Minggu, 30 Desember 2012

Esai


Puisi, Sains dan Keterbatasan Ruang Spasial  
Oleh: M Taufan Musonip

­1­
http://bakulseni.com/galery-lukisan/80-lukisan-pohon gajah.html
Eksistensialisme menghapus sistem kebudayaan paternalistik, membuka kesempatan setiap orang membangun dirinya, melalui autentifikasi kekaryaan, sebagai rangkaian lanjutan kekaryaan yang telah lebih dulu ada dalam bentuk kritisisme dan pembaruan.  Di sinilah kemudian istilah ephocal occusions oleh Alfred North Whitehead dalam bukunya Religion in The Making, mendapatkan gemanya.

Ephocal occusions semacam implikasi pemanfaatan kesempatan spasial manusia, ditengah­tengah arus realitas faktual. Sekilas istilah ini mirip dengan kerja katarsis yang digaungkan kembali oleh Horkhaimer sebagai tempat pemurnian kepentingan­kepentingan, teori ilmu pengetahuan dan politik. Yang kemudian mengagungkan kesunyian sebagai cara mengada menghadapi realitas. Narasi Whitehead tentang kesunyian dianalogikan sebagai titik api yang hendak meretas pada aktualitas. Titik­titik api itu akan menempati tahap kedua kesunyian, yaitu hadirnya perkumpulan di luar realitas faktual. Maka strukturalisme Whitehead menemui semacam diskontinuitas sejarah berupa perubahan tatanan yang dimulai dari lahirnya perubahan prilaku manusia.

­2­
Ada dua bangunan kekaryaan pada kesempatan spasial manusia. Yang pertama sains, kemudian sastrawi, secara spesifik saya ingin menyebutnya puisi. Sains dan Puisi bercorak individual, reflektif. Di dalamnya terdapat bukti­bukti imajiner bahwa pada kenyataannya keduanya membangun realitas di atas realitas faktual. Meski sains sering dikatakan sebagai bukti­bukti objektif prilaku alam semesta, bahasa yang diciptakan merupakan refleksi yang memungkinkan eksistensialisme. Puisi memberi pengaruh letak eksistensialisme dalam refleksi sains, yang mampu menjangkau semesta arketip serta memahami batas­batas kemampuan manusia. Meski Newton membangun ilmu mekanisme ortodoks, kenyataannya kerja kreatifnya terbangun dari kepercayaannya terhadap klenik. Seperti halnya Archimedes sebelum berteriak Eureka, refleksi pengalamannya terhadap berat jenis emas terhadap air, merupakan bukti adanya kesempatan spasial yang memungkinkan penciptaan ketetapan simbolik mirip proses kreatifitas penggubahan puisi. Begitu pula dengan ilmu heliosentris Galileo Galilei, melampaui kerja empirik saat kemungkinan atas keyakinan itu tidak diperoleh ketika Galilei terbang menuju matahari.

Pertarungan kepercayaan dalam perkembangan ilmu mekanika kuantum, oleh Schrondinger dan Heissenberg, bukan bercerita soal prilaku atomis, tetapi fantasi pembacaan faktual, yang satu memahami bahwa jangkauan indera memiliki batas eksplorasi, sementara Schrondinger, memahami bahwa tanpa pengamatan indera manusia, kenyataannya realitas faktual tetap mengalami pergerakan.

Maka dapatlah kita menarik sebuah titik persamaan, puisi dan sains merupakan kekaryaan yang dihasilkan dalam kesempatan spasial sebagai usaha reflektif dan imajiner di dalam penglihatan atas realitas faktual dalam jarak tertentu.

Lalu bagaimana sains mempengaruhi penggubahan puisi?, sains menyuguhkan realitas­realitas faktual dalam pertarungan antar ideologi ­­­bahwa sains tak pernah berjalan sebagaimana adanya akan tetapi tergantung cara pandang seorang peneliti. Setelah itu, di dalamnya terdapat manipulasi­manipulasi fakta kejadian dengan permainan simbol. Sains dan puisi sama­sama menciptakan fiksi, realitas fiksi keduanya bermanfaat terapis terhadap berbagai kejadian faktual.

­3­
Terlepasnya manusia dalam berbagai konstanta dalam pengalaman puitik menjadikan kerja sains aktual terhadap penemuan­penemuan baru, sebagai bukti kritisisme, memungkinkan kerja puitik dan sains melahirkan pribadi manusia autentik.

Agar dapat menciptakan autentifikasi, keduanya haruslah membangun realitas, puisi membangun kepribadian romantik sementara sains membangun kepribadian teknokratik. Kemudian dua kepribadian itu menghadirkan kesempatan spasial kedua yaitu sosialitas, di mana karya­karya dibicarakan. Sosialitas mempersatukan titik­titik api, menjadi awal perubahan, penciptaan realitas yang lebih makro terhadap realitas faktual.

Keduanya kemudian membentuk keberdayaan teknologi, yang diimbangi oleh karakter romantik, kepedulian terhadap sesama, dan lingkungan hidup sebagai imbangan eksploitasinya dalam teknologi.

Kini banyak tata ruang dibangun oleh teknologi, mengacaukan dua zona manusia ­­­desa dan kota­­­ melalui industrialisasi dan perkotaan mandiri tanpa menyediakan ruang spasial tempat orang berkumpul, membangun dua tahap pengasingan, kerja kreatif dan komunitas di atas realitas faktual yang acap kali memerlukan perubahan.

Terbatasnya ruang­ruang spasial yang mendukung kerja kreatif manusia seperti gedung­gedung apresiasi seni dan taman hijau di tengah hegemoni tata ruang perkotaan mandiri dan industrialisasi, membuktikan tidak adanya persinggungan antara realitas yang dibangun dalam kerja sains dan kreatifitas dalam kerja seni.

Sains dalam pergerakan teknologi masih bersifat materialistis dalam gaung keangkuhan kapitalisme, sementara penyair belum keluar dalam kamarnya, membangun tahap kedua pengasingan, memberi implikasi romantik dalam berbagai struktur kehidupan, kecuali sekedar permainan bahasa. Kemudian yang dirasakan adalah adanya perceraian antara saintis dan penyair, yang satu terlalu imajiner yang lain tengah asik terkurung dalam berbagai konstanta persamaan yang menjanjikan bias kebahagiaan dari hasil eksploitasi lingkungan hidup.
***
 Cikarang, Dini hari 26 April 2012
Dimuat di Radar Seni
http://radarseni.com/2012/11/17/572/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar