Kentut Pemikiran
*Lamunan Seorang Eksistensialis
Oleh: M Taufan Musonip
Orang-orang pada ribut soal manusia
paripurna yang pernah dicetuskan oleh filosof barat bernama Nietzsche. Mereka
kini benar-benar tak pernah lagi menengok ke belakang. Maju ke depan dengan
langkah sedikit tergesa-gesa.
Slogan ubermensch terpahat di tiap
pintu kerja, sebagai pencetus kehendak untuk berkuasa. Apa tidak repot para
pemilik pabrik itu?, memiliki anak buah pada mengejar prestasi. Loh, apanya
yang repot, mereka justru merasa terbantu memiliki bawahan yang gila prestasi,
karena dapat mendongkrak efisiensi dan keuntungan. Kekuasaan memang sebuah
magnet, jadi tak perlu dijadikan tabu. Sejauh orang punya kualitas, kekuasaan
menjadi keniscayaan.
Tapi, kan mengejar kekuasaan bukan hanya itung-itungan prestasi, ada
kehendak untuk menyingkirkan yang lain. Dalam rentang sejarahnya kekuasaan
selalu bermuara pada kubangan darah. Ken Arok, Napoleon Bonaparte, Jengis Khan,
Alexander, Soeharto, Lenin, Stalin, hingga Castro mereka pendamba kekuasaan,
dari jaman yang diliputi selimut darah dengan wajah langit yang dingin.
Kamu pintar. Tapi lebih bijak
harusnya kamu mengatakan bahwa karena kehadiran mereka peradaban berkata lain.
Dan mereka adalah pencetus peradaban pada masanya. Kamu juga harusnya tahu,
peradaban mereka melawan arus kemunafikan, manusia pada dasarnya adalah insting
yang ditutupi kekuasaan. Kebenaran adalah kekuasaan. Dan perjalanan kekuasaan
dengan linangan darah dan airmata adalah seni kehidupan. Kau paham?
Bis berjalan agak lambat. Kamu dalam
mataku bisa lega melihat jalanan kota yang lengang. Ini hari minggu kamu tak
pergi ke gereja?. Tidak, gereja ada dalam dadaku.
Hei, lihat aku melihat orang
bersenggama di atas jeepnya, hanya ditutupi alang-alang yang bergerak mundur
dimataku. Nah itu juga, di sebuah parasol, seorang anak muda berciuman dengan…
O, dengan wanita yang mungkin umurnya lebih tua 15 tahun dari umurnya.
Astaganaga!.
Ini jaman Nihilisme, sohib. Keruntuhan moral.
Ah, jangan tatapanmu seperti anjing mengintai para pencoleng, begitu! Keruntuhan
moral soal biasa di jaman begini. Kamu tahu, seorang titisan Nietzsche, Derrida dari Perancis
pernah bilang, moral adalah teks yang dianggap sebagai pusat kehadiran itu
diruntuhkan menjadi sesuatu tanpa apa-apa. Moral, teks, apaan tuh? Sekedar
teks.
Tunggu dulu, jangan terburu-buru. Apa
yang kamu bilang itu, termasuk tentang kebenaran yang pernah kau utarakan sebagai
kekeliruan-keliruan guna mengamini hidup perlu dikaji lagi, sobat. Kebenaran
menghasilkan penafsiran. Kekeliruan adalah bukti bahwa setiap insan memiliki
kelemahan dalam memproduksi kebenaran dan menafsirnya.
Uh… kamu sekarang sudah pintar ya
teman.
Jangan kau potong dulu, aku belum
selesai!
Baik coba teruskan.
Apa yang kau bilang bahwa kebenaran adalah
teks yang sekarang kau yakini itu sebagai tak ada apa-apa itu tidak bebas
nilai. Apa yang hendak kau definisikan tentang tidak apa-apa itu?
Ya tidak ada apa-apa, kosong.
Kosong?
Ya kosong, nihil.
Jadi teks yang ada bermula dari yang
kosong, dan kau meyakini bahwa yang ada adalah sebuah keputusan untuk mencukupi
kehendak keberkuasaanmu yang kau ambil dari teks tentang kebenaran? Sehingga kau
bebas menafsirkan kebenaran?
Benar. Ah tiba-tiba saja aku ingin
merokok. Mendengar kamu terus nyrocos
tentang ini semua buat aku pusing,
serotoninku menurun, aku ingin merokok. Bolehkah aku meminjam bibirmu untuk
merokok?
Tiba-tiba asap menjalar ke mana-mana.
Kau tidak melihat apa, orang-orang pada menutup hidung gara-gara kau merokok.
Habis kamu bawa aku dengan bis bau
dan jorok seperti ini, filsuf eksistensial kok
naik bis ekonomi. Tiba-tiba aku ingin mematikan rokokku, boleh kupinjam kakimu
untuk menelekan rokokku di lantai bis. Ah, kau!
Tadi sampai mana?
Tiba-tiba terlihat para polisi
mengejar seseorang di terminal, tembakannya membabi buta. Orang itu lihai
mengelak peluru. Tiga orang mati, gara-gara kawanan polisi salah tembak. Para
penumpang berdiri takjub melihat kejadian di luar bis. Sambil memegang pipi
mereka, ini mimpi atau tidak.
Nah, matamu itu. Sudah mulai percaya
bahwa eksistensialisme tak lain dari kebejatan.
Dari mana kau tahu?
Sudah empat puluh tahun hidup
bersamamu, aku tahu benar bahasa
tubuhmu. Idih, lebay.
Tadi sampai mana?
Ah, tak perlu kau pikirkan,
pertanyaanku sudah final, kamu bilang teks sebagai kebenaran selalu ada tanpa
pusat kehadiran, kosong, dan kau sebagai seinde
bebas menafsir semua teks yang ada. Kosong itu jelas bernilai bagi seinde-mu itu, lalu kau merasa
benar-benar menjadi sein. Apa yang
kau bilang bahwa kebenaran adalah kekeliruan-kekeliruan guna menerjang arus
hidup, juga tidak bebas nilai, kekeliruan adalah dampak kesalahan sensorik dan
pemikiranmu sendiri. Atau dengan liciknya kamu mau bilang bahwa kekeliruan
adalah kodratnya teks? sementara di sisi lain teks adalah sesuatu yang hampa
yang memiliki fungsi sebagai bahan pemikiran.
Kamu pintar. Akal budimu menguasai
apa yang aku pikirkan. Sst, hatimu tergelitik, kau sebenarnya selalu senang
disanjung seperti itu olehku, Ya?
Loh, kenapa hatiku berdegup kencang
seperti ini. Aku seperti kasmaran. Kau yang telah membuatnya,
hatiku tersentuh.
Betul kan kau senang aku sanjung begitu?
Tidak!
Jangan bohong.
Tidak!
Semakin kau bilang tidak hatimu
selalu mudah ku baca. Kau senang aku sanjung, kan?
Tidak!
Kau memang seperti para politisi,
munafik. Iya, tidak?
Iya eh tidak!
Iya, tidak?
Tidak eh iya.
Woi!, Bus ini sudah melampaui tempat
kamu berhenti. Ayo turun! Kamu memang selalu senang bermain-main dengan
pikiranmu sendiri. Ah, gawat! berhenti! Sopir menghentikan busnya. Pikiranku melenakan
perjalananku. Semakin tua, aku semakin banyak melamun. Lebih inteleknya
merenung, mungkin itulah sebabnya banyak orang tua semakin pada pelupa.
Ayo, berlarilah. Masak, dosen eksistensialis kok kesiangan, bisa gawat! Kau bisa diledek mahasiswamu sendiri. Lihat,
sudah terlambat seperempat jam. Ayo lari! Kupinjam kakimu,
Ah ya ampun, aku sudah tak bisa lari,
semakin tua aku semakin melupakan olah raga. Stop!. Stop!
Astaga, aliran darahku mengalir deras
dari jantung, berselancar dalam segala pembuluh darah. Hadirku, hadirmu,
hadirku, hadirmu, begitu jantung itu berdetak dan bersuara. Tiba-tiba aku
melayang, dingin, menembus lubang ubun-ubun yang sempit, perlahan tapi pasti.
***
Di ujung jalan para mahasiswa
berkerumun, tulisan besar terpampang di udara: Requiem Salamun, dosen tercinta
kami. Itu namaku, aku sudah mati?, hah? Gara-gara lari sejauh tiga kilometer
aku mati? kau ini… kenapa bawa aku lari?.
Hahahaha.
Kenapa kamu tertawa sambil makan es
krim begitu?
Nihilisme adalah semangkuk es krim
dalam hamparan taman kematian.
Apa kamu bilang?
***
Cikarang, 19 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar