Peradaban Buku: Sudahkah Terjadi di Indonesia?
Oleh M Taufan Musonip
http://www.huffingtonpost.com |
Hari ini tak sepenuhnya terjadi demikian, sistem percetakan sesuai dengan permintaan (Print on Demand) membuat siapapun bisa dengan mudah menerbitkan buku, lagi pula sepertinya perkembangan penerbitan semakin baik, meski belum ada yang meneliti berapa banyak jumlah penerbitan di Indonesia pada masa sekarang dibanding misalnya pada masa represif pemerintahan Orde Baru. Tapi benarkah kemudahan itu menandakan pula telah hadirnya peradaban buku?
Orang Lain adalah Neraka
Dari peradaban ini setidaknya telah
terlontar ucapan miris seorang eksistensialis di Eropa, “orang lain adalah
neraka”. Terdengar kurang manusiawi bila sampai di telinga orang Indonesia oleh
karenanya lebih baik ditentang. Penentangan itu harus berhadapan pada bentuk
tekstual karya sastra yang memang sudah terbaratkan. Adakah jenis-jenis karya
sastra masa kini yang bentuk penulisannya mengikuti corak sastra klasik?
misalnya puisi epik jawa yang biasa disebut kakawin,
yang karena pembacaannya seni pertunjukan sastra klasik bersifat ritual selain
mempersatukan kehidupan antar manusia. Peradaban buku di sini olehnya merujuk
pada budaya baca dalam hati, bukan lisan.
Setiap buku bahkan tak pernah
memastikan bahwa apa yang disuguhkannya kepada pembaca selesai. Buku tipis yang ditulis oleh Wiratmo Soekito
saja perlu menampilkan dua karya Kafka (Der
Schlloss dan Der Prozess) untuk
membuka argumennya mengenai unsur mimetik dalam karya sastra. Timbul pertanyaan
dalam benak pembaca, apakah dua roman itu telah hadir dan diterjemaahkan di
Indonesia? padahal buku yang diterbitkan pada tahun 1984 itu tidak spesifik
bisa disebut sebagai karya kritik sastra, di mana biasanya bidang ini merupakan
pengantar ---jika tak dikatakan sebagai promosi--- karya-karya yang dibahasnya.
Semakin tebal jumlah halaman buku,
semakin banyak pula tempat-tempat yang harus dijelajahi pembaca. Lebih dari
seribu halaman buku yang ditulis Denys Lombard tentang Jawa dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (2008), lengkap menghadirkan berbagai perspektif ilmu
pengetahuan hasil pembacaannya atas pulau yang sedang ditelitinya. Pernahkah
tahu bahwa ada sebuah roman di Perancis, berjudul Le Planteur de Java, yang pada masanya dicetak sebanyak enam kali,
beredar luas di salah satu kota di sana (Tours) dan dibagikan sebagai hadiah di
sekolah-sekolah, padahal pengarangnya sama sekali belum pernah menginjakkan
kakinya di Asia. Lebih hebat lagi roman ini ditulis oleh Henri Guénot pada
tahun 1869, masa di mana jauh sekali dari era informasi sekarang ini, tetapi
cukup menjadi rujukan dalam merepresentasikan eksotisme pulau Jawa. Roman ini
disampaikan oleh Lombard di antara ratusan bahkan ribuan referensi bacaannya.
Dua karya tersebut ditampilkan di
sini hanya untuk membuktikan bahwa peradaban buku memang mengantarkan
pembacanya pada penjelajahan tiada akhir atas buku-buku yang telah dirujuk pada
sebuah buku. Jelajah itu tentunya memerlukan sebuah tekad pengorbanan atas
waktu bersama, membiarkan seorang individu bergulat dengan bacaannya dalam
sunyi. Namun jangan terburu-buru untuk membenarkan kata-kata seorang
eksistensialis di atas, akan tetapi kiranya tak boleh juga tergesa-gesa untuk
mengatakan bahwa ungkapan “kawan adalah neraka” merupakan akhir kesimpulan si profesor.
Setiap idiom tentu tak berdiri begitu saja, apalagi dilahirkan dari sebuah
peradaban yang dibesarkan dari tradisi membaca buku, bagi saya ungkapan itu
bisa berbunyi sebagai kritik bagi kehidupan pragmatis hari ini.
Pragmatisme
Dalam pragmatisme apa yang dianggap
nilai-nilai keilmuan teori belaka, tak dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Salah
satu kondisi akutnya pragmatisme adalah ketika politik dianggap panglima. Imbasnya
adalah statisnya istilah-istilah dalam dunia politik. Demokrasi dianggap
selesai, bahkan “kawin” dengan istilah yang lebih pragmatis yaitu
transaksional. Belakangan bangsa ini memang mengalami defisit sebuah idiom
perubahan yang muncul dari pergulatan intelektual. Belum ada istilah-istilah
revolusioner seperti “Kucing Hitam” di China, revolusi pink tide di Venezuela, atau istilah Swadeshi di India.
Pragmatisme bisa terjadi pula dalam
tindak kreatif, di dunia puisi misalnya ada istilah ephiphany, untuk menyatakan sebuah peristiwa dalam karyanya menjadi
bukan sekedar peak experiment,
apalagi dalam penciptaan prosa, kutipan dalam dialog memungkinkan pengetahuan
dihadirkan dalam cara pandang pengarangnya.
Sudahkah bangsa ini masuk dalam
peradaban buku? Menjawabnya tak perlu dahulu mempersoalkan seberapa jauh peran
vital perpustakaan yang ada di luar pagar perguruan tinggi, atau hadirnya
komunitas-komunitas sastra sebagai ruang apresiasi dan promosi peningkatan
minat baca masyarakat, ketika kampus-kampus hanya dapat dimasuki golongan kelas
menengah. Akan tetapi haruslah disadari, bahwa peradaban buku bagaimanapun
telah membangun individualitas yang mendorong kreatifitas, sebagai jeda dari
penjelajahan membaca yang tak pernah “selesai”. (*)
Tanjungsari, 18 Mei 2013
Dimuat di Lampung Post 30 Juni 2013
Salam.Izinkan saya bertanya Mas Taufan.
BalasHapusBukankah dengan pragmatis itu sendiri kita bisa menilai suatu karya dengan lebih menyentuh tubuhnya (karya)? Sejalan dengan--apabila kita ingin memajukan peradaban buku itu sendiri. Mengingat dunia kritik kita (sebagai cermin suatu karya) masih sangat "kelisanan" ?
Bagaimana bila kita ingin memajukan peradaban buku, namun minim dengan kritik (terhadap karya,bukan esai-esai yg lainnya) itu sendiri? Atau kritik-kritik yang referensinya saja, masih secara "kelisanan", maka jadilah apa yang keluar dari mulut pembicara sebagai "bahan" kritik-nya.
Bukan tanpa alasan saya memandang bahwa dengan pragmatis kita bisa menyentuh tubuh si karya tersebut.Mengingat suatu aksara bisa saja lepas dari si "penulis"nya itu sendiri.
Terima Kasih. Salam hormat.