Minggu, 25 November 2012

Cerpen

Matinya Seekor Anjing
M Taufan Musonip

"Anjing Kepala 2"
di ambil/karya dari lukisanmoses.wordpress.com
Dia mulai menulis tentang seorang pemulung yang  meninggalkan keluarganya pada malam yang meningkup tanpa bintang. Memanggul goni, dengan caping anyaman di kepalanya, memungut  barang apa saja yang mungkin dapat dia jual kepada penadah, sampai dia menemu pagi dengan kabut berembus membasahi kepalanya.

Dadanya berdebar, adakah dia benar­benar dapat menjiwai perjalanan malam yang dilalui tokohnya itu. Dia memang tengah menjadi malam, dengan tanggungan yang lebih berat dari pemanggul goni itu, karena memulung kata­kata, serupa menyelam di luas lautan, mencari mutiara di ceruk karang, di jurang­jurang dalamnya samudera.

Dihisapnya sebatang rokok, sang pemulung terus melangkah dalam pikirannya melewati para peronda, rumah­rumah warga, dengan bayang­bayang perasaan asing. Sang pemulung tak pernah berani bermimpi dapat memiliki rumah. Apalagi menelusuri muasal nasibnya. Hidup memang hadir secara berpasangan, kaya­miskin, langit­bumi, siang­malam, hujan­kemarau, semua jalin berjalin demi mengimani pikiran, dan pikiran adalah langit yang tak dapat dijangkaunya.


Pada sebuah emperan toko dia berhenti, seperti ingin menghentikan putaran waktu. Diletakkan caping pada lututnya. Di sandarkan tubuhnya di tembok. Seekor anjing gelandangan mengawasinya, bulu ekornya cukup lebat, dikibaskan di tanah. Kabut bersatu dengan debu, debu melayang bersama angin. Peristiwa pertemuan keduanya diciptakan oleh kegelisahan sang pengarang, untuk apa keduanya dihadirkan, dan kenyataan apa yang harus dibebankan pada keduanya.

Kalau hanya gelas­gelas plastik atau botol­botol air mineral memenuhi buntalannya, istrinya yang tengah hamil tua itu esok pasti tergiur oleh tawaran si Kuyang, menyerahkan anak­anak mereka  untuk mengemis. Dari mengemis, keluarga pemulung akan mendapatkan bagian keuntungan.

Pengarang memilih nama Bargo untuk pengemis itu. Diambil dari nama belakangnya. Pada saat memutuskan mengambil nama itu, hujan menciptakan bau tanah. Membuatnya ingin menghela angin di teras rumah. Secangkir kopi akan menghangatkan dadanya.

Dia tak pernah tahu kenapa harus dipilihnya kisah tentang pemulung. Gagasan itu datang begitu saja di kepalanya, terkadang gagasan muncul dari sudut gelap pengetahuan, yang tak terjamah keinginan dan pemikiran.

Malam semakin merembang, Bargo berhasil menjerat leher anjing itu, dituntunnya menembus kabut malam.  
***

Anjing itu dinamai sebagai Kletus, peranakan seekor ajag dengan herder betina, pemiliknya adalah seorang negarawan kaya raya. Kepada piaraannya dipercayakan harta kekayaannya dari rahim malam yang banyak melahirkan para bandit. Demikian sejak dia dipenjarakan karena tuduhan korupsi, istrinya kewalahan dengan anjing­anjing piaraan suaminya, pada suatu malam dua anjing dibuang di tempat berbeda. Salah satunya adalah Kletus, nama yang pernah dikarang anak negarawan itu untuknya. Anak itu sangat menyukai Kletus karena ekornya, pada saat dia tertidur, ibunya membawa anjing itu dengan perasaan hampa. Dia harus membuang anjing­anjing itu karena tak punya cukup biaya untuk memberi mereka  makanan yang cukup. Sejak negarawan itu pergi dari rumahnya, istrinya berhadapan dengan petugas yang akan menyita rumahnya dan beban biaya untuk pengacara pendamping suaminya.

Begitulah asal­usul yang disertakan pengarang untuk tokoh kedua, kali ini diselesaikan dengan cukup tenang, dopaminnya membumbung dipompa nikotin pada asap rokok yang disesapnya.

Sejak pertemuan malam itu, Bargo dan Kletus sering terlihat bersama, tanpa jerat lagi di lehernya. Darah herder dalam tubuh Kletus membuat anjing itu dapat membantu Bargo melacak barang­barang rongsok yang dapat dijual dengan harga tinggi.

***

Dia tak ingin akhir cerita untuk pemulung itu berakhir bahagia. Dia tak tahu harus berbuat apa. Kesibukan membuatnya tak dapat menyelesaikan tulisan­tulisannya. Tiba­tiba dia dihantui kelelahan untuk menyelesaikan kisahnya. Dan tak mampu menciptakan peristiwa apa yang harus terjadi selanjutnya. Dia tak ingin membebani bahasa dengan pesan­pesan kebenaran. Hanya ingin mabuk dalam permainan bahasa.

Angin terus berembus seperti sisa hujan yang berlari. Di ujung jalan, jauh dari kediaman pengarang itu, seorang pemulung tengah meratap, menyaksikan seekor anjing tengah menghadapi kematiannya sendiri sehabis ditabrak sebuah mobil yang ugal­ugalan di jalanan. Anjing itu nampak lebih dari sekadar piaraannya, tetapi teman setia yang senantiasa bersama melalui malam­malam dinginnya. Tapi tak pernah terpantau sama sekali kejadian itu oleh pengarang yang tengah menggarap kisah seorang pemulung dan anjingnya. Karena anjing gagasannya sendiri telah mati, dibunuh kelelahan yang membeku di tubuhnya.

Pengarang itu terlelap. Hujan datang mengusir kabut. Darah anjing itu dihanyutkan air hujan, menepi kayas di pagar rumah sang pengarang yang tak sanggup lagi melewati malam sebagaimana sering ia lewati sebelum dirinya sohor seperti sekarang.
***

Pemulung itu meneruskan perjalannya dengan caping dan baju berlumur darah. Hujan terus berlari di jalanan. Dirasakannya persahabatan yang begitu dalam dipisahkan oleh kematian. Anjing dengan ekor berbulu tebal, yang pandai melacak barang berharga, dan membantunya mempertahankan harga diri keluarga, untuk tak tergiur tawaran si Kuyang agar anak­anaknya ikut mengemis.
Tapi anjing itu telah mati. Dan tak ada yang tahu, bahwa malam itu sang pemulung telah melewati muka rumah si pengarang tua yang kesepian di teras rumahnya, berduka atas anjing pemikirannya, yang dahulu senantiasa membantunya melacak gagasan.

Sang pengarang dibunuh gelisah matinya kreatifitas. Si pemulung meraung karena kehilangan sahabatnya. Keduanya hidup tanpa mengetahui keadaan masing­masing. Sang pemulung tahu hidupnya telah dikarang oleh semacam hantu yang selalu menertawakan kisah hidupnya. Si pengarang tak pernah tahu bahwa kisah yang dikarangnya ada dalam kisah hidup sehari­hari. Dan dia telah lama membenci persoalan sehari­hari karena telah mengawini kesunyian yang malang.*

Cikarang, 18 Oktober 2012
Dimuat di koran Jurnal Nasional 25 Nopember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar