Langit Retak
Oleh: M Taufan Musonip
Potongan Lukisan: "Tuhan Menciptakan Adam", karya Michelangelo. Id. Wikipedia.org |
Aku
masih ingat, para serdadu menyekapku persis seperti binatang, tatkala aku
sedang menyusuri jalan bagai menyigi memori menuju lupa. Mereka begitu, karena
aku dulu seorang penyair, meski bukan termasuk kalangan penyair masyur,
syair-syairku cukup mampu memabukkan kaum urban kota yang jemu pada keadaan
negerinya yang sering berkecamuk.
Saat
itu aku tengah tersesat, mereka mencopot penunjuk jalan ke berbagai tujuan
pelarian. Pelarianku tersekap sebuah sejarah dengan gerak seketika.
Kini
bagaimana aku bisa bicara mengenai ingatan-ingatanku, tentang siapa pemimpin
yang paling bijaksana pernah berkuasa di negeri ini, tentang sebab-musabab
bagaimana dahulu revolusi bisa meletus, atau tentang buku-buku yang belum
selesai kutulis dan kuterbitkan, mulutku kini membisu dalam gonggong seekor
anjing, tak mampu menyampaikan apa yang termaksud dalam pikiranku. Dan kebisuan
telah membuatku lupa akan kejadian-kejadian yang telah menimpaku dan negeri ini
sedikit demi sedikit.
Mungkin
ini bagai reinkarnasi, tapi bisa jadi kaum revolusioner telah menjadikanku sesosok
mutant, tanpa disisipi kekuatan sama sekali sebagai binatang. Jaman ini,
manusia memang berkuasa membuat manusia lainnya tak ubahnya bagai siluman, demi
membungkam sejarah dan membiarkannya bersuara dalam mulutnya sendiri.
Tapi
aku sudah berusaha mengubur keinginan bagaimana mencari cara agar orang-orang
tahu siapa aku di dunia sebelumnya. Terlalu lelah menentang takdir. Aku hanya
ingin menikmati dunia, meski sebatas keriangan seekor anjing jalanan yang tak
memiliki nama kebangsaan ---aku ini jenis dari anjing apa?, menjalani kehidupan
sebagaimana mestinya, daripada mati oleh sejarah yang terbungkam. Biarlah
sebagai anjing aku menjalani sejarahnya sendiri.
***
Lihatlah
kini aku sedang menjalin pertemanan dengan seorang perempuan yang biasa berdiri
dibawah naungan lampu kota. Ia bagai
bumbungan tanah, yang setiap kali hujan datang, tubuhnya begitu bercahaya dijilat kilatan
petir, saat itu pula ia berseru padaku:
“Langit
sudah retak, Jo (begitu ia menyebut namaku)!”
Lalu
ia menumpang sebuah pikup. Seorang
lelaki sering menjemputnya, ia seorang pengangkut sayuran dari sebuah
desa ke sebuah pasar di kota ini, ia membutuhkan Maia, sejenak untuk menjalani
separuh malamnya dengan penuh kehangatan.
Dari
menemani Sukaman, lelaki itu, Maia akan bercerita berapa uang yang telah ia
dapatkan padaku, aku menjawab ringkih, lalu ia mulai mengusap bulu tengkukku
dengan lembut.
Dari
uang itu, Maia akan memberiku sebatang tulang, bagai bulan jatuh, tiba-tiba
anjing-anjing lain mengerubutiku, datang dari berbagai sudut gelap, dan kami
saling berebut. Sementara Maia tertawa terhibur. Aku terkadang kesal dengan
keadaan ini, Maia menyamakanku dengan anjing lainnya. Ia tak pernah membuat
anjing-anjing lain membiarkanku menghabiskan tulang pemberiannya sendirian.
***
Suatu
kali Maia tiba-tiba menghilang, tak pernah lagi datang di perempatan jalan,
untuk menanti kedatangan Sukaman atau lelaki lainnya. Lampu kota yang biasa
menaunginya begitu sepi, seribu laron yang mengerubuti cahaya lampu, mungkin
menjadi pertandanya.
Laron-laron
itu datang dari sebuah lubang langit yang menganga penuh kegelapan. Diterangi
cahaya redup dari bulan bermandikan awan-awan hitam. Kehidupan akan terus
berjalan tanpa pengamatan, dalam gelap sekalipun, begitu keyakinan Schrondinger
yang kuketahui dahulu. Tapi ini bukan kegelapan biasa. Separo bulan tak pernah
lagi jatuh, membuat anjing-anjing mencari terang sendiri.
"Suatu Hari Tanpa Hukum", Karya S Sudjojono Lukisan di ambil dari http://dwikisetiyawan.wordpress.com/2009/page/10/ |
Aku
sendiri, menyusuri gundukan-gundukan sampah di kota ini, mencari sisa tulang
belulang yang bisa kumakan, sambil sesekali asyik melihat tikus berlarian
karena ketakutan oleh ringkihku. Perlahan-lahan aku merasa rindu pada Maia,
rindu yang kuukir bukan dari adanya aku sebagai binatang, tapi sebagai manusia
yang pernah hidup pada masa yang telah lalu.
Memang
aku tak bisa mencintainya sebagaimana seorang manusia mencintainya. Tapi
kupikir dia juga tak pernah lagi merasakan cinta sejati. Sukaman atau
lelaki-lelaki lain yang menjemputnya hanya lelaki gasang, tak memiliki pancaran
wajah penuh rasa cinta untuk menghormatinya sebagai wanita.
Maka
aku rindu padamu Maia, akan aku katakan padamu sekuat tenaga, aku mencintaimu
bahkan melebihi cinta seorang manusia. Mendengarku kau pasti bangga pada dirimu
sendiri saat kau sendiri tahu betapa cinta manusia semakin pudar dihadapmu.
Ayahmu sendiri menjualmu, itu dilakukan karena keluargamu terbelit kemiskinan,
meskipun ia tak pernah tahu apa yang kamu lakukan di kota ini. Pacarmu saja
menghabiskan keperawananmu, lalu pergi dengan wanita lain.
Sudah
tak ada tempat bergantung baginya, di kota ini, kecuali aku, dan suatu malam ia
menumpahkan apa yang pernah dialaminya selama ini, sambil menunggu Sukaman
lewat, atau lelaki lain lewat, seperti perempuan gila ia selalu mengajakku
bicara.
“Kau
tahu, Jo, kenapa aku bercurhat padamu?” Aku meringkih. Dia pun diam tak memberi
jawabannya atas pertanyaannya sendiri. Tapi aku tahu matanya menyiratkan sebuah
lubang kesunyian yang begitu mendera. Di kota ini tak ada lagi pertemanan
sejati, pertemanan tak ubahnya titik singgung yang tahu kapan saatnya pecah
menjadi permusuhan.
***
Aku
melihat jam besar di kota ini berdentang dua belas kali, mengusir para kelelawar
yang sejak tadi keluar masuk lubang sebuah bangunan tua di balik jam besar itu.
Berkelompok mereka biasanya akan terbang ke arah tanah pekuburan, bergelatungan
di dahan-dahan pohon beringin.
Dari
utara tiba-tiba kulihat mobil Sukaman berjalan sangat pelan. Ia menoleh tempat
di mana biasa Maia menunggunya. Aku menyalak berkali-kali. Sukaman seolah
mengerti Maia tak datang, ia lalu melengos begitu saja. Aku ingin menanyakan
sebenarnya pada Sukaman, tentang keberadaan Maia, tapi ia sendiri nampak
mencarinya.
Satu
jam setelah Sukaman lewat, tak diduga dari arah berlawanan pada sebuah lorong
yang berbelok ke arah pemakaman, muncul sesosok wanita membawa bungkusan di
dadanya. Wanita itu seperti menyebar aroma kematian, mungkin karena ia melewati
lahan pekuburan, arwah-arwah penasaran seolah mengikutinya dari belakang.
Aku
mencoba mendekatinya. Dia Maia, bungkusan di dadanya adalah Jabang bayi. Maia
menenangkanku agar tidak menyalak, lalu menyimpan bungkusan itu di tong sampah.
Ia seolah memerintahkanku agar menjaga si inang. Bergegaslah ia pergi menuju
sebuah lorong jalan ke arah utara kota ini. Bulan terjatuh bagai menjelma bungkusan
yang di taro Maia di tong sampah, malam begitu redup, anjing-anjing
menggonggong, mencurigai apa yang sedang aku jaga.
Jam
besar berdentang dua kali diiringi dua kali tembakan, aku bergegas berlari ke
arah di mana terdengar jerit seorang wanita, tiba-tiba kulihat Maia sedang
terkapar berdarah, seorang lelaki tengah memaksanya berbicara.
Aku
memberanikan diri menerjangnya. Kami berdua seperti benar-benar sedang
berkelahi. Aku berhasil menggigit leher,
tangan, dan kaki lelaki itu, sementara ia menembakkan revolvernya di perutku.
Dia terkapar. Kuselidiki wajahnya, ia adalah Sukaman. Aku hampir tak percaya lelaki
tambun tukang sayur seperti dia memiliki pistol.
“Jo,
selamatkan anakku…” teriak Maia saat aku sedang merasakan kemenangan melibas
lelaki tambun itu. Maka mendengar itu aku segera kembali ke tempat semula di mana
bayi itu di sembunyikan ---benarkah dia anak Maia?. Dari benih Sukaman?. Aku
tidak tahu, dan aku tak pernah peduli. Kehidupan kami kehidupan sampah, kami
hidup bukan dilahirkan oleh muasal, karenanya aku tak pernah peduli sama sekali
siapa anak itu, aku hanya peduli cintaku pada Maia, sebuah rasa rindu yang
mampu menjelma apa saja, dan demi cinta bukankah telah kubunuh keparat busuk
yang telah membuat Maia begitu menderita?
Sialan!,
anjing-anjing jalanan sudah mengerubuti orok itu. Berebut, bagai kejatuhan
bulan. Sementara langit memang redup, seredup mataku yang merasakan sakit
tubuhku karena ditembus peluru panas.
Tapi
aku tak mau menyerah, aku menyalak keras demi mengusir para bedebah, kurebut
kembali bungkusan itu, secepatnya kurebahkan orok itu di sebuah sudut tembok,
dan aku meringkuk melingkarinya, tak sadar darah begitu deras mengalir dari
perutku. Sementara sang bayi terus menjerit. Jeritannya begitu sepi.
Petir
berdenyar-denyar di langit. Sang bayi menatap langit dan berhenti menjerit. Betulkah
pertanda langit sudah retak, nak?. Tanyaku padanya. Dia memandangku sangat
dalam, sorot matanya begitu tenang, setenang rembulan purnama yang sudah lama
tak aku lihat di setiap malam demi malam sejak pertama kali aku menjadi anjing.
***
Cikarang,
25 Januari 2011
Berita Pagi Maret 2011
Berita Pagi Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar