Minggu, 25 November 2012

Cerpen


Langit Retak
Oleh: M Taufan Musonip

Potongan Lukisan: "Tuhan Menciptakan Adam", karya  Michelangelo.
Id. Wikipedia.org
Aku sendiri tak pernah tahu apa yang telah menimpaku. Waktu itu jalanan di kota ini tiba-tiba tak memiliki nama. Buku-buku dibakar begitu saja di jalan-jalan. Para seniman dan kaum terpelajar dikenai hukum bakar. Kaum revolusioner berkehendak kuat menciptakan lupa pada sejarah, mereka adalah pemuja cinta, orang-orang romantik yang merasa dipisahkan dengan para jelata akibat ulah kaum intelektual dan seniman. Untuk bersatu dengan para jelata, dalam keadaan saling menyayangi, mereka rela membangun cinta dengan darah. Dan mereka memulainya dengan menghancurkan gedung-gedung pemerintahan, parlemen, monumen-monumen kota, termasuk menara-menara indah di setiap sudut tempat ibadah, sebagai pertanda bahwa kekuasaan intelektual dan seniman telah tumbang di negeri kami, kekuasaan yang telah membuat bangunan-bangunan itu menjadi penghalang percintaan semesta rakyat sejak masa purba.

Aku masih ingat, para serdadu menyekapku persis seperti binatang, tatkala aku sedang menyusuri jalan bagai menyigi memori menuju lupa. Mereka begitu, karena aku dulu seorang penyair, meski bukan termasuk kalangan penyair masyur, syair-syairku cukup mampu memabukkan kaum urban kota yang jemu pada keadaan negerinya yang sering berkecamuk.

Saat itu aku tengah tersesat, mereka mencopot penunjuk jalan ke berbagai tujuan pelarian. Pelarianku tersekap sebuah sejarah dengan gerak seketika.


Kini bagaimana aku bisa bicara mengenai ingatan-ingatanku, tentang siapa pemimpin yang paling bijaksana pernah berkuasa di negeri ini, tentang sebab-musabab bagaimana dahulu revolusi bisa meletus, atau tentang buku-buku yang belum selesai kutulis dan kuterbitkan, mulutku kini membisu dalam gonggong seekor anjing, tak mampu menyampaikan apa yang termaksud dalam pikiranku. Dan kebisuan telah membuatku lupa akan kejadian-kejadian yang telah menimpaku dan negeri ini sedikit demi sedikit.

Mungkin ini bagai reinkarnasi, tapi bisa jadi kaum revolusioner telah menjadikanku sesosok mutant, tanpa disisipi kekuatan sama sekali sebagai binatang. Jaman ini, manusia memang berkuasa membuat manusia lainnya tak ubahnya bagai siluman, demi membungkam sejarah dan membiarkannya bersuara dalam mulutnya sendiri.

Tapi aku sudah berusaha mengubur keinginan bagaimana mencari cara agar orang-orang tahu siapa aku di dunia sebelumnya. Terlalu lelah menentang takdir. Aku hanya ingin menikmati dunia, meski sebatas keriangan seekor anjing jalanan yang tak memiliki nama kebangsaan ---aku ini jenis dari anjing apa?, menjalani kehidupan sebagaimana mestinya, daripada mati oleh sejarah yang terbungkam. Biarlah sebagai anjing aku menjalani sejarahnya sendiri.
***

Lihatlah kini aku sedang menjalin pertemanan dengan seorang perempuan yang biasa berdiri  dibawah naungan lampu kota. Ia bagai bumbungan tanah, yang setiap kali hujan datang,  tubuhnya begitu bercahaya dijilat kilatan petir, saat itu pula ia berseru padaku:
“Langit sudah retak, Jo (begitu ia menyebut namaku)!”

Lalu ia menumpang sebuah pikup. Seorang  lelaki sering menjemputnya, ia seorang pengangkut sayuran dari sebuah desa ke sebuah pasar di kota ini, ia membutuhkan Maia, sejenak untuk menjalani separuh malamnya dengan penuh kehangatan.

Dari menemani Sukaman, lelaki itu, Maia akan bercerita berapa uang yang telah ia dapatkan padaku, aku menjawab ringkih, lalu ia mulai mengusap bulu tengkukku dengan lembut.

Dari uang itu, Maia akan memberiku sebatang tulang, bagai bulan jatuh, tiba-tiba anjing-anjing lain mengerubutiku, datang dari berbagai sudut gelap, dan kami saling berebut. Sementara Maia tertawa terhibur. Aku terkadang kesal dengan keadaan ini, Maia menyamakanku dengan anjing lainnya. Ia tak pernah membuat anjing-anjing lain membiarkanku menghabiskan tulang pemberiannya sendirian.
***
Suatu kali Maia tiba-tiba menghilang, tak pernah lagi datang di perempatan jalan, untuk menanti kedatangan Sukaman atau lelaki lainnya. Lampu kota yang biasa menaunginya begitu sepi, seribu laron yang mengerubuti cahaya lampu, mungkin menjadi pertandanya.

Laron-laron itu datang dari sebuah lubang langit yang menganga penuh kegelapan. Diterangi cahaya redup dari bulan bermandikan awan-awan hitam. Kehidupan akan terus berjalan tanpa pengamatan, dalam gelap sekalipun, begitu keyakinan Schrondinger yang kuketahui dahulu. Tapi ini bukan kegelapan biasa. Separo bulan tak pernah lagi jatuh, membuat anjing-anjing mencari terang sendiri.
"Suatu Hari Tanpa Hukum", Karya S Sudjojono
Lukisan di ambil dari http://dwikisetiyawan.wordpress.com/2009/page/10/
Aku sendiri, menyusuri gundukan-gundukan sampah di kota ini, mencari sisa tulang belulang yang bisa kumakan, sambil sesekali asyik melihat tikus berlarian karena ketakutan oleh ringkihku. Perlahan-lahan aku merasa rindu pada Maia, rindu yang kuukir bukan dari adanya aku sebagai binatang, tapi sebagai manusia yang pernah hidup pada masa yang telah lalu.

Memang aku tak bisa mencintainya sebagaimana seorang manusia mencintainya. Tapi kupikir dia juga tak pernah lagi merasakan cinta sejati. Sukaman atau lelaki-lelaki lain yang menjemputnya hanya lelaki gasang, tak memiliki pancaran wajah penuh rasa cinta untuk menghormatinya sebagai wanita.

Maka aku rindu padamu Maia, akan aku katakan padamu sekuat tenaga, aku mencintaimu bahkan melebihi cinta seorang manusia. Mendengarku kau pasti bangga pada dirimu sendiri saat kau sendiri tahu betapa cinta manusia semakin pudar dihadapmu. Ayahmu sendiri menjualmu, itu dilakukan karena keluargamu terbelit kemiskinan, meskipun ia tak pernah tahu apa yang kamu lakukan di kota ini. Pacarmu saja menghabiskan keperawananmu, lalu pergi dengan wanita lain.

Sudah tak ada tempat bergantung baginya, di kota ini, kecuali aku, dan suatu malam ia menumpahkan apa yang pernah dialaminya selama ini, sambil menunggu Sukaman lewat, atau lelaki lain lewat, seperti perempuan gila ia selalu mengajakku bicara.

“Kau tahu, Jo, kenapa aku bercurhat padamu?” Aku meringkih. Dia pun diam tak memberi jawabannya atas pertanyaannya sendiri. Tapi aku tahu matanya menyiratkan sebuah lubang kesunyian yang begitu mendera. Di kota ini tak ada lagi pertemanan sejati, pertemanan tak ubahnya titik singgung yang tahu kapan saatnya pecah menjadi permusuhan.
***

Aku melihat jam besar di kota ini berdentang dua belas kali, mengusir para kelelawar yang sejak tadi keluar masuk lubang sebuah bangunan tua di balik jam besar itu. Berkelompok mereka biasanya akan terbang ke arah tanah pekuburan, bergelatungan di dahan-dahan pohon beringin.

Dari utara tiba-tiba kulihat mobil Sukaman berjalan sangat pelan. Ia menoleh tempat di mana biasa Maia menunggunya. Aku menyalak berkali-kali. Sukaman seolah mengerti Maia tak datang, ia lalu melengos begitu saja. Aku ingin menanyakan sebenarnya pada Sukaman, tentang keberadaan Maia, tapi ia sendiri nampak mencarinya.

Satu jam setelah Sukaman lewat, tak diduga dari arah berlawanan pada sebuah lorong yang berbelok ke arah pemakaman, muncul sesosok wanita membawa bungkusan di dadanya. Wanita itu seperti menyebar aroma kematian, mungkin karena ia melewati lahan pekuburan, arwah-arwah penasaran seolah mengikutinya dari belakang.

Aku mencoba mendekatinya. Dia Maia, bungkusan di dadanya adalah Jabang bayi. Maia menenangkanku agar tidak menyalak, lalu menyimpan bungkusan itu di tong sampah. Ia seolah memerintahkanku agar menjaga si inang. Bergegaslah ia pergi menuju sebuah lorong jalan ke arah utara kota ini. Bulan terjatuh bagai menjelma bungkusan yang di taro Maia di tong sampah, malam begitu redup, anjing-anjing menggonggong, mencurigai apa yang sedang aku jaga.

Jam besar berdentang dua kali diiringi dua kali tembakan, aku bergegas berlari ke arah di mana terdengar jerit seorang wanita, tiba-tiba kulihat Maia sedang terkapar berdarah, seorang lelaki tengah memaksanya berbicara.

Aku memberanikan diri menerjangnya. Kami berdua seperti benar-benar sedang berkelahi. Aku  berhasil menggigit leher, tangan, dan kaki lelaki itu, sementara ia menembakkan revolvernya di perutku. Dia terkapar. Kuselidiki wajahnya, ia adalah Sukaman. Aku hampir tak percaya lelaki tambun tukang sayur seperti dia memiliki pistol.

“Jo, selamatkan anakku…” teriak Maia saat aku sedang merasakan kemenangan melibas lelaki tambun itu. Maka mendengar itu aku segera kembali ke tempat semula di mana bayi itu di sembunyikan ---benarkah dia anak Maia?. Dari benih Sukaman?. Aku tidak tahu, dan aku tak pernah peduli. Kehidupan kami kehidupan sampah, kami hidup bukan dilahirkan oleh muasal, karenanya aku tak pernah peduli sama sekali siapa anak itu, aku hanya peduli cintaku pada Maia, sebuah rasa rindu yang mampu menjelma apa saja, dan demi cinta bukankah telah kubunuh keparat busuk yang telah membuat Maia begitu menderita?

Sialan!, anjing-anjing jalanan sudah mengerubuti orok itu. Berebut, bagai kejatuhan bulan. Sementara langit memang redup, seredup mataku yang merasakan sakit tubuhku karena ditembus peluru panas.
Tapi aku tak mau menyerah, aku menyalak keras demi mengusir para bedebah, kurebut kembali bungkusan itu, secepatnya kurebahkan orok itu di sebuah sudut tembok, dan aku meringkuk melingkarinya, tak sadar darah begitu deras mengalir dari perutku. Sementara sang bayi terus menjerit. Jeritannya begitu sepi.

Petir berdenyar-denyar di langit. Sang bayi menatap langit dan berhenti menjerit. Betulkah pertanda langit sudah retak, nak?. Tanyaku padanya. Dia memandangku sangat dalam, sorot matanya begitu tenang, setenang rembulan purnama yang sudah lama tak aku lihat di setiap malam demi malam sejak pertama kali aku menjadi anjing.
***
Cikarang, 25 Januari 2011
Berita Pagi Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar