Minggu, 27 September 2015

ESAI

Sastra, Kemanusiaan dan Kompleksitas
Oleh: M Taufan Musonip

Menjadi penulis, tentu saja memiliki resiko. Resiko utama yaitu ketika tulisannya tak menarik buat dibaca. Lalu sebagian orang yang tertarik menulis karya sastra, ingin bersusah payah agar karyanya dibaca melalui publikasi. Padahal sastra adalah medan penulisan dengan bentuk penulisan yang tak biasa. Misalnya gerutu Rivai Apin pada Sutan Takdir Alisjabana, tentang cercaannya kepada sastrawan angkatan 45, yang menurutnya tak ada karya besar semisal Layar Terkembang di jaman itu. Apin menanggapi bahwa “kebesaran” belum tentu dapat menggapai isi sastra itu sendiri yang tak lain adalah soal kemanusiaan yang tentu merapat pada persoalan isu-isu di dalam masanya, yaitu seputar revolusi.

Apin akhirnya menyatakan bahwa dalam penulisan kata yang sederhana dan kecil bentuknya seperti analogi puisi, justru mendekatkan kata kepada isi. Bagi saya pernyataan Rivai ini tidak sederhana, karena dalam bahasa puitik, semakin pendek bentuknya, maka isi akan sering berbenturan dengan anasir-anasir kata yang mengacaukannya, seperti kesan ambiguitas dari efek hadirnya metafora dan simbol.

Maksud saya, dengan membonceng pernyataan Rivai Apin saya ingin mencoba menelusuri kembali fungsi sastra di jaman ini, dalam artian publisitas yang merupakan medan luas bagi kesempatan pembacaan, pertanyaan yang diajukan kemudian terlintas: “Apa pengaruh sastra bagi kehidupan manusia?” di sisi lain tulisan ini tak mungkin lagi membuka wacana perseberangan antara kaum yang meyakini ideologi seni untuk seni atau seni untuk masyarakat, sebab wacana itu telah selesai, kedua-keduanya dari golongan tersebut tetap menghasilkan karya sastra yang  tidak bisa dikatakan sebagai easy reading. Ada pergulatan perenungan di dalamnya, guna merangsang pembaca merenungi arti kemanusiaan sesungguhnya.


Kesusastraan  melakukan penyegaran kembali tema-tema kemanusiaan melalui anasir-anasir estetika di dalam pembentukan bangunan tekstual. Meluruskan kembali jalan kemanusiaan, terkadang tampil apa adanya dalam mempertemukan nasib manusia, atau manusia itu sendiri. Keapaadaan itu tidaklah terasa telanjang dimaknai, sebagai sesuatu yang mudah dibaca sebagai hiburan semata, tetapi menyimpan kompleksitas persoalan manusia. Olehnya pernyataan Rivai Apin, yang membela tradisi puisi yang tumbuh pada angkatan 45 pun menaruh gejala kompleksitas.

Kompleksitas dalam persoalan manusia pada karya sastra, memungkinkan penggambaran manusia secara lengkap, sinyalnya saling berjumpaan dalam berbagai karakter tokoh dalam prosa, dalam puisi sinyal kemanusiaan yang utuh dilukiskan sebagai kesan pribadi penyair menangkap peristiwa. Materialisme berhadapan dengan cinta mati dalam karya naskah drama satu babak Utuy Tatang Sontani, Awal dan Mira. Feodalisme bersilang pendapat dengan sosialisme dalam novel Canting, Arswendo Atmowiloto. Sedang dalam Kooong Iwan Simatupang kegilaan mengkritik pikiran waras. Juga dalam puisi kontemplasi Sapardi Djoko Damono, Berjalan ke Arah Barat, kesederhanaan bahasa puisinya mengantarkan pembacanya pada persoalan kemanusiaan yang sangat dalam:

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa/ di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang// aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa/ di antara kami yang harus berjalan di depan. (1994)

Bila dipahami karya-karya besar di atas telah memberikan jalan kepada pembacanya menuju inti dari kehidupan manusia itu sendiri. Utuy Tatang Sontani, menawarkan ketinggian derajat seorang perempuan invalid korban perang dalam tokoh Mira yang dicintai mati-matian oleh tokoh Awal sebagai korban revolusi secara kejiwaan. Mira yang rupawan, yang selalu duduk di balik jongko warung kopinya, membiarkan Awal dikeroyok oleh dua lelaki yang juga berharap cinta Mira, karena tak mau menampakkan dirinya seorang invalid. Sementara di balik hormatnya Bu Bei dalam novel Canting kepada suaminya untuk memenuhi adat istiadat kepriyaian, telah diduga memiliki hubungan gelap dengan seorang buruh pekerja batik. Sementara Pak Sastro, dalam Kooong, yang begitu bijaksananya, meninggalkan harta kekayaannya demi mengejar burung perkutut gulenya, yang telah dianggapnya sebagai kawan kesepian sejak kematian istri dan anaknya, juga sebagai mitos  yang telah membuatnya sejahtera. Kesejahteraan tiada artinya kalau tanpa kawan sejati di sisinya.

Dalam karya sastra, kemanusiaan hadir secara dinamis. Selalu ada kemungkinan fase bawah sadar sebagai jalan yang dilalui. Memungkinkan hadirnya kedudukan manusia di tempat yang mapan sebagai fatsun dari gejala bawah sadar. Dalam kesusastraan kemanusiaan terus diawasi, di balik jubah kebijaksanaannya, dibalik kebijaksanaan Pak Sastro ada kegilaan, dibalik ketinggian derajat perempuan bernama Mira ada kesan menyembunyikan kecacatan yang tergambar begitu bermakna duniawi, juga dalam jubah kepriyaian Pak Bei, sebagai pewaris kebijaksanaan kebudayaan Jawa, di dalamnya terjadi perselingkuhan. Sastra mengawasi manusia dan dunianya secara kritis dan utuh, olehnya dalam fase yang ekstrem sering menjadi instrumentasi yang tepat bahkan bagi sebuah kekuasaan menindas dalam berbagai variasi bentuk.

Contoh-contoh karya sastra di atas tentu hanya bagian kecil dari bentuk kompleksitas karya sastra. Kompleksitas tidak dapat diartikan sebagai kerumitan. Kompleksitas adalah nilai kejujuran memahami kemanusiaan juga keseimbangan menilai manusia dan hidupnya. Maka apa yang dikatakan Rivai Apin sebagai bentuk kecil dalam tradisi puisi dapat mendekati inti persoalan kehidupan, diartikan sebagai kesederhanaan yang menaruh kompleksitas, dan menjauhi kerumitan.
Dengan menaruh kompleksitas di dalam kesederhanaan, belum tentu pula karya para pengarang dapat diminati pembacanya secara luas, toh karya-karya yang disebutkan di atas pun hanya sering disebut oleh kalangan sastra sendiri. Tak seperti di negara maju, karya-karya terkemuka dibicarakan bukan hanya oleh kalangan sastra belaka, tapi oleh pialang, matematikawan, teknokrat, bahkan para politisi. Tapi setidaknya dapat dipahami bahwa bentuk ketertarikan karya sastra adalah adanya nilai-nilai kompleksitas, kesederhanaan dan manfaatnya bagi manusia.
Cikarang, 6 September 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar