Sabtu, 12 Januari 2013

Esai


Seni dalam Tiga Dimensi Epistemologi
Oleh: M Taufan Musonip

gis.com.qa
“Seni adalah sebuah tanda eksistensi manusia. Maka bila manusia tak dapat memahami seni, ia tak memiliki jiwa kemanusiaanya, cenderung mendekati jiwa kebinatangannya”.  Kutipan tersebut adalah sintesa yang terkandung dalam sebuah cerpen berjudul Zingiber (HU Pikiran Rakyat, 3 mei 2008) , sebuah cerpen yang menggambarkan seni sebagai simbol yang mengandung makna yang dapat ditelisik dan diciptakan oleh penikmat atau pelaku seni.
Jika sintesa tetang seni sedemikian mempengaruhi kejiwaan manusia, maka seni merupakan satu media yang tak bisa direndahkan di antara sub bidang keilmuan lainnya. Oleh karena seni adalah jiwa manusia, maka eksistensinya dapat memberi penerang eksistensi sub bidang keilmuan lainnya. Mungkin kita sering mendengar ungkapan-ungkapan yang menggandeng seni dengan aktifitas keilmuan lainnya seperti seni perpolitikan, seni desain dan teknologi, hingga seni beragama.
Jika seni sebagai objek yang menjelaskan eksistensi kemanusiaan, maka paradigma kita melihat seni perlu dikaji ulang. Ini merupakan satu tesis  yang menyatakan seni dapat bergeser tergantung siapa yang mengerjakan objek seni, artinya apakah eksistensi seni itu hanya berakhir pada kedirian si pelaku seni atau dapat menembus batas eksistensi dan kedirian pelaku seni. Jika seni hanya berakhir pada kedirian si pelaku, maaf, maka seni baru bersifat memaknai sifat kebinatangan si pelaku. Seni sering dibatasi oleh sifat-sifat egosentrik si pelaku, karena jika tidak, maka hilanglah sifat ke-adiluhungan suatu karya seni, seni sering hanya dapat dibaca oleh kalangan yang mengerti seni itu sendiri.
Identifikasi manusia yang tak dapat mengerti arti sebuah seni yang dibuat si pelaku, adalah dampak kungkungan egosentris terhadap karya seni yang dibuat. Dalam hal ini muncullah dikotomi seni rakyat dan seni adiluhung. Seni yang dapat dimengerti oleh banyak orang dan seni yang hanya dimengerti oleh beberapa orang.
Namun jangan dulu miris terhadap kata sifat kebinatangan yang tertuang dalam sebuah karya seni, karena pada dasarnya seni adalah sifat duniawi. Sebuah makna yang disebut Nietzsche sebagai semangat Apolonian, yaitu upaya penggambaran dunia yang absurd, immoral, Nafsu hingga dendam. Banyak karya seni yang memuat hal ini, seperti bangunan piramida di mesir, taman gantung di Mesopotamia dan banyak lagi yang gambarannya hanya dapat dimengerti oleh beberapa orang yang mengerti esensi seni sekaligus sebagai sebuah ciri eksistensi kebesaran satu komunitas manusia. Bukankah manusia itu memendam sifat kebinatangan?


Kalau kita melihat seni sebagai sebuah objek yang dapat diteliti maknanya, maka ia sesungguhnya berdiri dalam dua tesis yang memaknai eksistensi manusia itu sendiri, saya melakukannya melalui tesis yang dirunut Muthahhari dan Nietzsche tentang insan. apa bedanya manusia dan Hewan?
Pertanyaan itu pastilah berujung pada subtansi tentang tujuan. Nietzsche bahkan menyebut turunnya harkat manusia menjadi cenderung binatang jika ia tak dapat merealisasikan tujuannya. Sementara Muthahhari, melampaui pengertian Nietzsche bahwa tujuan itu bertingkat-tingkat, hewan hanya memiliki tujuan yang di batasi oleh batas-batas naluriah, karena hewan hanya memiliki utilitas inderawi dalam menyikapi kehidupannya.
Oleh karenanya mereka sepakat, bahwa bila manusia ingin menempuh tujuan manusiawinya maka metodologi yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan utilitas yang melampaui kesadaran empirik dalam menciptakan kebutuhannya, ia adalah akal yang terdiferensiasi dalam kehendak logosentrik dan rasional. Sebuah kehendak yang digambarkan sebagai semangat dionisian. Artinya jika apolinian menggambarkan kengerian hidup yang tergambar dalam keindahan dunia, maka Dionisian adalah semangat ego dalam menyikapi gambaran kehidupan tersebut. Disini eksistensi seni masih  menggambarkan manusia sebagai hewan rasional.
Bagaimana seni dapat mencitrakan si pelaku sebagai manusia sejati? Adalah ketika seni dapat sublim dalam hiruk pikuk manusia, berarti seni sudah diwarnai oleh kehendak intuitif.
Kehendak intuitif itu mencerminkan semangat nihilisme seperti pendapat Nietzsche dan dimensi esoterik menurut para sufi. Sebuah semangat yang sebetulnya mengandung makna ketaktergantungan manusia terhadap apapun namun akhirnya harus dapat sublim dimata khalayak.
Nihilisme dan dimensi esoterik ---meskipun tak percis sama namun mengandung makna yang analog--- adalah kegiatan berkesenian yang tercipta berdasarkan keinginan melakukan perubahan, meskipun harus sublim, tak berarti seni hadir sebagai tuntutan apapun (masyarakat, pasar), namun merupakan sebuah karya yang melambung menembus zaman kini, sebagai solusi kehidupan bermasyarakat, oleh karenanya dapat dimengerti ---Apakah dengan ini kita dapat merubah paradigma pemikiran Nietzsche yang awalnya kita nisbatkan sebagai tak bertuhan, menjadi bertuhan?. Tentunya tindakan ini radikal. Namun jika kita melihat paradigma beragama sebagai sebuah tindakan kehidupan yang tak tergantung pada apapun maka sebutan Nietzsche ateis dapat kita pertimbangkan lagi.
Jika Seni adalah ending dari kegiatan kontemplasi si pelaku seni, maka semangat Nihilisme dan esoterik adalah kondisi dekadensi (keruntuhan) nilai-nilai duniawi menuju kekosongan, bumi yang merupakan eksistensi wujud menjadi terbalik: bumi dan raga manusia serta apa yang dapat kita lihat menjadi wujud non eksitensi, sedang dunia ghaib atau apa-apa yang tak dapat kita lihat,  disebut sebagai eksistensi, nah jika pengalaman intuitif ini terjadi, maka seni akan eksis bukan hanya melalui tindakan empirik dan rasionalitas tapi terlebih suprasensorik. Dengan demikian seni merupakan wujud yang teremanasi oleh unsur ketuhanan, yang ditankap oleh indera supra sensorik pada saat melakukan kegiatan kontemplasi.
Seperti halnya pemikiran Netzsche tentang Nihilisme, para sufi pun sependapat bahwa utilitas epistemologi tersebut tak dapat menjadi wahana ketergantungan manusia. Rasionalitas, empirik, dan intuisi adalah instrumen-instrumen yang hanya dapat mengantarkan manusia mengetahui alam hakikat (keghaiban), melalui metodologi-metodologi yang sekali lagi dapat menjadikan manusia menempati kesempurnaanya, bahkan para sufi menyebutnya sebagai manusia yang dapat “manunggaling kaula gusti” (bisakah di analogikan dengan ubermencsh-nya Nietzsche?). Bukankah Ketergantungan itu hanya pada Allah?,
Oleh karena itu seni dapat dijadikan simbol dalam hal memuat kebesaran Allah, baik secara transedental, maupun imanen. Seni merupakan media kebesaran manusia sebagai khalifatullah disamping merupakan pembuktian eksistensi Tuhan dalam hal menyampaikan kebenaran-Nya. Seni harus dapat dimengerti melalui aktifitas raga dan intuisi, untuk mengakui ketergantungan kita kepada-Nya. Pertanyaannya terakhir adalah mengapa seni terkadang sulit dipahami?, karena para pelaku seni sekarang kurang melakukan sosialisasi bagaimana memahami karya seni. Sehingga para penikmat seni hanya memandang seni dalam satu dimensi saja, rasionalisme semata, empirik semata, intuisi semata. Seni rakyat bukan berarti seni yang hanya dapat dipahami oleh satu dimensi epistemologi, tetapi merupakan sebuah karya seni yang dapat memberi inspirasi perubahan bagaimana pemahaman epistemologi dapat dimengerti. Seperti halnya kita dapat membaca Cerpen Sunda karya Ajip Rosidi, berjudul Dorma Ngabasmi Komunismeu (Dorna Membasmi Komunisme), dan cerpen-cerpen karya Godi Suwarna, yang menceritakan bagaimana imaji intelektual dapat mewarnai cerita-cerita legenda (lokal) daerah, dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam sekalipun (seperti cerpennya: Kalangkang Budah/ Bayangan buih: sebuah karya yang menginspirasi bagaimana legenda Oddipus memiliki kemiripan jalan cerita dengan legenda Sangkuriang, keduanya sama-sama tertarik oleh kecantikan sang ibu).

Bandung, 3 Mei 2008.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar