Senin, 27 Mei 2013

Esai

Andangdjaja: dari Ketakteraturan kepada Keteraturan
Oleh M Taufan Musonip

Subjek “kita” dalam kumpulan esai tentang puisi, Dari Sunyi ke Bunyi oleh Hartojo Andangdjaja (1991) seakan berkesan didaktik, maklum penulis yang termasuk ke dalam golongan Manifes Kebudayaan ini, adalah seorang guru. Subjek “kita”, tersebar penuh dalam membahas jenis-jenis genre penulisan puisi. Apakah kemudian subjek tersebut merupakan cara pengucapan yang hendak menutup ruang pembaca untuk mengisi ruang kosong struktur dalam teks, sebagaimana Rifaterre, bahwa bagaimanapun dalam pengucapan sastrawi, memungkinkan pembaca punya penafsiran sendiri.

Meski mungkin hal itu lebih merujuk pada soal-soal puitik, sebenarnya bisa dilanjutkan pada persoalan posisi kritik sastra di tengah pembaca, karya dan pengarang oleh Arif Bagus Prasetyo (Horison, 2011) bukan lagi semata-mata rujukan yang mengantarkan membaca pada sebuah karya, akan tetapi merupakan jembatan “indah” yang dapat dinikmati tanpa memberi pengaruh kuat, untuk membangun strategi pembacaan sendiri pembaca karya kritik.

Subjek “kita” memberi pengertian retorik dalam istilah paralingual, dapat diartikan muncul sebagai bentuk pertimbangan di luar kata, sehingga nampak persuasif, menimbulkan efek searah. Inilah yang membuat bahasan-bahasan Hartojo mengenai puisi, seakan lebih hangat, seakan puisi-puisi yang dibahas begitu familier di hadapan pembaca.

Kamis, 09 Mei 2013

Esai


Darsam dan Minke : antara Akar Kekerasan dan Mimikri
Oleh M Taufan Musonip

Tentulah kritik postkolonial merupakan cara paling tepat buat telaah atas roman Bumi Manusia karya salah satu tetralogi Pulau Buru itu. Yang paling menarik adalah esai Keith Foulcher yang mendedah soal mimikri diskursif, dari karya Homi Bhabha dengan objek pembahasan Novel Sitti Noerbaja (Sastra Indonesia Modern, Kritik Postkolonial. 2008).

Mimikri diskursif adalah perkembangan hibriditas budaya kolonial terhadap penduduk pribumi, yang bisa kita ambil penuh sejak dicetuskannya politik etis pada masa trias van Deventer, bagaimana menciptakan sebuah hubungan harmonis antar benua jauh, dengan menciptakan masyarakat pribumi berbudaya orang kulit putih. Yang disasar tentunya mereka para kelas menengah dan kaum aristokrat. Bhabha mengkritik Franz Fanon, bahwa pilihan psikis kawula terjajah ketika berusaha menjadi “putih” akan menghilangkan identitas beserta segenap kebudayaanya bagi kulit berwarna adalah tidak wajar, sebab yang terjadi justru kamuflase identitas, guna membangun semacam kritik terhadap tradisinya sendiri termasuk gelombang “pemutihan” itu juga (Foulcher, 2008).