Minggu, 06 Januari 2013

Esai

Membaca Buku A Teeuw dan Sedikit tentang Kenyataan yang Terjadi pada Perkembangan Kesusastraan di Indonesia
Oleh: M Taufan Musonip

Sejatinya buku­buku karya A Teeuw (w. 2012) perlu mendapatkan perhatian publik sastra terkini, mengingat karyanya begitu berjasa bagi eksistensi dan perkembangan Sastra Indonesia. Karangan besarnya memautkan judul­-judul seperti Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Modern (1952), Tergantung pada Kata (1980), Khazanah Sastra Indonesia (1982) dll. Semua judul­-judul tersebut hingga kini sulit di dapatkan, karena tak pernah di cetak ulang.

Seperti halnya buku Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (Pustaka Jaya, 1994) yang secara tak sengaja saya dapatkan pada sebuah perpustakaan kecil di tempat saya bermukim ­­­sebuah kota industri dengan berbagai kesulitan menjangkau perpustakaan di mana jumlah buku kesusastraan di dalamnya masih cukup memprihatinkan. Kehadirannya hingga sekarang yang telah berusia lebih dari dua windu membuat halaman­-halaman kertasnya nampak kekuning-­kuningan, oleh karenanya mata saya kurang nyaman membacanya. Meski susah payah dengan ketidaknyamanan itu, perlahan­-lahan saya dapat menikmati isinya.

Buku itu membuka kembali kesadaran bangsa Indonesia pentingnya budaya baca. Namun selancar Teeuw terhadap budaya baca masyarakat Indonesia naik pada persoalan perkembangan sastra Indonesia, dengannya ia membicarakan karya­karya tertulis yang cukup mendapat perhatian pembaca Indonesia.



Penyadur dan Pengarang
Hal pertama yang ingin saya kemukakan di sini adalah ulasan dari kritikus berdarah Belanda ini atas sebuah novel saduran karya Merari Siregar berjudul Si Jamin dan Si Johan yang dalam halaman pembukanya sengaja ditulis oleh pengarangnya: Dikarangkan meniroe tjerita Belanda. novel itu merujuk pada sebuah cerita pendek yang ditulis pengarang Belanda Justus van Maurik dalam bunga rampai cerita pendek berjudul Uit Het Volk (Dari Kalangan Rakyat), yang di dalamnya terdapat cerpen Jan Smees sebagai bahan saduran Merari Siregar.

Judul bab ini  (Dari Jan Smees ke Si Jamin dan Si Johan) diberi keterangan oleh Teeuw sebagai Sebuah Kasus Transformasi Kesastraan, disebabkan saduran tersebut benar-­benar disesuaikan dengan kondisi aktual, proses penyesuaian, dan khazanah lain estetika menyadur oleh Merari Siregar. Sehingga dapat dirasakan plotnya saja yang sinonim dengan karya aslinya, isi, penokohan, setting dan suasananya benar­benar ditulis dalam paradigma estetika sang penyadur. Meski disampaikan secara implisit oleh A Teeuw adanya kesan kolot saduran itu dengan secara terbuka menyampaikan pesan­pesan moral yang kemudian terbukti buku tersebut sebagai upaya pemerintah Belanda melalui karya sastra dalam zaman politik etis, mengupayakan pencegahan masyarakat terhadap penyalahgunaan minuman keras dan candu, dengan menyertakan tulisan lain tentang itu berjudul Penghibur Hati oleh J Paimin.

Bila merujuk pada bab lain tentang perbandingan Sastra Abad Pertengahan Eropa dengan Kesusastraan Indonesia pada buku itu, pengakuan Merari Siregar atas penyaduran atau peniruan yang dikatakan Teeuw transformatif itu merupakan ciri modernitas sastra Indonesia.

Perbandingan sastra abad pertengahan Eropa dengan kesusastraan Indonesia, sebenarnya masih bersifat awal, jika tahun abad pertengahan disebutkan Teeuw dikisaran tahun 500­-1500 M, mengapa dia tidak menyebutkan kisaran tahun berapa sastra Indonesia yang karakteristiknya memiliki persamaan dengan sastra abad pertengahan. Teeuw tidak melakukan perbandingan karya sastra abad pertengahan dengan karya sastra Indonesia diluar abad pertengahan. Katakanlah misalnya karya-­karya Hamka atau lebih jauh lagi misalnya dengan Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata, yang memiliki kemiripan dengan buku atau kitab yang telah ada sebelumnya. Ia hanya mengaitkannya dengan kitab sastra klasik Nusantara seperti Serat Centini.

Hanya saja argumen Teeuw lebih merujuk pada sifat dan karakteristiknya, yang mengacu pada persoalan peralihan tradisi lisan menuju tradisi tulis. Menurutnya pada karya sastra abad pertengahan Eropa, belum memiliki garis tegas antara pengarang dengan penyadur. Pengarang dalam abad tersebut masih merupakan pencatat dari pelantun tembang ataupun ajaran yang masih disampaikan secara lisan. Lebih jauh lagi Teeuw menyampaikan bahwa dalam tradisi tulis abad pertengahan memiliki cara pandang mimetik dalam aktifitas penciptaan karya. oleh karenanya, yang orisinal itu non sens, kecuali upaya mencari varian­varian cara penyampaian dari apa yang telah dicetus oleh para leluhur. Persoalan apa yang orisinal dan autentik berhadapan dengan sikap mimetik abad pertengahan Eropa seolah menemu kesulitan.

Teeuw memang tidak melakukan itu, tetapi tengah mencemaskan tradisi kesusastraan Indonesia yang masih berpusat pada dunia lisan (seperti kondisi sastra Abad Pertengahan Eropa). Memang demikian adanya, masyarakat Indonesia masih memusatkan kajian Sastranya pada seminar, lokakarya, komunitas dan panggung pertunjukan daripada misalnya menumbuhkan minat pada perpustakaan yang lebih bersifat soliter, pada kenyataannya kondisi perpustakaan di Indonesia masih memprihatinkan, bagi kepentingan intelektual Indonesia, kita masih menempatkan perpustakaan sebagai garis kedua visi pembangunan.

Pencinta Kesunyian
Di sinilah kemudian oleh A Teeuw di gulirkan persoalan perkembangan tonggak Sastra Indonesia yang masih menyesuaikan dengan pembaca Indonesia dalam karakter lisani. Disebutkannya karya­-karya Linus Suryadi AG, Rendra, dan Sutardji Calzoum Bachri, gemilang karena pentas mereka, di samping secara teks rembesan tradisi lisan itu seolah mengemuka. Pada Pengakuan Pariem­nya  Linus, yang begitu prosaik dan liris, karya tersebut lebih mudah dipahami. Begitu pun dengan sajak-­sajak pamflet Rendra, cairnya metafora dan simbol yang diciptakannya sedemikian dapat dimengerti sebagai protes sosial. Sementara bagi puisi­-puisi Sutardji, meski nampak begitu aksiden, tampil sebagai mantra yang begitu membius pendengarnya. Ketiga tonggak kepenyairan Indonesia tersebut, memang menyedot banyak perhatian berbagai kalangan di Indonesia dibuktikan dengan kuantifikasi hadirin yang cukup mencengangkan.

Meski begitu saya melihat bahwa intisari buku tersebut terletak pada catatan penutup (Dua Dunia) yang menegaskan karakter penulis kritik ini sebagai pencinta kesunyian, sesuai yang diajarkan oleh teladan gurunya sendiri PJ Zoetmulder, yang mencintai ruang kerja dan perpustakaannya dari pada hiruk­-pikuk seminar atau komunitas. Oleh karenanya saya pikir, kritik A Teeuw pada beberapa karya dalam khazanah sastra Indonesia cukup orisinal karena berpaku pada teks daripada riwayat hidup tokoh yang menarik minat kritikus menelaahnya. Sebut saja misalnya telaah kekaryaan Hamzah Fansuri ­­­ meskipun dia memaparkan sedikit biografi Fansuri, namun persoalan politik Fansuri di Kesultanan Aceh dan pemahaman tasawufnya tidak begitu menjadi titik perhatiannya­­­ yang begitu tekstual, hingga berani membuat statement yang cukup mengejutkan sebagai “pemula puisi Indonesia Modern” berdasarkan sikap individualisme Hamzah terhadap pola penulisan Rubaiyat Persia (Umar Khayyam) dengan menyempalnya melalui transformasi rima dari pola a­b­a­b pada pola a­-a-a-­a dan individualitas Hamzah Fansuri dalam ekstatisme sebagaimana ajaran tasawufnya, yang menuliskan namanya pada tiap akhir puisinya.

Hamzah 'uzlat di dalam tubuh
Romanya habis sekalian luruh
Zahir dan batin menjadi suluh
Olehnya itu tiada bermusuh

(bait 13 Syair XXIII Hamzah Fansuri yang dikutip Teeuw dari 32 syair Hamzah Fansuri yang diterbitkan oleh Profesor Drewes)

Statemen Teeuw tersebut cukup mengejutkan karena kenyataannya kita hanya mengenal zaman awal puisi modern Indonesia sejak angkatan 1945, ketika Chairil Anwar membongkar tradisi perpuisian melayu.


Karya­karya lain yang diangkat Teeuw perlu disebutkan pula diantaranya, Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, Burung­burung Manyar oleh YB Mangunwijaya, hingga Canting­nya Arswendo Atmowiloto yang menelaah adanya anasir­anasir kejawaan dan kepriayian di dalamnya, dikaitkan dengan modernitas Indonesia. Di sini saya tidak mendapatkan keterhubungan secara eksplisit antara pembicaraan karya­karya tersebut dengan kondisi kelisanan masyarakat Indonesia, hanya saja Teeuw, merujuk sebuah buku yang ditulis sejarawan Sartono Kartodirdjo, A Sudewo dan Suhardjo Hatmosuprobo dalam Perkembangan Peradaban Priayi, melalui pembahasan secara mendalam atas Canting. Di sini saya tidak akan membahas isi dari pembahasan buku atas Canting dalam paparan Teuuw. Saya justru hanya ingin membicarakan posisi Teeuw atas buku itu. Pembicaraan Teeuw atas Perkembangan Peradaban Priyayi merupakan bukti dirinya benar merupakan seorang pembaca dari pada penggiat komunitas, namun di satu sisi dia harus melepaskan dirinya dari jajahan ilmu pengetahuan dan karya yang dikritiknya, semacam katarsis, untuk berani mengatakan bahwa esai merupakan puisi dalam bentuk nonfiksinya, supaya dapat menghasilkan pembacaan multiresepsi, beragam tafsir dan bersifat memecah. Tapi di satu sisi,  nonfiksi dalam tubuh karya kritik merupakan sebuah tempat atau sumber referensial sebagai rujukan sebelum membaca sebuah karya sastra. Bagi Teeuw bukan pengarangnya yang penting, tapi karya kritiknya, supaya tidak menciptakan taklid, tapi di satu sisi, dia membutuhkan pembaca memahami pembacaan pengarang kritik, supaya menjadi salah satu perspektif atau rujukan sebelum pembaca mendekati karya yang dibahas dalam karya kritik. Memang agak membingungkan, sebab Teeuw cenderung memisahkan persoalan lisan dan tekstual dalam Sastra.

Refleksi

Buku A Teeuw ini, saya pikir perlu dibaca ulang ­­­di luar urgensi apakah buku ini layak dicetak ulang  atau tidak­­­ dan diperkenalkan kepada para aktifis sastra Indonesia mutakhir, urgensinya adalah bahwa terciptanya kondisi secondary orality seperti dipaparkan Teeuw sendiri merambah bukan saja pada budaya audiovisual, tetapi dunia maya, yang telah banyak dikhawatirkan para pakar sastra Indonesia, yaitu karya­karya yang bersitampil dalam dunia maya selain belum mampu mencapai kedalaman: apakah karya­karya tersebut muncul sebagai bukti kekayaan membaca atau sekedar menuliskan apa yang sedang dirasakan penciptanya. Atau lebih luas lagi apakah karya sastra Indonesia mutakhir masih dirembesi budaya lisan, yang miskin membaca, atau benar­benar merupakan harmoni antara pengetahuan literal dan berbagai pengalamannya. Karya­karya kita pada kenyataannya muncul tanpa diimbangi dengan karya­karya kritik, oleh karenanya tak adanya pembacaan atas karya kritik membuat karya yang diciptakan menjadi semakin lemah. Lalu bagaimana karya­karya kritik kita selama ini? Karya kritik bagaimana pun akan memiliki kemiripan dengan genre lainnya (puisi-prosa fiksi) dalam sastra, sifatnya yang soliter lebih muncul dari hasil pembacaan berbagai ilmu, dan pemahaman subjektifnya. Maka untuk mempertajam pemahaman keilmuan dan kekuatan reflektif subjektifnya atas karya peran komunitas dalam kritik dan aktifitas kesastraan secara lebih luas perlu dipikirkan ulang.    


Selanjutnya dapat ditanyakan, bagaimana sebenarnya posisi komunitas itu, apakah dia merupakan pusat tumbuh kembangnya karya sastra, atau sekedar shelter menuju pusat sesungguhnya yaitu ruang kesunyian di mana kita leluasa dapat menulis dan membaca banyak karya. Kenyataannya di Indonesia, komunitas masih merupakan barometer perkembangan Sastra Indonesia, banyak tokoh­tokoh muncul dari aktifitas pemakmuran komunitas, dan masih nyata pula tragisnya perpustakaan kita, yang sepi pengunjung dan tidak adanya pertumbuhan memadai dari perpustakaan itu sendiri untuk menjaring minat baca. Sementara kampus­kampus masih sulit dimasuki, karena serangan kapitalisasi yang memungkinkan banyak dari kita tak mampu menjadi akademisi, faktanya paling ironis adalah karya­karya yang muncul dari kampus masih kalah bagus dengan karya­karya penulis autodidak.

Jadi paparan A Teeuw masih memerlukan kritik, bahwa pusat perkembangan kesusastraan Indonesia memang masih bertumpu pada komunitas, bukan saja sebagai aktualisasi sesungguhnya, tetapi merupakan wadah, kenyataannya karya seseorang yang muncul masih merupakan ­­­dalam istilah Whitehead­­­ peristiwa sekejap atau ephocal occusion untuk menjangkau sisi arkeologis sebuah karya, bukan berdasarkan karya itu sendiri secara tekstual sebagaimana ungkapan Foucault tetapi pengaruhnya terhadap kebudayaan Indonesia yang intinya adalah prilaku masyarakatnya, sejauhmana sebuah karya dapat memberi pencerahan bagi centang perenang demoralisasi yang sedang dialami bangsa ini. Ataukah moralitas sudah absen dalam gerak aktifitas kesusatraan kita sekarang ini?
***
Cikarang, 18 September 2012

Note: Esai ini mengalami editing kembali dari versi aslinya di www.sastradigital.com/esai.htm, Ed Januari 2013, setelah sadar ada beberapa paragraf yang kurang konsisten, terlalu skeptik, dan kontradiksi. Semua merupakan keteledoran penulis, dan penyakit kepuasan yang menyesatkan... Tetapi alhamdulillah sudah di edit, dan mungkin akan terus diedit. karena target penulis bukan koran, majalah atau media online, target penulis adalah membuat buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar