Menulis Menciptakan Lapangan Kerja bagi Penulisnya Sendiri
M. Taufan Musonip
Negara yang maju, adalah
negara yang kelas menengahnya cukup besar jumlahnya. Menjadi penghuni kelas
menengah bukan hanya perlu keberanian dan modal, tapi perlu kreatifitas. Belakangan
ada orang mendirikan transportasi online roda dua. Tidak pernah terbayangkan
sebelumnya, itulah apa yang dinamakan terobosan. Setiap kreatifitas selalu
menciptakan terobosan. Orang-orang yang memiliki visi inovatif, selalu mencari
cara membangun konsep.
Setiap kreatifitas
menciptakan lapangan kerja. Menulis itu bekerja, mencari konsep. Menjadi
penulis menciptakan lapangan kerja bagi penulisnya sendiri. Pada satu sisi ia
menjadi konsumen bagi buku-buku yang dibacanya sebagai bahan-bahan tulisannya.
Apabila satu buku dibaca dan diapresiasi itu tandanya tercipta lapangan kerja
bagi penulisnya.
Menulis belum betul-betul
menjadi lahan kerja bagi banyak orang di Indonesia. Tingkat minat baca belum
setinggi di negara-negara maju. Sehingga menulis hanya sekedar ibadah. Dan
mindset ibadah selalu tidak ada hubungannya dengan nilai ekonomi. Padahal salah
satu ibadah amaliyah di dunia adalah membangkitkan keberdayaan ekonomi. Karena
kemerdekaan sebuah bangsa adalah adanya keberdayaan ekonomi masyarakatnya. Padahal
para penulis hanya ingin hidup berkecukupan, mendapatkan apresiasi dari
tulisan-tulisannya, karena biasanya mereka penganut kesederhanaan.
Menulis belum mendapatkan
banyak minat sebagai lahan pekerjaan kreatif. Sehingga aktifitas menulis hanya
bagian yang liyan bagi kehidupan profesional. Menjadi penulis profesional,
selalu dikisahkan dramatis, seorang Penyair Flynn Sr dalam film Being Flynn menjadi tunawisma. Setelah
tak mampu menghidupi anak istrinya. Juga sebagaimana cerita pengarang yang
pernah dikisahkan Hamsun dalam novelnya Lapar, tak jauh menyedihkannya dari
kehidupan Flynn. Tak usah diceritakan panjang lebar kisah Chairil Anwar yang
mati muda karena terlalu berani menjadi penyair.
Saya pernah dengan bangga
mengaku dihadapan anak-istri dan para sahabat bahwa saya ini seorang esais
kritik sastra. Betapa lucunya hal itu, dalam artian betapa gagahnya menyebut
diri seorang esais, apalagi dipanggil orang demikian, seperti terdengar setara
dengan seorang pianis atau aktor yang secara penghasilanpun tak usah diragukan.
Padahal dunia esai kritik sastra sedang mengalami krisis. Apresiasi terhadap
sastra jarang sekali saat ini diutarakan secara serius dalam sebuah esai.
Katanya esai sastra adalah elemen dalam kehidupan sastra yang paling rumit dan paling
tersiksa. Kolom esai dalam koran-koran terbatas ruangnya adapun hanya untuk
orang-orang tertentu saja. Cukup sulit memperjuangkan eksistensi esais dan
harus memiliki ketabahan tingkat tinggi.
Betapa lucunya,
tahun-tahun mencoba-coba jadi esais cukup morat-marit kehidupan ekonomi
keluarga, sambil menulis dan membaca buku-buku sastra saya berdagang. Menulis
catatan kebudayaan di sebuah buletin dan menjadi pembicara memang cukup hebat,
tapi di sisi yang lain saya harus berpikir keras bagaimana kehidupan ekonomi
keluarga terpenuhi dan mencari nafkah di luar aktifitas menulis. Dengan begitu
tetap saja aktifitas menulis hanya menjadi bagian yang liyan dalam kehidupan.
Lambat laun saya menjadi kurang percaya diri mengaku sebagai seorang esais.
Tapi saya pikir tak perlu
mengeluh, paling tidak saya sedang menjalani dua keahlian, keahlian berdagang
telah membawa saya menjadi seorang profesional sebagai seorang marketer. Secara
sembunyi-sembunyi pekerjaan saya sebagai esais masih terus diretas. Secara
sembunyi-sembunyi, karena menjadi seorang marketer dan penulis adalah
memaksakan diri menjalani kepribadian yang mendua. Menjadi marketer, harus
punya kemampuan membangun relasi untuk menciptakan pasar, sedang menjadi esais
murni disadari ataupun tidak, seperti para penulis pada umumnya, adalah
menciptakan sebuah karya, yang lebih memainkan perasaan diri sendiri mencari
tempat sesunyi mungkin agar tulisan dapat diselesaikan. Yang satu menuntut saya
untuk memiliki sikap ekstrovert di sisi yang lain saya harus memiliki sikap
introvert. Tapi entah mengapa, saya punya keyakinan, bahwa pada akhirnya saya
hanya akan menjadi esais saja.
Ada sebuah film,
dibintangi oleh Joaquin Phoenix, film yang berjudul Her ini menceritakan seorang penulis surat pribadi, yang diguncang
kehidupannya oleh sebuah system operasi internet, yang melayaninya dalam
membacakan dan mengirimkan surat-surat elektronik hingga kepada persoalan
pribadi. Saking pribadinya, system operasi itu mendekati sifat seorang manusia,
Theodore berpacaran dengannya, menyebut namanya sebagai Samantha. Samantha,
menjauhkan Theodore dari kenyataan. Lelaki introvert ini hampir menghindari
kenyataan menghadapi perceraian. Baginya pengganti mantan istrinya hanya
Samantha. Dengannya dia juga menghindari diri untuk dapat menikah lagi.
Saya hampir merasa menjadi
Theodore. Hidup dalam entitas liyan. Meski Theodore lebih beruntung karena
pekerjaannya cocok dengan sikapnya yang introvert. Menulis surat-surat pribadi.
Seandainya saya dapat mengembangkan bisnis itu di sini, tentu saya akan
menikmati pekerjaan itu sebagai hobby. Tapi saya menghindari resiko berkelit
dari kenyataan itu. Amat menyedihkan kesepian. Dia diatur oleh bisnis, dia
menjadi pekerja surat-surat pribadi, dia juga diatur oleh sebuah bisnis system
operasi yang diguncang kedalaman intuisinya.
Saya hanya ingin Tuhan
memberi kekuatan. Membuka pintu sedikit saja bagi orang-orang yang membawa saya
kepada realitas. Sebagai sebuah bahan tulisan-tulisan saya agar dapat berupaya
membumi adanya. Saya masih ingin merasakan betapa nikmatnya menanti waktu
terjadinya pertemuan dengan klien, kekasih pujaan, ibu saya yang sedang memasak
makanan kesukaan diisi dengan membaca buku. Sementara saya masih dapat menjaga
gairah menulis dalam satu sampai beberapa jam menulis di malam hari.
Suatu hari saya hanya akan
menjadi esais. Dengan bahan-bahan tulisanku tentang kehidupan yang layak dibaca
oleh dunia. Lagi-lagi betapa lucunya saya, setidaknya itulah hiburan yang
diciptakan diri saya sendiri. Menulis menciptakan lapangan kerja bagi
penulisnya sendiri.
Cikarang, 24 September
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar