Minggu, 27 September 2015

ESAI

Menulis Menciptakan Lapangan Kerja bagi Penulisnya Sendiri
M. Taufan Musonip


Negara yang maju, adalah negara yang kelas menengahnya cukup besar jumlahnya. Menjadi penghuni kelas menengah bukan hanya perlu keberanian dan modal, tapi perlu kreatifitas. Belakangan ada orang mendirikan transportasi online roda dua. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya, itulah apa yang dinamakan terobosan. Setiap kreatifitas selalu menciptakan terobosan. Orang-orang yang memiliki visi inovatif, selalu mencari cara membangun konsep.

Setiap kreatifitas menciptakan lapangan kerja. Menulis itu bekerja, mencari konsep. Menjadi penulis menciptakan lapangan kerja bagi penulisnya sendiri. Pada satu sisi ia menjadi konsumen bagi buku-buku yang dibacanya sebagai bahan-bahan tulisannya. Apabila satu buku dibaca dan diapresiasi itu tandanya tercipta lapangan kerja bagi penulisnya.


Menulis belum betul-betul menjadi lahan kerja bagi banyak orang di Indonesia. Tingkat minat baca belum setinggi di negara-negara maju. Sehingga menulis hanya sekedar ibadah. Dan mindset ibadah selalu tidak ada hubungannya dengan nilai ekonomi. Padahal salah satu ibadah amaliyah di dunia adalah membangkitkan keberdayaan ekonomi. Karena kemerdekaan sebuah bangsa adalah adanya keberdayaan ekonomi masyarakatnya. Padahal para penulis hanya ingin hidup berkecukupan, mendapatkan apresiasi dari tulisan-tulisannya, karena biasanya mereka penganut kesederhanaan.

Menulis belum mendapatkan banyak minat sebagai lahan pekerjaan kreatif. Sehingga aktifitas menulis hanya bagian yang liyan bagi kehidupan profesional. Menjadi penulis profesional, selalu dikisahkan dramatis, seorang Penyair Flynn Sr dalam film Being Flynn menjadi tunawisma. Setelah tak mampu menghidupi anak istrinya. Juga sebagaimana cerita pengarang yang pernah dikisahkan Hamsun dalam novelnya Lapar, tak jauh menyedihkannya dari kehidupan Flynn. Tak usah diceritakan panjang lebar kisah Chairil Anwar yang mati muda karena terlalu berani menjadi penyair.

Saya pernah dengan bangga mengaku dihadapan anak-istri dan para sahabat bahwa saya ini seorang esais kritik sastra. Betapa lucunya hal itu, dalam artian betapa gagahnya menyebut diri seorang esais, apalagi dipanggil orang demikian, seperti terdengar setara dengan seorang pianis atau aktor yang secara penghasilanpun tak usah diragukan. Padahal dunia esai kritik sastra sedang mengalami krisis. Apresiasi terhadap sastra jarang sekali saat ini diutarakan secara serius dalam sebuah esai. Katanya esai sastra adalah elemen dalam kehidupan sastra yang paling rumit dan paling tersiksa. Kolom esai dalam koran-koran terbatas ruangnya adapun hanya untuk orang-orang tertentu saja. Cukup sulit memperjuangkan eksistensi esais dan harus memiliki ketabahan tingkat tinggi.

Betapa lucunya, tahun-tahun mencoba-coba jadi esais cukup morat-marit kehidupan ekonomi keluarga, sambil menulis dan membaca buku-buku sastra saya berdagang. Menulis catatan kebudayaan di sebuah buletin dan menjadi pembicara memang cukup hebat, tapi di sisi yang lain saya harus berpikir keras bagaimana kehidupan ekonomi keluarga terpenuhi dan mencari nafkah di luar aktifitas menulis. Dengan begitu tetap saja aktifitas menulis hanya menjadi bagian yang liyan dalam kehidupan. Lambat laun saya menjadi kurang percaya diri mengaku sebagai seorang esais.

Tapi saya pikir tak perlu mengeluh, paling tidak saya sedang menjalani dua keahlian, keahlian berdagang telah membawa saya menjadi seorang profesional sebagai seorang marketer. Secara sembunyi-sembunyi pekerjaan saya sebagai esais masih terus diretas. Secara sembunyi-sembunyi, karena menjadi seorang marketer dan penulis adalah memaksakan diri menjalani kepribadian yang mendua. Menjadi marketer, harus punya kemampuan membangun relasi untuk menciptakan pasar, sedang menjadi esais murni disadari ataupun tidak, seperti para penulis pada umumnya, adalah menciptakan sebuah karya, yang lebih memainkan perasaan diri sendiri mencari tempat sesunyi mungkin agar tulisan dapat diselesaikan. Yang satu menuntut saya untuk memiliki sikap ekstrovert di sisi yang lain saya harus memiliki sikap introvert. Tapi entah mengapa, saya punya keyakinan, bahwa pada akhirnya saya hanya akan menjadi esais saja.

Ada sebuah film, dibintangi oleh Joaquin Phoenix, film yang berjudul Her ini menceritakan seorang penulis surat pribadi, yang diguncang kehidupannya oleh sebuah system operasi internet, yang melayaninya dalam membacakan dan mengirimkan surat-surat elektronik hingga kepada persoalan pribadi. Saking pribadinya, system operasi itu mendekati sifat seorang manusia, Theodore berpacaran dengannya, menyebut namanya sebagai Samantha. Samantha, menjauhkan Theodore dari kenyataan. Lelaki introvert ini hampir menghindari kenyataan menghadapi perceraian. Baginya pengganti mantan istrinya hanya Samantha. Dengannya dia juga menghindari diri untuk dapat menikah lagi.

Saya hampir merasa menjadi Theodore. Hidup dalam entitas liyan. Meski Theodore lebih beruntung karena pekerjaannya cocok dengan sikapnya yang introvert. Menulis surat-surat pribadi. Seandainya saya dapat mengembangkan bisnis itu di sini, tentu saya akan menikmati pekerjaan itu sebagai hobby. Tapi saya menghindari resiko berkelit dari kenyataan itu. Amat menyedihkan kesepian. Dia diatur oleh bisnis, dia menjadi pekerja surat-surat pribadi, dia juga diatur oleh sebuah bisnis system operasi yang diguncang kedalaman intuisinya.

Saya hanya ingin Tuhan memberi kekuatan. Membuka pintu sedikit saja bagi orang-orang yang membawa saya kepada realitas. Sebagai sebuah bahan tulisan-tulisan saya agar dapat berupaya membumi adanya. Saya masih ingin merasakan betapa nikmatnya menanti waktu terjadinya pertemuan dengan klien, kekasih pujaan, ibu saya yang sedang memasak makanan kesukaan diisi dengan membaca buku. Sementara saya masih dapat menjaga gairah menulis dalam satu sampai beberapa jam menulis di malam hari.

Suatu hari saya hanya akan menjadi esais. Dengan bahan-bahan tulisanku tentang kehidupan yang layak dibaca oleh dunia. Lagi-lagi betapa lucunya saya, setidaknya itulah hiburan yang diciptakan diri saya sendiri. Menulis menciptakan lapangan kerja bagi penulisnya sendiri.
Cikarang, 24 September 2015



Tidak ada komentar:

Posting Komentar