyiratkan sportifitas (seperti dibilang Nietzsche).
Sportif karena sifatnya yang sangat plastis, dan susah-gampang bisa menguasainya: tingkah laku air tergantung siapa yang mengalirkannya dan bagaimana mengalirkannya.
Dengan demikian manusia harus mampu mempelajari sifat-sifat air dan tingkah lakunya. Manusia dalam tubuhnya memiliki 80-90 persen air, menggambarkan betapa bersatunya ia dengan tubuh manusia, sifatnya, tingkah lakunya tak pelak juga tergambar dalam pola pikir dan tingkah laku manusia.
Ilustrasi “masyarakat-air”, yang mendamba urbanitas adalah masyarakat dengan daya mobilitas tinggi. Adalah Al Ghazali yang telah berhasil dengan cermat mendesain gerakan masyarakat Urban yang alirannya dimulai dari puncak gunung hingga ke pesisir.
Bagi Al Ghazali puncak Gunung tak lagi dikatakan sebagai daerah terbelakang, --- seperti dikatakan Hegel--- baginya puncak gunung adalah simbol kekayaan spiritual individu masyarakat, ini diilustrasikan dengan bagaimana para nabi mendapatkan wahyu di sana.
Simbol ketinggian adalah tempat pencapaian ruh, sementara aliran airnya, adalah bentuk dari pada etika, liukannya mencerminkan bahwa etika  manusia berjalan disesuaikan dengan kehendak intelektual, empiris bahkan nafsu. Sedang laut adalah bukti dari pada pergaulan dunia, yang mencerminkan sebuah keindahan diri, tercermin dalam relativitas etis.
Disini aliran air dari hulu ke laut digambarkan sebagai seorang mistikus yang memiliki desain: Religius, etika dan estetika. Kekuatan diri yang sublim adalah bentuk estetika pergaulan, yang mendamba kebahagian dan “kebebasan” sosial.
V
Indonesia, sebagai salah satu wilayah maritim terbesar dunia, mestinya memiliki inpirasi religius, yang menciptakan tingkah laku seperti “air”, dimana kekuatan hadir bukan dalam bentuk kekerasan berupa kerusakan di muka bumi, akan tetapi dalam bentuk estetiknya: mencermati pergaulan dunia sebagai sebuah hikmah yang besar dari Allah, dimanfaatkan untuk memperbaiki diri, dan senantiasa memancang pengaruh kepada pergaulan, ketika jati diri dan kekuatannya sudah eksis.
Bencana Banjir, tsunami, dan belakangan Gelombang pasang dibeberapa daerah pantai, adalah sebuah pesan yang datang dari Allah melalui bahasa air, ketika manusia sudah lama melupakannya.
****
CATATAN KAKI
1.                     Filsafat Sejarah, GWF Hegel, Pustaka pelajar. Hegel menganalogikan, masyarakat Daratan Tinggi dengan ras Negro, yang tak memiliki peradaban seperti yang dimiliki ras Eropa, dengan demikian menurutnya perbudakan yang dilakukan ras kulit putih terhadap ras Negro, bukan murni kehendak ras Eropa, karena didorong juga dengan prilaku biadab raja Negro, yang menjual penduduknya kepada orang Eropa. Pernyataan rasialis Hegel tak berhenti disitu saja, ia juga mengatakan bahwa prilaku ras Negro yang selalu mempraktekan kekerasan dalam melanggengkan kekuasaannya, adalah sebuah fenomena atas kondisi mereka yang mendiami daratan tinggi. Pernyataan ini mungkin saja merupakan bekal teori Egalitarian Marx: ketika konsep Ketuhanan Hegel bernada ketidak-adilan.

Bandung, 20 Mei 2007 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar