Membaca Buku A Teeuw dan Sedikit tentang Kenyataan yang Terjadi pada Perkembangan
Kesusastraan di Indonesia
Oleh: M Taufan Musonip
Sejatinya bukubuku
karya A Teeuw (w. 2012) perlu mendapatkan perhatian publik sastra terkini,
mengingat karyanya begitu berjasa bagi eksistensi dan perkembangan Sastra
Indonesia. Karangan besarnya memautkan judul-judul seperti Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Modern (1952), Tergantung pada Kata (1980), Khazanah Sastra Indonesia (1982) dll.
Semua judul-judul tersebut hingga kini sulit di dapatkan, karena tak pernah di
cetak ulang.
Seperti
halnya buku Indonesia antara Kelisanan
dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994) yang secara tak sengaja saya
dapatkan pada sebuah perpustakaan kecil di tempat saya bermukim sebuah kota industri
dengan berbagai kesulitan menjangkau perpustakaan di mana jumlah buku
kesusastraan di dalamnya masih cukup memprihatinkan. Kehadirannya hingga
sekarang yang telah berusia lebih dari dua windu membuat halaman-halaman kertasnya
nampak kekuning-kuningan, oleh karenanya mata saya kurang nyaman membacanya. Meski
susah payah dengan ketidaknyamanan itu, perlahan-lahan saya dapat menikmati
isinya.
Buku itu
membuka kembali kesadaran bangsa Indonesia pentingnya budaya baca. Namun
selancar Teeuw terhadap budaya baca masyarakat Indonesia naik pada persoalan
perkembangan sastra Indonesia, dengannya ia membicarakan karyakarya tertulis
yang cukup mendapat perhatian pembaca Indonesia.
Penyadur dan Pengarang
Hal pertama
yang ingin saya kemukakan di sini adalah ulasan dari kritikus berdarah Belanda
ini atas sebuah novel saduran karya Merari Siregar berjudul Si Jamin dan Si Johan yang dalam halaman
pembukanya sengaja ditulis oleh pengarangnya: Dikarangkan meniroe tjerita Belanda. novel itu merujuk pada sebuah
cerita pendek yang ditulis pengarang Belanda Justus van Maurik dalam bunga
rampai cerita pendek berjudul Uit Het
Volk (Dari Kalangan Rakyat), yang di dalamnya terdapat cerpen Jan Smees sebagai bahan saduran Merari
Siregar.
Judul bab
ini (Dari
Jan Smees ke Si Jamin dan Si Johan) diberi keterangan oleh Teeuw sebagai Sebuah Kasus Transformasi Kesastraan,
disebabkan saduran tersebut benar-benar disesuaikan dengan kondisi aktual,
proses penyesuaian, dan khazanah lain estetika menyadur oleh Merari Siregar.
Sehingga dapat dirasakan plotnya saja yang sinonim dengan karya aslinya, isi,
penokohan, setting dan suasananya benarbenar ditulis dalam paradigma estetika
sang penyadur. Meski disampaikan secara implisit oleh A Teeuw adanya kesan
kolot saduran itu dengan secara terbuka menyampaikan pesanpesan moral yang
kemudian terbukti buku tersebut sebagai upaya pemerintah Belanda melalui karya
sastra dalam zaman politik etis, mengupayakan pencegahan masyarakat terhadap
penyalahgunaan minuman keras dan candu, dengan menyertakan tulisan lain tentang
itu berjudul Penghibur Hati oleh J
Paimin.
Bila
merujuk pada bab lain tentang perbandingan Sastra Abad Pertengahan Eropa dengan
Kesusastraan Indonesia pada buku itu, pengakuan Merari Siregar atas penyaduran atau
peniruan yang dikatakan Teeuw transformatif itu merupakan ciri modernitas
sastra Indonesia.
Perbandingan
sastra abad pertengahan Eropa dengan kesusastraan Indonesia, sebenarnya masih
bersifat awal, jika tahun abad pertengahan disebutkan Teeuw dikisaran tahun
500-1500 M, mengapa dia tidak menyebutkan kisaran tahun berapa sastra Indonesia
yang karakteristiknya memiliki persamaan dengan sastra abad pertengahan. Teeuw
tidak melakukan perbandingan karya sastra abad pertengahan dengan karya sastra
Indonesia diluar abad pertengahan. Katakanlah misalnya karya-karya Hamka atau
lebih jauh lagi misalnya dengan Novel Anak
Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata, yang memiliki kemiripan dengan
buku atau kitab yang telah ada sebelumnya. Ia hanya mengaitkannya dengan kitab
sastra klasik Nusantara seperti Serat
Centini.
Hanya saja
argumen Teeuw lebih merujuk pada sifat dan karakteristiknya, yang mengacu pada
persoalan peralihan tradisi lisan menuju tradisi tulis. Menurutnya pada karya
sastra abad pertengahan Eropa, belum memiliki garis tegas antara pengarang
dengan penyadur. Pengarang dalam abad tersebut masih merupakan pencatat dari
pelantun tembang ataupun ajaran yang masih disampaikan secara lisan. Lebih jauh
lagi Teeuw menyampaikan bahwa dalam tradisi tulis abad pertengahan memiliki cara
pandang mimetik dalam aktifitas penciptaan karya. oleh karenanya, yang orisinal
itu non sens, kecuali upaya mencari
varianvarian cara penyampaian dari apa yang telah dicetus oleh para leluhur.
Persoalan apa yang orisinal dan autentik berhadapan dengan sikap mimetik abad
pertengahan Eropa seolah menemu kesulitan.
Teeuw
memang tidak melakukan itu, tetapi tengah mencemaskan tradisi kesusastraan
Indonesia yang masih berpusat pada dunia lisan (seperti kondisi sastra Abad
Pertengahan Eropa). Memang demikian adanya, masyarakat Indonesia masih
memusatkan kajian Sastranya pada seminar, lokakarya, komunitas dan panggung
pertunjukan daripada misalnya menumbuhkan minat pada perpustakaan yang lebih
bersifat soliter, pada kenyataannya kondisi perpustakaan di Indonesia masih
memprihatinkan, bagi kepentingan intelektual Indonesia, kita masih menempatkan
perpustakaan sebagai garis kedua visi pembangunan.
Pencinta Kesunyian
Di sinilah
kemudian oleh A Teeuw di gulirkan persoalan perkembangan tonggak Sastra
Indonesia yang masih menyesuaikan dengan pembaca Indonesia dalam karakter
lisani. Disebutkannya karya-karya Linus Suryadi AG, Rendra, dan Sutardji
Calzoum Bachri, gemilang karena pentas mereka, di samping secara teks rembesan
tradisi lisan itu seolah mengemuka. Pada Pengakuan
Pariemnya Linus, yang begitu
prosaik dan liris, karya tersebut lebih mudah dipahami. Begitu pun dengan
sajak-sajak pamflet Rendra, cairnya metafora dan simbol yang diciptakannya
sedemikian dapat dimengerti sebagai protes sosial. Sementara bagi puisi-puisi
Sutardji, meski nampak begitu aksiden, tampil sebagai mantra yang begitu
membius pendengarnya. Ketiga tonggak kepenyairan Indonesia tersebut, memang
menyedot banyak perhatian berbagai kalangan di Indonesia dibuktikan dengan
kuantifikasi hadirin yang cukup mencengangkan.
Meski
begitu saya melihat bahwa intisari buku tersebut terletak pada catatan penutup
(Dua Dunia) yang menegaskan karakter penulis kritik ini sebagai pencinta
kesunyian, sesuai yang diajarkan oleh teladan gurunya sendiri PJ Zoetmulder,
yang mencintai ruang kerja dan perpustakaannya dari pada hiruk-pikuk seminar
atau komunitas. Oleh karenanya saya pikir, kritik A Teeuw pada beberapa karya
dalam khazanah sastra Indonesia cukup orisinal karena berpaku pada teks
daripada riwayat hidup tokoh yang menarik minat kritikus menelaahnya. Sebut
saja misalnya telaah kekaryaan Hamzah Fansuri meskipun dia memaparkan
sedikit biografi Fansuri, namun persoalan politik Fansuri di Kesultanan Aceh
dan pemahaman tasawufnya tidak begitu menjadi titik perhatiannya yang begitu
tekstual, hingga berani membuat statement yang cukup mengejutkan sebagai
“pemula puisi Indonesia Modern” berdasarkan sikap individualisme Hamzah
terhadap pola penulisan Rubaiyat Persia (Umar Khayyam) dengan menyempalnya
melalui transformasi rima dari pola abab pada pola a-a-a-a dan
individualitas Hamzah Fansuri dalam ekstatisme sebagaimana ajaran tasawufnya,
yang menuliskan namanya pada tiap akhir puisinya.
Hamzah 'uzlat di dalam tubuh
Romanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh
(bait 13
Syair XXIII Hamzah Fansuri yang dikutip Teeuw dari 32 syair Hamzah Fansuri yang
diterbitkan oleh Profesor Drewes)
Statemen
Teeuw tersebut cukup mengejutkan karena kenyataannya kita hanya mengenal zaman
awal puisi modern Indonesia sejak angkatan 1945, ketika Chairil Anwar
membongkar tradisi perpuisian melayu.
Karyakarya
lain yang diangkat Teeuw perlu disebutkan pula diantaranya, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari,
Burungburung Manyar oleh YB
Mangunwijaya, hingga Cantingnya
Arswendo Atmowiloto yang menelaah adanya anasiranasir kejawaan dan kepriayian
di dalamnya, dikaitkan dengan modernitas Indonesia. Di sini saya tidak
mendapatkan keterhubungan secara eksplisit antara pembicaraan karyakarya
tersebut dengan kondisi kelisanan masyarakat Indonesia, hanya saja Teeuw, merujuk
sebuah buku yang ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo, A Sudewo dan Suhardjo
Hatmosuprobo dalam Perkembangan Peradaban
Priayi, melalui pembahasan secara mendalam atas Canting. Di sini saya tidak akan membahas isi dari pembahasan buku
atas Canting dalam paparan Teuuw.
Saya justru hanya ingin membicarakan posisi Teeuw atas buku itu. Pembicaraan
Teeuw atas Perkembangan Peradaban Priyayi
merupakan bukti dirinya benar merupakan seorang pembaca dari pada penggiat
komunitas, namun di satu sisi dia harus melepaskan dirinya dari jajahan ilmu
pengetahuan dan karya yang dikritiknya, semacam katarsis, untuk berani
mengatakan bahwa esai merupakan puisi dalam bentuk nonfiksinya, supaya dapat
menghasilkan pembacaan multiresepsi, beragam tafsir dan bersifat memecah. Tapi
di satu sisi, nonfiksi dalam tubuh karya
kritik merupakan sebuah tempat atau sumber referensial sebagai rujukan sebelum
membaca sebuah karya sastra. Bagi Teeuw bukan pengarangnya yang penting, tapi
karya kritiknya, supaya tidak menciptakan taklid, tapi di satu sisi, dia
membutuhkan pembaca memahami pembacaan pengarang kritik, supaya menjadi salah
satu perspektif atau rujukan sebelum pembaca mendekati karya yang dibahas dalam
karya kritik. Memang agak membingungkan, sebab Teeuw cenderung memisahkan
persoalan lisan dan tekstual dalam Sastra.
Refleksi
Buku A
Teeuw ini, saya pikir perlu dibaca ulang di luar urgensi apakah buku ini
layak dicetak ulang atau tidak dan
diperkenalkan kepada para aktifis sastra Indonesia mutakhir, urgensinya adalah
bahwa terciptanya kondisi secondary
orality seperti dipaparkan Teeuw sendiri merambah bukan saja pada budaya audiovisual, tetapi dunia maya, yang
telah banyak dikhawatirkan para pakar sastra Indonesia, yaitu karyakarya yang
bersitampil dalam dunia maya selain belum mampu mencapai kedalaman: apakah
karyakarya tersebut muncul sebagai bukti kekayaan membaca atau sekedar
menuliskan apa yang sedang dirasakan penciptanya. Atau lebih luas lagi apakah
karya sastra Indonesia mutakhir masih dirembesi budaya lisan, yang miskin
membaca, atau benarbenar merupakan harmoni antara pengetahuan literal dan
berbagai pengalamannya. Karyakarya kita pada kenyataannya muncul tanpa
diimbangi dengan karyakarya kritik, oleh karenanya tak adanya pembacaan atas
karya kritik membuat karya yang diciptakan menjadi semakin lemah. Lalu
bagaimana karyakarya kritik kita selama ini? Karya kritik bagaimana pun akan
memiliki kemiripan dengan genre lainnya (puisi-prosa fiksi) dalam sastra,
sifatnya yang soliter lebih muncul dari hasil pembacaan berbagai ilmu, dan pemahaman
subjektifnya. Maka untuk mempertajam pemahaman keilmuan dan kekuatan reflektif
subjektifnya atas karya peran komunitas dalam kritik dan aktifitas kesastraan
secara lebih luas perlu dipikirkan ulang.
Selanjutnya
dapat ditanyakan, bagaimana sebenarnya posisi komunitas itu, apakah dia
merupakan pusat tumbuh kembangnya karya sastra, atau sekedar shelter menuju pusat sesungguhnya yaitu
ruang kesunyian di mana kita leluasa dapat menulis dan membaca banyak karya.
Kenyataannya di Indonesia, komunitas masih merupakan barometer perkembangan
Sastra Indonesia, banyak tokohtokoh muncul dari aktifitas pemakmuran
komunitas, dan masih nyata pula tragisnya perpustakaan kita, yang sepi
pengunjung dan tidak adanya pertumbuhan memadai dari perpustakaan itu sendiri
untuk menjaring minat baca. Sementara kampuskampus masih sulit dimasuki,
karena serangan kapitalisasi yang memungkinkan banyak dari kita tak mampu
menjadi akademisi, faktanya paling ironis adalah karyakarya yang muncul dari
kampus masih kalah bagus dengan karyakarya penulis autodidak.
Jadi
paparan A Teeuw masih memerlukan kritik, bahwa pusat perkembangan kesusastraan
Indonesia memang masih bertumpu pada komunitas, bukan saja sebagai aktualisasi
sesungguhnya, tetapi merupakan wadah, kenyataannya karya seseorang yang muncul
masih merupakan dalam istilah Whitehead peristiwa sekejap atau ephocal occusion untuk menjangkau sisi
arkeologis sebuah karya, bukan berdasarkan karya itu sendiri secara tekstual
sebagaimana ungkapan Foucault tetapi pengaruhnya terhadap kebudayaan Indonesia
yang intinya adalah prilaku masyarakatnya, sejauhmana sebuah karya dapat
memberi pencerahan bagi centang perenang demoralisasi yang sedang dialami
bangsa ini. Ataukah moralitas sudah absen dalam gerak aktifitas kesusatraan
kita sekarang ini?
***
Cikarang,
18 September 2012
Note: Esai ini mengalami editing kembali dari versi aslinya di www.sastradigital.com/esai.htm, Ed Januari 2013, setelah sadar ada beberapa paragraf yang kurang konsisten, terlalu skeptik, dan kontradiksi. Semua merupakan keteledoran penulis, dan penyakit kepuasan yang menyesatkan... Tetapi alhamdulillah sudah di edit, dan mungkin akan terus diedit. karena target penulis bukan koran, majalah atau media online, target penulis adalah membuat buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar