Andangdjaja: dari Ketakteraturan kepada Keteraturan
Oleh M Taufan Musonip
Subjek
“kita” dalam kumpulan esai tentang puisi, Dari
Sunyi ke Bunyi oleh Hartojo Andangdjaja (1991) seakan berkesan didaktik,
maklum penulis yang termasuk ke dalam golongan Manifes Kebudayaan ini, adalah
seorang guru. Subjek “kita”, tersebar penuh dalam membahas jenis-jenis genre
penulisan puisi. Apakah kemudian subjek tersebut merupakan cara pengucapan yang
hendak menutup ruang pembaca untuk mengisi ruang kosong struktur dalam teks,
sebagaimana Rifaterre, bahwa bagaimanapun dalam pengucapan sastrawi,
memungkinkan pembaca punya penafsiran sendiri.
Meski
mungkin hal itu lebih merujuk pada soal-soal puitik, sebenarnya bisa
dilanjutkan pada persoalan posisi kritik sastra di tengah pembaca, karya dan
pengarang oleh Arif Bagus Prasetyo (Horison, 2011) bukan lagi semata-mata
rujukan yang mengantarkan membaca pada sebuah karya, akan tetapi merupakan
jembatan “indah” yang dapat dinikmati tanpa memberi pengaruh kuat, untuk
membangun strategi pembacaan sendiri pembaca karya kritik.
Subjek “kita”
memberi pengertian retorik dalam istilah paralingual,
dapat diartikan muncul sebagai bentuk pertimbangan di luar kata, sehingga
nampak persuasif, menimbulkan efek searah. Inilah yang membuat bahasan-bahasan
Hartojo mengenai puisi, seakan lebih hangat, seakan puisi-puisi yang dibahas
begitu familier di hadapan pembaca.
“Kita” dalam Sajak
Refleksi
atas sajak-sajak Andangdjaja sendiri di halaman-halaman terakhir merupakan
petunjuk bagi strategi pembacaan seluruh esai dalam bukunya, bahwa penulisan
subjek kata ganti pertama jamak itu juga terjadi dalam puisi-puisinya. Sajak Rakyat (1961) yang menurut pengakuannya
ditulis berbulan-bulan lamanya yang dari pembacaan judulnya saja nampak terasa provokatif
seperti puisi-puisi kaum kiri, justru menyatakan diri menghindari sekuat tenaga
dari bayang-bayang propaganda. Meski
begitu, pertemuannya dengan semesta rakyat dalam imajinasinya yang nampak eksperimental,
membuat puisi tersebut bagus untuk dibacakan dalam pertunjukan. Subjek “kita”
dalam puisi itu pun terjadi: rakyat
adalah kita/ darah di tubuh bangsa/debar Sepanjang Masa//.
Pada dua
puisi lain kata kita bertransformasi menjadi “saudara” dan “kami”, sajak Golgota, Sebuah Pesan (1964)
merupakan buah tangannya yang terinspirasi pada peristiwa penolakan ikrar
Manifestasi Kebudayaan, oleh kelompok sayap kiri, di dapatkan dari pengalaman
pertemuan dengan sahabatnya seorang sastrawan Wiratmo Soekito,
mempercakapkan keserupaan peristiwa
penyaliban Yesus dan peristiwa pelarangan Manikebu. Sedang dalam penulisan sajak
Buat Saudara Kandung, Andangdjaja
tidak menyebut seorang pribadi, tetapi merupakan person ke dua yang
menggambarkan kaum politisi sebagai saudara kandung person pertama yaitu
seniman, latar puisi ini terjadi pada masa pemerintahan Orde Lama, sebuah orde
yang sering dikritiknya.
Penulisan
subjek “Kita” merupakan benang merah karya esai dan puisinya. Bedanya,
penulisan puisinya merupakan gaya tarik dari keramaian ke kesunyian. Sebaliknya
dalam penulisan esai, Andangdjaja menarik kesunyian sebagai kodrat puisi ke
dalam keramaian.
Akan lebih
menarik jika subjek tersebut dihubungkan dengan kata kunci seluruh penulisan
esainya, yaitu memautkan bahasa sebagai olah rasa, untuk itu dosky membahas soal profetik dan
religiositas ke soal nuansa humor dan dadaistik sambil meneruka puisi-puisi
folklore yaitu mantera dan folk-rhyme
dunia kanak-kanak pada berbagai tradisi masyarakat lokal.
Maksudnya
dari jalan profetik dan religiositas itu Andangdjaja justru menemukan bagaimana
bahasa menemukan cara ucap santainya dari keformalan dan keseriusan yang
didapat dari bangunan bahasa sebagai buah pikiran.
Kesantaian
yang dibawa pada pembacanya justru tak terjadi dalam puisi maupun esainya,
karena subjek “kita” nampak lebih formal daripada subjek “saya/aku”, seperti
istilah gnosis yang ia gemakan di bab
dua (Tentang Puisi Religius, h. 17) merupakan visi dari puisi-puisi religius
yang didapat dari keberhasilan perasaan
mengawal pemilihan dan penempatan kata, tentunya sangat subjektif, karena
memosisikan objek pembicaraannya, pikiran dan faktor empirik sebagai
pendengarnya. Ungkapan “saya” sebagaimana sering ditemukan dalam penulisan esai
kritik sebenarnya hendak mengatakan bahwa pengucapan puitik pun terjadi dalam
genre ini. Atau hendak mengatakan bahwa setiap teks selalu bersifat memecah
sidang pembaca. Penempatan subjek kata ganti pertama jamak justru menciptakan
kesamaan persepsi. Dan kesamaan itu hanya didapatkan pada jenis sastra lisan
(Teeuw, 1997). Pada esai, hal itu akan menyelesaikan dirinya sebagai piwulang.
Penulisan
esai pada rentang waktu masa-masa menjelang dan sesudah keruntuhan rejim Orde
Lama, seperti hendak merapatkan barisan para aktifis sastra Indonesia, mengenai
sastra yang benar dalam pandangan kaum Manikebu, di mana Andangdjaja berada di
dalamnya, bangunan puisinya tak dapat dihindari merupakan suara protes pada
kelaliman pemerintahan masa itu yang menindas kerja seni sebagai medium
kekuasaan. Namun karena posisinya yang sangat berseberangan dengan kaum kiri,
penciptaan puisinya tetap diusahakan berkesan ambigu, untuk menyatakan
diferensiasi pengertian seni sebagai medium seni itu sendiri.
Ekspresi Politis
Apa yang
benar itu dalam esainya adalah, kembali meretas jalan bahasa melalui olah rasa,
untuk itu dia tampilkan persoalan maut yang dihelanya dalam puisi-puisi
Marsman, Slauerhoff, dan Chairil Anwar, puisi-puisi yang ditulis secara
dadaistik oleh Piere Kemp, dan menelusuri sejarah sastra bernuansa humor di
Indonesia, semua itu dilakukan agar mengalihkan perhatian para penggiat sastra
untuk mengikuti jalan yang diretasnya melalui esai-esainya, menantang keteraturan
pada ekspresi ketakteraturan dalam puisi-puisi yang dibahasnya.
Buku yang
ditulis pada masa goncangnya Pemerintahan
Soekarno, yang secara terbuka menantang ketertiban pemerintahan itu, dengan
diperkuat oleh statement rekan
seperjuangannya di Manikebu, yaitu Goenawan Mohamad dalam tulisan
pendahuluannya, bahwa esai-esai Andangdjaja tak lain merupakan upaya
penyempurnaan penggubahan puisi-puisinya, dengan itu dapatkah ditangkap adanya
kesan bahwa keteraturannya menulis esai melalui kepemimpinannya yang
diekspresikan dalam subjek “kita” mendorong ekspresi politis yang tak selesai
dalam puisi-puisinya?
Tanjungsari-Kawaluyaan,
1 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar