Senin, 29 Februari 2016

ESAI

Imajinasi Masyarakat Membaca dan Bertumbuhnya Infrastruktur Transportasi Massal
M Taufan Musonip

Seorang pejabat tinggi negara dalam liburan natal dan tahun baru belakangan ini memberikan opini soal kemacetan. Kemacetan menurutnya indikator kemajuan sebuah bangsa, saya dibuat terperangah dengan opini itu. Memang sejak saya bermukim di sebuah kampung petrodolar, yang laju industrialisasinya cukup pesat, saya menyaksikan truk-truk besar mengangkut kendaraan roda empat hilir mudik di jalan tol, tentu itu demi memenuhi permintaan, yang kalau tidak bisa dikatakan sebagai adanya pertumbuhan, permintaan masyarakat atas kendaraan roda empat dari tahun ke tahun tidak mengalami penurunan.

Saya menyebutnya sebagai opini, sebab pejabat tersebut tidak bicara berdasarkan data. Menurut BPS pada kuartal II tahun 2015 Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 4.65%, yang meskipun tidak terlalu baik karena dipicu rendahnya harga komoditas di pasar internasional dan suku bunga AS, angka tersebut masih lebih baik daripada negara-negara seperti China yang stagnan pada pertumbuhan ekonomi sebesar 7%, Singapura bahkan melemah dari 2,1% pada kuartal I menjadi 1,7% pada kuartal II tahun 2015. Namun pertanyaan klise yang biasa muncul dalam hitung-hitungan ekonomi adalah seberapa besar sebenarnya masyarakat yang menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut?


Dalam data INDEF, justru terjadi kesenjangan ekonomi pada tahun 2015 dengan rasio gini mencapai 0,41-0,42 persen, rasio gini menggunakan skala antara 0-1, ini cukup riskan sebab pada level 0,5 persen, tercipta indikasi adanya kesenjangan yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Sementara pada kenyataannya golongan masyarakat yang menikmati 50% pertumbuhan ekonomi, masih ada di tangan masyarakat kelas atas yang jumlahnya hanya 20 persen dari seluruh penduduk Indonesia.

Anti Kebudayaan
Saya bukan seorang ekonom, saya hanya mencatut data tersebut dari pengalaman membaca, bukan hasil analisa mendalam. Tentu saya menyayangkan opini pejabat negara tersebut. Jika saja sebuah opini tokoh nasional dapat dianggap sebagai peristiwa budaya, karena kebudayaan bukan hanya merupakan hasil karya seni, terlebih prilaku masyarakat, maka pembangunan sebagai cerminan dari prilaku kebudayaan hanya baru sebatas capaian fisik belaka, artinya kemajuan jika benar telah dirasakan dengan tanpa mengikuti hitungan statistik yang mentah di atas, belum mencapai pembangunan manusianya. Tentu sanggahan ini akan dinilai terburu-buru, sebab kebudayaan oleh sebagian orang dianggap sebagai prilaku adiluhung, tak ada kebudayaan yang bernilai minus. Saya hanya ingin menghindari, menyematkan frase “anti kebudayaan” pada sebuah bangsa yang diwakili opini pejabat negara tersebut.

Memang ada konsentrasi pembangunan infrastruktur transportasi massal, seperti tol laut, rencana pembangunan rel kereta api di luar pulau Jawa, dan perluasan pemberangkatan kereta api listrik hingga Stasiun Cikarang, kenyamanan yang disediakan Dishub (DKI Jakarta?) di kawasan koridor lintasan penyeberangan antara Stasiun Kota menuju shelter bushway, supaya menarik minat masyarakat menggunakan tranportasi massal, tidak menutup mata merupakan bukti tindakan progresif pemerintah terhadap jalur infrastruktur untuk mengendalikan kemacetan. Namun, laju pertambahan kendaraan pribadi dan animo masyarakat belum terlihat secara kultural dalam hal pemanfaatannya, masyarakat masih menilai kepemilikan kendaraan roda empat sebagai status sosial yang paling diakui.

Kebijakan struktural yang lama mempertahankan masyarakat bangsa sebagai lapangan konsumen, tentu akan mempengaruhi kultur masyarakatnya. Masyarakat yang diciptakan dalam bentang perjalanan yang macet antara tempat tinggal dan tempat kerjanya, adalah masyarakat yang dilahap oleh waktu tanpa kreatifitas. Lapangan pekerjaan yang paling menjanjikan tentu adalah dunia marketer, masyarakat bangsa sebagai pasar potensial memerlukan broker untuk membangun jalur pemasaran produk luar ke dalam negeri. Produk-produk seperti suku cadang otomasi untuk assembly kendaraan bermotor adalah primadona bisnis di Indonesia. Bahkan ada beberapa perusahaan otomotif, karena tuntutan efisiensi, mengurangi tenaga kerja, yang beresiko terhadap biaya produksi yang sangat tinggi dengan melakukan otomasi. Ini bisa merupakan bencana, akan tetapi tak ada bencana tanpa hikmah, orang-orang yang mengalami PHK, menciptakan lapangan kerja dengan membangun bisnis maker mesin, perdagangan suku cadang ataupun alat-alat produksi. Akan tetapi kondisi tersebut masih jauh dari mimpi terbangunnya sebuah negara industrial, para broker yang berhasil mendirikan perusahaan suku cadang masih mengambil sumber barang dari Taiwan atau China untuk mengantisipasi mahalnya suku cadang dari Jepang atau Eropa. Itu disebabkan karena belum ada industri otomotif karya anak negeri.

Masyarakat kreatif dibutuhkan dalam upaya membangun negara industrial, sementara laju industrialisasi sebagai dampak liberalisasi ekonomi, masih menciptakan masyarakat pekerja. Masyarakat kreatif diciptakan dari kultur transportasi massal, orang-orang akan memiliki waktu membaca daripada menghabiskan waktu di jalan dengan mengendarai kendaraan pribadinya. Hal itu harus diikuti dengan manajemen lalu lintas yang baik, serta keinginan masyarakat dan pemerintah dalam membangun kultur membaca. Tentu akan terasa mengada-ngada, mencari hubungan antara mimpi terciptanya kultur transportasi massal dengan masyarakat gemar membaca, tetapi kreatifitas dibangun bukan hanya dari pengalaman, tetapi juga dari pengalaman membaca. Membaca bukan hanya akan mendapatkan catatan praktis rancang teknik dan desain manufaktur, akan tetapi meliputi desain kemanusiaan yang mandiri. Karenanya masyarakat Jepang yang dahulu banyak menerjemahkan buku-buku hasil pemikiran barat, bukan hanya menciptakan perusahaan-perusahaan otomotif, terlebih melakukan politik dumping. Masyarakat Jepang tidak terlalu tertarik memiliki kendaraan pribadi. Mereka justru menjadikan Indonesia, yang jumlah penduduknya salah satu terbesar di dunia menjadi pasar potensial hasil produksi manufaktur otomotif mereka.

Buku Sastra di Mini Market
Di Jepang pada waktu tertentu minimarket seperti halnya toko-toko waralaba di Indonesia yang terjangkau dan tersebar di berbagai daerah–seperti informasi yang saya dapatkan dari buku surat-menyurat Ajip Rosidi, di mana kebetulan sastrawan ini pernah tinggal lama menjadi pengajar di Kota Osaka, (Ucang-ucang Anggé, 2000)— dipakai untuk memamerkan buku-buku sastra yang kemudian melahirkan para pengarang peraih nobel dan penghargaan dunia. Kenapa begitu lestarinya kegiatan semacam itu? karena masyarakat di sana memiliki waktu untuk membaca, minat baca pun kemudian sangat tinggi, waktu mereka di dalam kereta Shinkasen, menuju tempat kerjanya dimanfaatkan untuk membaca novel dan buku puisi. Tidak harus semuanya menjadi penyair atau pengarang, tetapi buku-buku sastra, akan membuat seorang manusia memiliki kesadaran hidup mandiri, alhasil menciptakan kreatifitas di bidang apapun mereka bekerja.

Ini yang saya maksud sebagai masyarakat membaca, bukan hanya mendapati langkah-langkah praktis mendesain mesin produksi, tetapi kesadaran lahirnya kemandirian. Sekarang hal itu ditiru oleh bangsa-bangsa yang didahului oleh Korea Selatan, kemudian China dan terakhir bahkan India. Indonesia kapan mengikuti jejak mereka? Saya mungkin menunggu adanya pemimpin di daerah saya yang memanfaatkan Kalimalang sebagai jalur transportasi sungai, menuju beberapa kawasan industri, dan bus-bus yang mengantarkan para pebisnis menuju para kliennya di pabrik-pabrik. Juga perpustakaan yang akan buka 24 jam, untuk memenuhi kebutuhan membaca para pekerja, yang hanya memiliki waktunya sepulang bekerja atau hari libur. Hal ini akan sulit diraih jika kemajuan masyarakat hanya diindikasikan dari kepemilikan kendaraan roda empat, bukan karena pencapaian intelektual yang menghasilkan masyarakat kreatif itu.

Kemajuan masyarakat industrial sebagai dampak dari liberalisasi ekonomi, selain pembangunan fisik yang diindikasikan secara kultural dengan kepemilikan kendaraan bermotor juga hanya baru sebatas majunya sarikat buruh yang tiap tahun terus menuntut kenaikan upah. Selain kekuatan kaum buruh, dan CSR, sebagai indikasi mutasi genetik kapitalisme, juga seharusnya lahir kekuatan kaum  petani yang kenyataannya, kehilangan lahan pencaharian mereka selama bertahun-tahun lamanya oleh kepentingan industrialisasi, sementara keahliannya secara turun-temurun bercocok tanam, kini  tidak diperlukan oleh laju industrialisasi. Kemajuan masyarakat industrial kreatif ditandai dengan lahirnya kelas menengah yang gemar membaca dan bertumbuhnya infrastruktur transportasi massal.(*)

Cikarang, 29 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar