Minggu, 27 September 2015

ESAI

Mengikuti Gairah Cogan
M Taufan Musonip


Ini hari saya mulai menulis kembali. Dunia makin keras. Perlu terobosan untuk memenangkan pertarungan mendapatkan tempat paling tepat bagi siapapun yang bekerja dalam bidang apapun. Dunia semakin tidak memerlukan orang bertabiat pemurung. Hanya diperlukan gairah. Para marketer menyebutnya passion.

Dunia marketer adalah sebuah entitas paling diperlukan bagi kehidupan. Sehebat apapun sebuah kebudayaan bangsa tanpa gairah marketer, bangsamu hanya akan terlihat di sebuah tempat di sudut bumi paling asing. Orang-orang sudah lelah membicarakan hal-hal besar. Sebuah perkumpulan manusia di berbagai tempat, hanya hidup dalam basa-basi. Dan basa-basi itu sebuah keahlian besar bagi seorang marketer.

Olehnya mana bisa hidup dalam di kemegahan para marketer tanpa bisa meninggalkan sifat-sifat kemurungan. Raihlah hati semua manusia dengan penuh keceriaan dan gairah! Agar engkau mendapatkan simpati. Saya pikir semua manusia akan menyetujui tujuan sejati manusia adalah kebahagiaan. Sebuah cara pandang manusia tentang dunia yang sangat purba.


Pada masa itulah saya yang terbawa arus dunia, meninggalkan kegiatan menulis. Saya rapikan kemeja sebagai simbol pergaulan yang layak dan formal, jiwa di balik cermin berbicara, siapapun mampu menggenggam dunia dalam kesungguhan. Saya mulai melangkah menjauhi kesunyian.

Ada banyak orang saya temui. Tak ada yang bisa diajak bicara mendalam tentang apapun, kecuali tentang kehidupan politik negara ini, ketika masa pemilu. Orang-orang yang suka berbicara serius tentang kehidupan, entah berada di belahan dunia yang mana. Kebahagiaan sudah mulai diyakini dengan mudah didapatkan. saya tenggelam dalam konsep itu. Buku-buku filsafat dan ilmu di dalamnya hanya bangunan usang yang tak lagi dapat ditinggali. Hanya disisakan beberapa novel. Itupun kalah dengan mulainya menyenangi menonton film.

Film-film yang kutonton semuanya berbicara tentang gairah. Salah satunya adalah Film Killing Them Softly dibintangi oleh Brad Pitt. Jacky Cogan sebagai pembunuh bayaran dengan penuh kelembutan membunuh semua sasarannya dari jauh, tanpa harus merasakan ledakan emosi dan belas kasihan para korbannya. Saya pun merasa miris, di dunia ini seorang pembunuh bisa sangat menguasai sendi-sendi kehidupan. Orang-orang yang menyuruh Cogan membunuh adalah politisi, mafia perjudian dan peredaran senjata. Dengan begitu stabilitas sebuah negara menjadi terkendali. Cogan mengajarkan Passion itu. Gairah mengendalikan emosi seorang manusia untuk bekerja dengan sepenuh jiwa, melalui konsepsi untuk menjangkau kehidupan yang tak biasa. Kehidupan yang tak biasa itulah saya anggap sebagai kesenian. Karena dalam kesenian, kehidupan dipaksa untuk menciptakan. Kesenian dalam hidup selalu memaksa orang menciptakan terobosan.

Saya percaya orang-orang seperti Cogan ada di sekitar kita. Mengerjakan sesuatu secara dingin, penuh konsepsi, dan tanpa melihat keadaan dia akan melakukan terobosan yang bisa saja melukai. Film sebuah seni pula. Tiruan yang bercermin pada kehidupan yang sesungguhnya.
Film itu menciptakan langkah saya yang baru. Menciptakan konsepsi, dengan ritmenya mengikuti gairah. Dunia sudah dekat dapat kugenggam, saya melakukan banyak lobbying, negoisasi, setiap langkah harus saya yakinkan dapat mematikan para kompetitor. Secara mendalam kupelajari semua karakter dan sifat para klien. Semakin saya dapat memenangkan peperangan, berbagai transaksi terjadi.

Semuanya selalu menciptakan kegelisahan. Kegelisahan yang selalu membawa bayang-bayang kekalahan. Semakin kegelisahan menjadi, semakin saya merasakan bahwa kekalahan itu misteri. Misteri dalam dua sisi. Sisi pertama adalah sebuah mekanisme yang luput diduga yang mematikan saat aku lengah. Sisi lainnya adalah nasib yang sering kita pertaruhkan, bahwa ada kekuatan ghaib yang tak bisa ditundukan saat saya harus mengaku kalah.

Orang-orang sering lupa dalam mempelajari kekalahan dari peran-peran besar yang pernah mencengkram kehidupan sebuah entitas manusia. Saya pernah membaca Perang Pasifik Karya PK Ojong, menurutnya Jepang kalah karena adanya penyakit kemenangan (victory deseases) setelah angkatan udara mereka kuat. Kemenangan selalu membuat orang melupakan derita dalam juang. Di sini saya tiba-tiba melihat kemenangan bukanlah segalanya.

Setiap orang perlu merasakan kekalahan, merasakan betapa dinamisnya kehidupan. Setiap kekalahan membawa manusia ke dalam sudut terasingnya. Bahkan dalam sudut paling asing manusia mendapati tempat paling tinggi, bahwa kemenangan nyata adalah ketika suatu kali di jaman di mana dirinya sudah tak lagi ada, konsepsinya abadi dihayati paling tidak oleh anak cucunya. Ada banyak manusia jenis ini, misalkan bisa saya sebut pejuang semacam Tan Malaka, yang hidupnya menderita sepanjang masa, merantau sejak masa muda di berbagai Negara, merumuskan jalan kemerdekaan negaranya, dalam sebuah buku yang dalam bahasa Indonesianya diartikan Menuju Indonesia Merdeka, harus berakhir tragis oleh peluru revolusi yang tengah bergulir. Peluru revolusi yang ia angan-angankan sendiri. Dia hidup memerankan sebagai orang kalah secara sempurna, namun cukup dikenang sebagai pejuang besar.

Passion memang menjaga ritme perjuangan manusia. Menciptakan ide dan konsep yang dianggap besar. Terus dijalankan untuk diuji dalam keadaan menang dan kalah. Bersyukur kalau dapat diendus bakal kalah secara cepat. Dikukuhkan langkah dengan konsep yang baru. Untuk kemenangan selanjutnya. Tetapi dua keadaan itu selalu datang secara tiba-tiba, kalau tidak, tak akan pernah membuat orang merasa gelisah. Maka berhentilah sejenak,  dalam keadaan itu terkadang Tuhan pun disebut secara intim. Meminta bantuan-Nya dengan tarikan nafas mendalam.

Saya pun begitu, pernah kalah berhenti menulis. Pernah saya berpikir buat apa lelah-lelah menulis untuk memikirkan dunia, kalau di bidang lain dapat segera menemukan keceriaan hidup. Tapi ternyata tidak juga, ada kalanya di sana, dunia dilihat secara menjenuhkan, dan saat terpuruk seperti itu, saya merasa menulis menjadi penghiburan. Menarik ide besar melalui hisapan mendalam sebatang rokok.  Rasanya begitu lucu hidup ini, saya seperti berpura-pura menikmati kehidupan di luar tulisan, dan dengan belagunya kini semua perjalanan hidup itu seolah-olah dapat saya jadikan bahan-bahan untuk menulis. Ya lucu, mau apa sebenarnya hidup di dunia ini?

Cikarang, 21 September 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar