Jumat, 12 Juli 2013

Esai

Peradaban Buku: Sudahkah Terjadi di Indonesia?
Oleh M Taufan Musonip

Basquiat Painting Dusthead
http://www.huffingtonpost.com

Buku bukan peradaban asli Indonesia, setidaknya hal itu telah banyak dibahas oleh beberapa tokoh terkemuka dalam bidang kesusastraan. Salah satunya A Teeuw yang menulis buku Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan (1997), melukiskan horison pembaca masyarakat Indonesia yang berminat terhadap karya-karya sastra karena indah ketika dibacakan secara lisan. Olehnya Sastra Indonesia memang berkembang karena kehadiran komunitasnya, bukan karena peran vital hadirnya perpustakaan.








Hari ini tak sepenuhnya terjadi demikian, sistem percetakan sesuai dengan permintaan (Print on Demand) membuat siapapun bisa dengan mudah menerbitkan buku, lagi pula sepertinya perkembangan penerbitan semakin baik,  meski belum ada yang meneliti berapa banyak jumlah penerbitan di Indonesia pada masa sekarang dibanding misalnya pada masa represif pemerintahan Orde Baru. Tapi benarkah kemudahan itu menandakan pula telah hadirnya peradaban buku?


Orang Lain adalah Neraka
Dari peradaban ini setidaknya telah terlontar ucapan miris seorang eksistensialis di Eropa, “orang lain adalah neraka”. Terdengar kurang manusiawi bila sampai di telinga orang Indonesia oleh karenanya lebih baik ditentang. Penentangan itu harus berhadapan pada bentuk tekstual karya sastra yang memang sudah terbaratkan. Adakah jenis-jenis karya sastra masa kini yang bentuk penulisannya mengikuti corak sastra klasik? misalnya puisi epik jawa yang biasa disebut kakawin, yang karena pembacaannya seni pertunjukan sastra klasik bersifat ritual selain mempersatukan kehidupan antar manusia. Peradaban buku di sini olehnya merujuk pada budaya baca dalam hati, bukan lisan.

Setiap buku bahkan tak pernah memastikan bahwa apa yang disuguhkannya kepada pembaca selesai.  Buku tipis yang ditulis oleh Wiratmo Soekito saja perlu menampilkan dua karya Kafka (Der Schlloss dan Der Prozess) untuk membuka argumennya mengenai unsur mimetik dalam karya sastra. Timbul pertanyaan dalam benak pembaca, apakah dua roman itu telah hadir dan diterjemaahkan di Indonesia? padahal buku yang diterbitkan pada tahun 1984 itu tidak spesifik bisa disebut sebagai karya kritik sastra, di mana biasanya bidang ini merupakan pengantar ---jika tak dikatakan sebagai promosi--- karya-karya yang dibahasnya.

Semakin tebal jumlah halaman buku, semakin banyak pula tempat-tempat yang harus dijelajahi pembaca. Lebih dari seribu halaman buku yang ditulis Denys Lombard tentang Jawa dalam Nusa Jawa: Silang Budaya (2008), lengkap menghadirkan berbagai perspektif ilmu pengetahuan hasil pembacaannya atas pulau yang sedang ditelitinya. Pernahkah tahu bahwa ada sebuah roman di Perancis, berjudul Le Planteur de Java, yang pada masanya dicetak sebanyak enam kali, beredar luas di salah satu kota di sana (Tours) dan dibagikan sebagai hadiah di sekolah-sekolah, padahal pengarangnya sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya di Asia. Lebih hebat lagi roman ini ditulis oleh Henri Guénot pada tahun 1869, masa di mana jauh sekali dari era informasi sekarang ini, tetapi cukup menjadi rujukan dalam merepresentasikan eksotisme pulau Jawa. Roman ini disampaikan oleh Lombard di antara ratusan bahkan ribuan referensi bacaannya.

Dua karya tersebut ditampilkan di sini hanya untuk membuktikan bahwa peradaban buku memang mengantarkan pembacanya pada penjelajahan tiada akhir atas buku-buku yang telah dirujuk pada sebuah buku. Jelajah itu tentunya memerlukan sebuah tekad pengorbanan atas waktu bersama, membiarkan seorang individu bergulat dengan bacaannya dalam sunyi. Namun jangan terburu-buru untuk membenarkan kata-kata seorang eksistensialis di atas, akan tetapi kiranya tak boleh juga tergesa-gesa untuk mengatakan bahwa ungkapan “kawan adalah neraka” merupakan akhir kesimpulan si profesor. Setiap idiom tentu tak berdiri begitu saja, apalagi dilahirkan dari sebuah peradaban yang dibesarkan dari tradisi membaca buku, bagi saya ungkapan itu bisa berbunyi sebagai kritik bagi kehidupan pragmatis hari ini.

Pragmatisme
Dalam pragmatisme apa yang dianggap nilai-nilai keilmuan teori belaka, tak dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Salah satu kondisi akutnya pragmatisme adalah ketika politik dianggap panglima. Imbasnya adalah statisnya istilah-istilah dalam dunia politik. Demokrasi dianggap selesai, bahkan “kawin” dengan istilah yang lebih pragmatis yaitu transaksional. Belakangan bangsa ini memang mengalami defisit sebuah idiom perubahan yang muncul dari pergulatan intelektual. Belum ada istilah-istilah revolusioner seperti “Kucing Hitam” di China, revolusi pink tide di Venezuela, atau istilah Swadeshi di India.

Pragmatisme bisa terjadi pula dalam tindak kreatif, di dunia puisi misalnya ada istilah ephiphany, untuk menyatakan sebuah peristiwa dalam karyanya menjadi bukan sekedar peak experiment, apalagi dalam penciptaan prosa, kutipan dalam dialog memungkinkan pengetahuan dihadirkan dalam cara pandang pengarangnya.

Sudahkah bangsa ini masuk dalam peradaban buku? Menjawabnya tak perlu dahulu mempersoalkan seberapa jauh peran vital perpustakaan yang ada di luar pagar perguruan tinggi, atau hadirnya komunitas-komunitas sastra sebagai ruang apresiasi dan promosi peningkatan minat baca masyarakat, ketika kampus-kampus hanya dapat dimasuki golongan kelas menengah. Akan tetapi haruslah disadari, bahwa peradaban buku bagaimanapun telah membangun individualitas yang mendorong kreatifitas, sebagai jeda dari penjelajahan membaca yang tak pernah “selesai”. (*)

Tanjungsari, 18 Mei 2013
Dimuat di Lampung Post 30 Juni 2013




1 komentar:

  1. Salam.Izinkan saya bertanya Mas Taufan.

    Bukankah dengan pragmatis itu sendiri kita bisa menilai suatu karya dengan lebih menyentuh tubuhnya (karya)? Sejalan dengan--apabila kita ingin memajukan peradaban buku itu sendiri. Mengingat dunia kritik kita (sebagai cermin suatu karya) masih sangat "kelisanan" ?

    Bagaimana bila kita ingin memajukan peradaban buku, namun minim dengan kritik (terhadap karya,bukan esai-esai yg lainnya) itu sendiri? Atau kritik-kritik yang referensinya saja, masih secara "kelisanan", maka jadilah apa yang keluar dari mulut pembicara sebagai "bahan" kritik-nya.

    Bukan tanpa alasan saya memandang bahwa dengan pragmatis kita bisa menyentuh tubuh si karya tersebut.Mengingat suatu aksara bisa saja lepas dari si "penulis"nya itu sendiri.

    Terima Kasih. Salam hormat.

    BalasHapus