Kamis, 13 Juni 2013

Esai

Buku Sastra dan Ukuran Kualitas Sastra
Oleh: M Taufan Musonip

Sastra merupakan tempat bagi terciptanya sebuah agen dalam “arena” budaya. Istilah arena di sini difungsikan sebagai persaingan antar elemen budaya, di mana agen yang memiliki modal budaya akan menjadikan dirinya sebagai penentu perubahan. Sebuah kemajuan budaya oleh karenanya ditentukan berdasarkan apresiasi atas produk budaya, sastra berada di dalamnya bersama dengan produk lainnya seperti musik, seni rupa dsb (Bourdieu, 2010).

Ada yang bilang apresiasi yang baik atas produk-produk budaya selalu berhubungan dengan tingkat kemampuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat menciptakan gairah terhadap pembacaan sastra tinggi. Akan tetapi sebenarnya apa yang dimaksud sastra tinggi itu?

Orang Amerika berbicara seni avant-garde, hadir dengan memanfaatkan perbendaharaan produk-produk dari budaya populer (Bodden, 2008), di Italia dengan merujuk tulisan Umberto Eco di halaman terakhir novelnya The Name Of The Rose, strukturalisme berdamai dengan avant-garde melalui post-strukturalisme: “belum tentu, sastra yang banyak diminati masyarakat akan jatuh menjadi sastra pop belaka”. Apa yang ditawarkan Indonesia dalam menentukan parameter sastra tinggi itu untuk menciptakan pembacanya?


Surat Jassin
Kalau boleh dibilang saat ini upaya-upaya menciptakan agar karya sastra dapat diterima kalangan banyak melalui pergulatan “ideologi” sastra belum banyak dilakukan. Karena pergulatan itu sesungguhnya hanya bisa terjadi sepenuhnya dalam budaya (penerbitan) buku.

Apa yang disebut sebagai budaya buku dalam kehidupan sastra di Indonesia hari ini baru terjadi ketika karya-karya sastra yang telah termuat di media massa cetak dibukukan, kebanyakan biasanya naskah-naskah puisi atau cerpen ---juga sesekali esai dengan jumlah karakter huruf yang begitu pendek. Sebuah surat yang dikirimkan Jassin kepada M Balfas, pada saat penerbitan buku Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang dan Gema Tanah Air (1950), yang keduanya merangkum genre karya puisi dan cerpen, bernada prihatin atas membanjirnya karya-karya tersebut selama satu dasawarsa tanpa diimbangi jumlah naskah novel dan drama, menandakan masih kuatnya pengaruh tradisi lisan, mengingat karya-karya sastra dengan genre tersebut memang cenderung bisa dibacakan secara lisan.

Hari ini hal itu masih berlangsung, dengan menempatkan media massa cetak sebagai satu-satunya acuan nilai. Ada idiom, seorang penulis belum dikatakan seorang sastrawan jika karya-karyanya belum termuat dalam media massa cetak. Jadi tradisi kritik benar-benar telah tergantikan perannya oleh keputusan seorang redaktur dalam menentukan kualitas karya atas pemuatannya dalam majalah atau korannya.  

Perlu memahami apa yang sesungguhnya disebut budaya buku itu. Budaya buku merujuk pada tradisi membaca secara membisu. Sifatnya yang demikian membuat individu manusia di dalamnya hadir menciptakan ruang kesunyian. Menciptakan jarak antara satu manusia dengan manusia lainnya. Sesuatu yang memang ekstrem ketika dihidupkan dalam masyarakat lisan seperti di Indonesia.

Kuatnya tradisi lisan bagaimanapun cukup menjadi kekhawatiran perkembangan sastra Indonesia, alternatif-alternatif yang harus diciptakan untuk mengatasi stagnansi bentuk karya mengalami defisit. Pergulatan ideologi yang biasa terjadi dalam tradisi buku kritik mengalami kelesuan. Jika dahulu ---meski masih dalam hitungan terbatas--- hadir pengadil karya sastra seperti Teeuw, Aveling (penulis luar) dan Jassin di masa kini pada siapa kualitas karya sastra akan ditambatkan secara tekstual? Karya kritik nyatanya hari ini hanya terjadi dalam berbagai kesempatan singkat, seperti catatan pendahuluan atau epilog sebuah bunga rampai puisi atau cerpen tanpa harus menyebutkan karya kritik dalam media massa yang terbatas ruang rubriknya.

Peremajaan
Kondisi tersebut akan menyulitkan bagaimana dapat menentukan parameter sastra tinggi itu, segala peristilahan dan instrumentasi penentuan batas-batas kualitas karya telah menjadi usang. Istilah-istilah seperti realisme, eksperimentalisme, naturalisme, surealisme, bahkan dadaisme tidak pernah kembali digali atau dihadirkan menghadapi relevansi kehidupan sastra Indonesia, melainkan secukupnya ditampilkan tanpa gambaran semantik justru ketika para sastrawan di India seperti Homi Bhaba atau Chatterjee menciptakan formula postkolonialisme khas mereka untuk menantang kritik postkolonialisme yang datang dari Barat. Segala pergulatan ideologi dan peremajaan instrumentasi bagi kritik atas karya sastra tidak akan terjadi jika peradaban buku belum benar-benar hadir di Indonesia.

Memang akan terjadi guncangan budaya jika peradaban buku dihidupkan secara serius, semangat komunitas sebagai landasan perkembangan karya akan digantikan dengan kesadaran membaca sebagai penjelajahan tiada akhir, sebab pada dasarnya setiap buku tak pernah hendak menjadikan pembacanya merasa telah selesai pembacaannya, rujukan-rujukan yang ditampilkan dalam sebuah buku adalah cara menyatakan penulisnya bahwa ada buku-buku lain yang mesti lebih lanjut dijelajah.

Individualitas yang dibangun dalam peradaban buku akan menciptakan sebuah korelasi antara kesejahteraan masyarakat dengan minat baca. Akan tetapi hal itu dapat disiasati dengan cara melakukan revitalisasi perpustakaan sebagai ruang pertumbuhan minat baca yang sesungguhnya.(*)

Tanjungsari-Cikarang, 24 Mei 2013



  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar