Buku Sastra dan Ukuran Kualitas Sastra
Oleh: M Taufan Musonip
Sastra
merupakan tempat bagi terciptanya sebuah agen dalam “arena” budaya. Istilah
arena di sini difungsikan sebagai persaingan antar elemen budaya, di mana agen
yang memiliki modal budaya akan menjadikan dirinya sebagai penentu perubahan.
Sebuah kemajuan budaya oleh karenanya ditentukan berdasarkan apresiasi atas
produk budaya, sastra berada di dalamnya bersama dengan produk lainnya seperti
musik, seni rupa dsb (Bourdieu, 2010).
Ada yang bilang
apresiasi yang baik atas produk-produk budaya selalu berhubungan dengan tingkat
kemampuan ekonomi, kesejahteraan masyarakat menciptakan gairah terhadap
pembacaan sastra tinggi. Akan tetapi sebenarnya apa yang dimaksud sastra tinggi
itu?
Orang
Amerika berbicara seni avant-garde,
hadir dengan memanfaatkan perbendaharaan produk-produk dari budaya populer
(Bodden, 2008), di Italia dengan merujuk tulisan Umberto Eco di halaman
terakhir novelnya The Name Of The Rose,
strukturalisme berdamai dengan avant-garde melalui post-strukturalisme: “belum
tentu, sastra yang banyak diminati masyarakat akan jatuh menjadi sastra pop
belaka”. Apa yang ditawarkan Indonesia dalam menentukan parameter sastra tinggi
itu untuk menciptakan pembacanya?
Surat Jassin
Kalau boleh
dibilang saat ini upaya-upaya menciptakan agar karya sastra dapat diterima
kalangan banyak melalui pergulatan “ideologi” sastra belum banyak dilakukan. Karena
pergulatan itu sesungguhnya hanya bisa terjadi sepenuhnya dalam budaya
(penerbitan) buku.
Apa yang
disebut sebagai budaya buku dalam kehidupan sastra di Indonesia hari ini baru
terjadi ketika karya-karya sastra yang telah termuat di media massa cetak
dibukukan, kebanyakan biasanya naskah-naskah puisi atau cerpen ---juga sesekali
esai dengan jumlah karakter huruf yang begitu pendek. Sebuah surat yang
dikirimkan Jassin kepada M Balfas, pada saat penerbitan buku Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang
dan Gema Tanah Air (1950), yang
keduanya merangkum genre karya puisi dan cerpen, bernada prihatin atas membanjirnya
karya-karya tersebut selama satu dasawarsa tanpa diimbangi jumlah naskah novel
dan drama, menandakan masih kuatnya pengaruh tradisi lisan, mengingat
karya-karya sastra dengan genre tersebut memang cenderung bisa dibacakan secara
lisan.
Hari ini
hal itu masih berlangsung, dengan menempatkan media massa cetak sebagai
satu-satunya acuan nilai. Ada idiom, seorang penulis belum dikatakan seorang
sastrawan jika karya-karyanya belum termuat dalam media massa cetak. Jadi
tradisi kritik benar-benar telah tergantikan perannya oleh keputusan seorang
redaktur dalam menentukan kualitas karya atas pemuatannya dalam majalah atau
korannya.
Perlu
memahami apa yang sesungguhnya disebut budaya buku itu. Budaya buku merujuk
pada tradisi membaca secara membisu. Sifatnya yang demikian membuat individu
manusia di dalamnya hadir menciptakan ruang kesunyian. Menciptakan jarak antara
satu manusia dengan manusia lainnya. Sesuatu yang memang ekstrem ketika
dihidupkan dalam masyarakat lisan seperti di Indonesia.
Kuatnya tradisi
lisan bagaimanapun cukup menjadi kekhawatiran perkembangan sastra Indonesia,
alternatif-alternatif yang harus diciptakan untuk mengatasi stagnansi bentuk
karya mengalami defisit. Pergulatan ideologi yang biasa terjadi dalam tradisi
buku kritik mengalami kelesuan. Jika dahulu ---meski masih dalam hitungan
terbatas--- hadir pengadil karya sastra seperti Teeuw, Aveling (penulis luar)
dan Jassin di masa kini pada siapa kualitas karya sastra akan ditambatkan
secara tekstual? Karya kritik nyatanya hari ini hanya terjadi dalam berbagai
kesempatan singkat, seperti catatan pendahuluan atau epilog sebuah bunga rampai
puisi atau cerpen tanpa harus menyebutkan karya kritik dalam media massa yang
terbatas ruang rubriknya.
Peremajaan
Kondisi
tersebut akan menyulitkan bagaimana dapat menentukan parameter sastra tinggi
itu, segala peristilahan dan instrumentasi penentuan batas-batas kualitas karya
telah menjadi usang. Istilah-istilah seperti realisme, eksperimentalisme,
naturalisme, surealisme, bahkan dadaisme tidak pernah kembali digali atau
dihadirkan menghadapi relevansi kehidupan sastra Indonesia, melainkan
secukupnya ditampilkan tanpa gambaran semantik justru ketika para sastrawan di
India seperti Homi Bhaba atau Chatterjee menciptakan formula postkolonialisme
khas mereka untuk menantang kritik postkolonialisme yang datang dari Barat.
Segala pergulatan ideologi dan peremajaan instrumentasi bagi kritik atas karya
sastra tidak akan terjadi jika peradaban buku belum benar-benar hadir di
Indonesia.
Memang akan
terjadi guncangan budaya jika peradaban buku dihidupkan secara serius, semangat
komunitas sebagai landasan perkembangan karya akan digantikan dengan kesadaran
membaca sebagai penjelajahan tiada akhir, sebab pada dasarnya setiap buku tak
pernah hendak menjadikan pembacanya merasa telah selesai pembacaannya,
rujukan-rujukan yang ditampilkan dalam sebuah buku adalah cara menyatakan
penulisnya bahwa ada buku-buku lain yang mesti lebih lanjut dijelajah.
Individualitas
yang dibangun dalam peradaban buku akan menciptakan sebuah korelasi antara
kesejahteraan masyarakat dengan minat baca. Akan tetapi hal itu dapat disiasati
dengan cara melakukan revitalisasi perpustakaan sebagai ruang pertumbuhan minat
baca yang sesungguhnya.(*)
Tanjungsari-Cikarang,
24 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar