Mengikuti Gairah Cogan
M Taufan Musonip
Ini hari saya mulai
menulis kembali. Dunia makin keras. Perlu terobosan untuk memenangkan
pertarungan mendapatkan tempat paling tepat bagi siapapun yang bekerja dalam
bidang apapun. Dunia semakin tidak memerlukan orang bertabiat pemurung. Hanya
diperlukan gairah. Para marketer menyebutnya passion.
Dunia marketer adalah
sebuah entitas paling diperlukan bagi kehidupan. Sehebat apapun sebuah
kebudayaan bangsa tanpa gairah marketer, bangsamu hanya akan terlihat di sebuah
tempat di sudut bumi paling asing. Orang-orang sudah lelah membicarakan hal-hal
besar. Sebuah perkumpulan manusia di berbagai tempat, hanya hidup dalam
basa-basi. Dan basa-basi itu sebuah keahlian besar bagi seorang marketer.
Olehnya mana bisa hidup
dalam di kemegahan para marketer tanpa bisa meninggalkan sifat-sifat
kemurungan. Raihlah hati semua manusia dengan penuh keceriaan dan gairah! Agar
engkau mendapatkan simpati. Saya pikir semua manusia akan menyetujui tujuan sejati
manusia adalah kebahagiaan. Sebuah cara pandang manusia tentang dunia yang
sangat purba.
Pada masa itulah saya yang
terbawa arus dunia, meninggalkan kegiatan menulis. Saya rapikan kemeja sebagai
simbol pergaulan yang layak dan formal, jiwa di balik cermin berbicara,
siapapun mampu menggenggam dunia dalam kesungguhan. Saya mulai melangkah
menjauhi kesunyian.
Ada banyak orang saya
temui. Tak ada yang bisa diajak bicara mendalam tentang apapun, kecuali tentang
kehidupan politik negara ini, ketika masa pemilu. Orang-orang yang suka
berbicara serius tentang kehidupan, entah berada di belahan dunia yang mana.
Kebahagiaan sudah mulai diyakini dengan mudah didapatkan. saya tenggelam dalam
konsep itu. Buku-buku filsafat dan ilmu di dalamnya hanya bangunan usang yang
tak lagi dapat ditinggali. Hanya disisakan beberapa novel. Itupun kalah dengan
mulainya menyenangi menonton film.
Film-film yang kutonton
semuanya berbicara tentang gairah. Salah satunya adalah Film Killing Them Softly dibintangi oleh Brad
Pitt. Jacky Cogan sebagai pembunuh bayaran dengan penuh kelembutan membunuh
semua sasarannya dari jauh, tanpa harus merasakan ledakan emosi dan belas
kasihan para korbannya. Saya pun merasa miris, di dunia ini seorang pembunuh
bisa sangat menguasai sendi-sendi kehidupan. Orang-orang yang menyuruh Cogan
membunuh adalah politisi, mafia perjudian dan peredaran senjata. Dengan begitu
stabilitas sebuah negara menjadi terkendali. Cogan mengajarkan Passion itu.
Gairah mengendalikan emosi seorang manusia untuk bekerja dengan sepenuh jiwa,
melalui konsepsi untuk menjangkau kehidupan yang tak biasa. Kehidupan yang tak
biasa itulah saya anggap sebagai kesenian. Karena dalam kesenian, kehidupan dipaksa
untuk menciptakan. Kesenian dalam hidup selalu memaksa orang menciptakan
terobosan.
Saya percaya orang-orang
seperti Cogan ada di sekitar kita. Mengerjakan sesuatu secara dingin, penuh
konsepsi, dan tanpa melihat keadaan dia akan melakukan terobosan yang bisa saja
melukai. Film sebuah seni pula. Tiruan yang bercermin pada kehidupan yang
sesungguhnya.
Film itu menciptakan
langkah saya yang baru. Menciptakan konsepsi, dengan ritmenya mengikuti gairah.
Dunia sudah dekat dapat kugenggam, saya melakukan banyak lobbying, negoisasi,
setiap langkah harus saya yakinkan dapat mematikan para kompetitor. Secara
mendalam kupelajari semua karakter dan sifat para klien. Semakin saya dapat
memenangkan peperangan, berbagai transaksi terjadi.
Semuanya selalu menciptakan
kegelisahan. Kegelisahan yang selalu membawa bayang-bayang kekalahan. Semakin
kegelisahan menjadi, semakin saya merasakan bahwa kekalahan itu misteri. Misteri
dalam dua sisi. Sisi pertama adalah sebuah mekanisme yang luput diduga yang
mematikan saat aku lengah. Sisi lainnya adalah nasib yang sering kita
pertaruhkan, bahwa ada kekuatan ghaib yang tak bisa ditundukan saat saya harus
mengaku kalah.
Orang-orang sering lupa
dalam mempelajari kekalahan dari peran-peran besar yang pernah mencengkram
kehidupan sebuah entitas manusia. Saya pernah membaca Perang Pasifik Karya PK Ojong, menurutnya Jepang kalah karena
adanya penyakit kemenangan (victory deseases) setelah angkatan udara mereka
kuat. Kemenangan selalu membuat orang melupakan derita dalam juang. Di sini saya
tiba-tiba melihat kemenangan bukanlah segalanya.
Setiap orang perlu
merasakan kekalahan, merasakan betapa dinamisnya kehidupan. Setiap kekalahan membawa
manusia ke dalam sudut terasingnya. Bahkan dalam sudut paling asing manusia
mendapati tempat paling tinggi, bahwa kemenangan nyata adalah ketika suatu kali
di jaman di mana dirinya sudah tak lagi ada, konsepsinya abadi dihayati paling
tidak oleh anak cucunya. Ada banyak manusia jenis ini, misalkan bisa saya sebut
pejuang semacam Tan Malaka, yang hidupnya menderita sepanjang masa, merantau
sejak masa muda di berbagai Negara, merumuskan jalan kemerdekaan negaranya,
dalam sebuah buku yang dalam bahasa Indonesianya diartikan Menuju Indonesia Merdeka, harus berakhir tragis oleh peluru
revolusi yang tengah bergulir. Peluru revolusi yang ia angan-angankan sendiri.
Dia hidup memerankan sebagai orang kalah secara sempurna, namun cukup dikenang
sebagai pejuang besar.
Passion memang menjaga
ritme perjuangan manusia. Menciptakan ide dan konsep yang dianggap besar. Terus
dijalankan untuk diuji dalam keadaan menang dan kalah. Bersyukur kalau dapat
diendus bakal kalah secara cepat. Dikukuhkan langkah dengan konsep yang baru.
Untuk kemenangan selanjutnya. Tetapi dua keadaan itu selalu datang secara
tiba-tiba, kalau tidak, tak akan pernah membuat orang merasa gelisah. Maka
berhentilah sejenak, dalam keadaan itu
terkadang Tuhan pun disebut secara intim. Meminta bantuan-Nya dengan tarikan
nafas mendalam.
Saya pun begitu, pernah
kalah berhenti menulis. Pernah saya berpikir buat apa lelah-lelah menulis untuk
memikirkan dunia, kalau di bidang lain dapat segera menemukan keceriaan hidup.
Tapi ternyata tidak juga, ada kalanya di sana, dunia dilihat secara menjenuhkan,
dan saat terpuruk seperti itu, saya merasa menulis menjadi penghiburan. Menarik
ide besar melalui hisapan mendalam sebatang rokok. Rasanya begitu lucu hidup ini, saya seperti
berpura-pura menikmati kehidupan di luar tulisan, dan dengan belagunya kini
semua perjalanan hidup itu seolah-olah dapat saya jadikan bahan-bahan untuk
menulis. Ya lucu, mau apa sebenarnya hidup di dunia ini?
Cikarang, 21 September
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar