Sastra, Kemanusiaan dan Kompleksitas
Oleh: M Taufan Musonip
Menjadi penulis, tentu saja memiliki
resiko. Resiko utama yaitu ketika tulisannya tak menarik buat dibaca. Lalu
sebagian orang yang tertarik menulis karya sastra, ingin bersusah payah agar
karyanya dibaca melalui publikasi. Padahal sastra adalah medan penulisan dengan
bentuk penulisan yang tak biasa. Misalnya gerutu Rivai Apin pada Sutan Takdir
Alisjabana, tentang cercaannya kepada sastrawan angkatan 45, yang menurutnya
tak ada karya besar semisal Layar
Terkembang di jaman itu. Apin menanggapi bahwa “kebesaran” belum tentu
dapat menggapai isi sastra itu sendiri yang tak lain adalah soal kemanusiaan
yang tentu merapat pada persoalan isu-isu di dalam masanya, yaitu seputar
revolusi.
Apin akhirnya menyatakan bahwa dalam
penulisan kata yang sederhana dan kecil bentuknya seperti analogi puisi, justru
mendekatkan kata kepada isi. Bagi saya pernyataan Rivai ini tidak sederhana,
karena dalam bahasa puitik, semakin pendek bentuknya, maka isi akan sering
berbenturan dengan anasir-anasir kata yang mengacaukannya, seperti kesan
ambiguitas dari efek hadirnya metafora dan simbol.
Maksud saya, dengan membonceng
pernyataan Rivai Apin saya ingin mencoba menelusuri kembali fungsi sastra di
jaman ini, dalam artian publisitas yang merupakan medan luas bagi kesempatan
pembacaan, pertanyaan yang diajukan kemudian terlintas: “Apa pengaruh sastra bagi
kehidupan manusia?” di sisi lain tulisan ini tak mungkin lagi membuka wacana
perseberangan antara kaum yang meyakini ideologi seni untuk seni atau seni
untuk masyarakat, sebab wacana itu telah selesai, kedua-keduanya dari golongan
tersebut tetap menghasilkan karya sastra yang tidak bisa dikatakan sebagai easy reading. Ada pergulatan perenungan
di dalamnya, guna merangsang pembaca merenungi arti kemanusiaan sesungguhnya.
Kesusastraan melakukan penyegaran kembali tema-tema
kemanusiaan melalui anasir-anasir estetika di dalam pembentukan bangunan
tekstual. Meluruskan kembali jalan kemanusiaan, terkadang tampil apa adanya
dalam mempertemukan nasib manusia, atau manusia itu sendiri. Keapaadaan itu
tidaklah terasa telanjang dimaknai, sebagai sesuatu yang mudah dibaca sebagai
hiburan semata, tetapi menyimpan kompleksitas persoalan manusia. Olehnya
pernyataan Rivai Apin, yang membela tradisi puisi yang tumbuh pada angkatan 45
pun menaruh gejala kompleksitas.
Kompleksitas dalam persoalan manusia
pada karya sastra, memungkinkan penggambaran manusia secara lengkap, sinyalnya
saling berjumpaan dalam berbagai karakter tokoh dalam prosa, dalam puisi sinyal
kemanusiaan yang utuh dilukiskan sebagai kesan pribadi penyair menangkap
peristiwa. Materialisme berhadapan dengan cinta mati dalam karya naskah drama satu
babak Utuy Tatang Sontani, Awal dan Mira.
Feodalisme bersilang pendapat dengan sosialisme dalam novel Canting, Arswendo Atmowiloto. Sedang
dalam Kooong Iwan Simatupang kegilaan
mengkritik pikiran waras. Juga dalam puisi kontemplasi Sapardi Djoko Damono, Berjalan ke Arah Barat, kesederhanaan
bahasa puisinya mengantarkan pembacanya pada persoalan kemanusiaan yang sangat
dalam:
Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa/ di antara kami yang
telah menciptakan bayang-bayang// aku dan bayang-bayang tidak bertengkar
tentang siapa/ di antara kami yang harus berjalan di depan. (1994)
Bila dipahami karya-karya besar di
atas telah memberikan jalan kepada pembacanya menuju inti dari kehidupan
manusia itu sendiri. Utuy Tatang Sontani, menawarkan ketinggian derajat seorang
perempuan invalid korban perang dalam tokoh Mira yang dicintai mati-matian oleh
tokoh Awal sebagai korban revolusi secara kejiwaan. Mira yang rupawan, yang
selalu duduk di balik jongko warung kopinya, membiarkan Awal dikeroyok oleh dua
lelaki yang juga berharap cinta Mira, karena tak mau menampakkan dirinya
seorang invalid. Sementara di balik hormatnya Bu Bei dalam novel Canting kepada suaminya untuk memenuhi
adat istiadat kepriyaian, telah diduga memiliki hubungan gelap dengan seorang
buruh pekerja batik. Sementara Pak Sastro, dalam Kooong, yang begitu bijaksananya, meninggalkan harta kekayaannya
demi mengejar burung perkutut gulenya, yang telah dianggapnya sebagai kawan
kesepian sejak kematian istri dan anaknya, juga sebagai mitos yang telah membuatnya sejahtera.
Kesejahteraan tiada artinya kalau tanpa kawan sejati di sisinya.
Dalam karya sastra, kemanusiaan hadir
secara dinamis. Selalu ada kemungkinan fase bawah sadar sebagai jalan yang
dilalui. Memungkinkan hadirnya kedudukan manusia di tempat yang mapan sebagai
fatsun dari gejala bawah sadar. Dalam kesusastraan kemanusiaan terus diawasi,
di balik jubah kebijaksanaannya, dibalik kebijaksanaan Pak Sastro ada kegilaan,
dibalik ketinggian derajat perempuan bernama Mira ada kesan menyembunyikan kecacatan
yang tergambar begitu bermakna duniawi, juga dalam jubah kepriyaian Pak Bei,
sebagai pewaris kebijaksanaan kebudayaan Jawa, di dalamnya terjadi
perselingkuhan. Sastra mengawasi manusia dan dunianya secara kritis dan utuh,
olehnya dalam fase yang ekstrem sering menjadi instrumentasi yang tepat bahkan
bagi sebuah kekuasaan menindas dalam berbagai variasi bentuk.
Contoh-contoh karya sastra di atas
tentu hanya bagian kecil dari bentuk kompleksitas karya sastra. Kompleksitas
tidak dapat diartikan sebagai kerumitan. Kompleksitas adalah nilai kejujuran
memahami kemanusiaan juga keseimbangan menilai manusia dan hidupnya. Maka apa
yang dikatakan Rivai Apin sebagai bentuk kecil dalam tradisi puisi dapat
mendekati inti persoalan kehidupan, diartikan sebagai kesederhanaan yang
menaruh kompleksitas, dan menjauhi kerumitan.
Dengan menaruh kompleksitas di dalam
kesederhanaan, belum tentu pula karya para pengarang dapat diminati pembacanya
secara luas, toh karya-karya yang disebutkan di atas pun hanya sering disebut
oleh kalangan sastra sendiri. Tak seperti di negara maju, karya-karya terkemuka
dibicarakan bukan hanya oleh kalangan sastra belaka, tapi oleh pialang,
matematikawan, teknokrat, bahkan para politisi. Tapi setidaknya dapat dipahami
bahwa bentuk ketertarikan karya sastra adalah adanya nilai-nilai kompleksitas,
kesederhanaan dan manfaatnya bagi manusia.
Cikarang, 6 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar