Matinya Seekor Anjing
M Taufan Musonip
M Taufan Musonip
"Anjing Kepala 2" di ambil/karya dari lukisanmoses.wordpress.com |
Dadanya
berdebar, adakah dia benarbenar dapat menjiwai perjalanan malam yang dilalui
tokohnya itu. Dia memang tengah menjadi malam, dengan tanggungan yang lebih
berat dari pemanggul goni itu, karena memulung katakata, serupa menyelam di
luas lautan, mencari mutiara di ceruk karang, di jurangjurang dalamnya
samudera.
Dihisapnya
sebatang rokok, sang pemulung terus melangkah dalam pikirannya melewati para
peronda, rumahrumah warga, dengan bayangbayang perasaan asing. Sang pemulung
tak pernah berani bermimpi dapat memiliki rumah. Apalagi menelusuri muasal
nasibnya. Hidup memang hadir secara berpasangan, kayamiskin, langitbumi,
siangmalam, hujankemarau, semua jalin berjalin demi mengimani pikiran, dan
pikiran adalah langit yang tak dapat dijangkaunya.
Pada sebuah
emperan toko dia berhenti, seperti ingin menghentikan putaran waktu. Diletakkan
caping pada lututnya. Di sandarkan tubuhnya di tembok. Seekor anjing
gelandangan mengawasinya, bulu ekornya cukup lebat, dikibaskan di tanah. Kabut
bersatu dengan debu, debu melayang bersama angin. Peristiwa pertemuan keduanya
diciptakan oleh kegelisahan sang pengarang, untuk apa keduanya dihadirkan, dan
kenyataan apa yang harus dibebankan pada keduanya.
Kalau hanya
gelasgelas plastik atau botolbotol air mineral memenuhi buntalannya, istrinya
yang tengah hamil tua itu esok pasti tergiur oleh tawaran si Kuyang,
menyerahkan anakanak mereka untuk
mengemis. Dari mengemis, keluarga pemulung akan mendapatkan bagian keuntungan.
Pengarang
memilih nama Bargo untuk pengemis itu. Diambil dari nama belakangnya. Pada saat
memutuskan mengambil nama itu, hujan menciptakan bau tanah. Membuatnya ingin
menghela angin di teras rumah. Secangkir kopi akan menghangatkan dadanya.
Dia tak
pernah tahu kenapa harus dipilihnya kisah tentang pemulung. Gagasan itu datang
begitu saja di kepalanya, terkadang gagasan muncul dari sudut gelap
pengetahuan, yang tak terjamah keinginan dan pemikiran.
Malam semakin
merembang, Bargo berhasil menjerat leher anjing itu, dituntunnya menembus kabut
malam.
***
Anjing itu
dinamai sebagai Kletus, peranakan seekor ajag
dengan herder betina, pemiliknya adalah seorang negarawan kaya raya. Kepada
piaraannya dipercayakan harta kekayaannya dari rahim malam yang banyak
melahirkan para bandit. Demikian sejak dia dipenjarakan karena tuduhan korupsi,
istrinya kewalahan dengan anjinganjing piaraan suaminya, pada suatu malam dua
anjing dibuang di tempat berbeda. Salah satunya adalah Kletus, nama yang pernah
dikarang anak negarawan itu untuknya. Anak itu sangat menyukai Kletus karena ekornya,
pada saat dia tertidur, ibunya membawa anjing itu dengan perasaan hampa. Dia
harus membuang anjinganjing itu karena tak punya cukup biaya untuk memberi
mereka makanan yang cukup. Sejak
negarawan itu pergi dari rumahnya, istrinya berhadapan dengan petugas yang akan
menyita rumahnya dan beban biaya untuk pengacara pendamping suaminya.
Begitulah
asalusul yang disertakan pengarang untuk tokoh kedua, kali ini diselesaikan
dengan cukup tenang, dopaminnya membumbung dipompa nikotin pada asap rokok yang
disesapnya.
Sejak
pertemuan malam itu, Bargo dan Kletus sering terlihat bersama, tanpa jerat lagi
di lehernya. Darah herder dalam tubuh Kletus membuat anjing itu dapat membantu
Bargo melacak barangbarang rongsok yang dapat dijual dengan harga tinggi.
***
Dia tak
ingin akhir cerita untuk pemulung itu berakhir bahagia. Dia tak tahu harus
berbuat apa. Kesibukan membuatnya tak dapat menyelesaikan tulisantulisannya.
Tibatiba dia dihantui kelelahan untuk menyelesaikan kisahnya. Dan tak mampu
menciptakan peristiwa apa yang harus terjadi selanjutnya. Dia tak ingin
membebani bahasa dengan pesanpesan kebenaran. Hanya ingin mabuk dalam permainan
bahasa.
Angin terus
berembus seperti sisa hujan yang berlari. Di ujung jalan, jauh dari kediaman
pengarang itu, seorang pemulung tengah meratap, menyaksikan seekor anjing
tengah menghadapi kematiannya sendiri sehabis ditabrak sebuah mobil yang ugalugalan
di jalanan. Anjing itu nampak lebih dari sekadar piaraannya, tetapi teman setia
yang senantiasa bersama melalui malammalam dinginnya. Tapi tak pernah
terpantau sama sekali kejadian itu oleh pengarang yang tengah menggarap kisah
seorang pemulung dan anjingnya. Karena anjing gagasannya sendiri telah mati,
dibunuh kelelahan yang membeku di tubuhnya.
Pengarang
itu terlelap. Hujan datang mengusir kabut. Darah anjing itu dihanyutkan air
hujan, menepi kayas di pagar rumah sang pengarang yang tak sanggup lagi
melewati malam sebagaimana sering ia lewati sebelum dirinya sohor seperti
sekarang.
***
Pemulung
itu meneruskan perjalannya dengan caping dan baju berlumur darah. Hujan terus
berlari di jalanan. Dirasakannya persahabatan yang begitu dalam dipisahkan oleh
kematian. Anjing dengan ekor berbulu tebal, yang pandai melacak barang
berharga, dan membantunya mempertahankan harga diri keluarga, untuk tak tergiur
tawaran si Kuyang agar anakanaknya ikut mengemis.
Tapi anjing
itu telah mati. Dan tak ada yang tahu, bahwa malam itu sang pemulung telah
melewati muka rumah si pengarang tua yang kesepian di teras rumahnya, berduka
atas anjing pemikirannya, yang dahulu senantiasa membantunya melacak gagasan.
Sang pengarang
dibunuh gelisah matinya kreatifitas. Si pemulung meraung karena kehilangan
sahabatnya. Keduanya hidup tanpa mengetahui keadaan masingmasing. Sang
pemulung tahu hidupnya telah dikarang oleh semacam hantu yang selalu
menertawakan kisah hidupnya. Si pengarang tak pernah tahu bahwa kisah yang
dikarangnya ada dalam kisah hidup seharihari. Dan dia telah lama membenci
persoalan seharihari karena telah mengawini kesunyian yang malang.*
Cikarang,
18 Oktober 2012
Dimuat di koran Jurnal Nasional 25 Nopember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar