Imajinasi Masyarakat Membaca dan
Bertumbuhnya Infrastruktur Transportasi Massal
M Taufan Musonip
Seorang pejabat
tinggi negara dalam liburan natal dan tahun baru belakangan ini memberikan
opini soal kemacetan. Kemacetan menurutnya indikator kemajuan sebuah bangsa,
saya dibuat terperangah dengan opini itu. Memang sejak saya bermukim di sebuah
kampung petrodolar, yang laju industrialisasinya cukup pesat, saya menyaksikan
truk-truk besar mengangkut kendaraan roda empat hilir mudik di jalan tol, tentu
itu demi memenuhi permintaan, yang kalau tidak bisa dikatakan sebagai adanya
pertumbuhan, permintaan masyarakat atas kendaraan roda empat dari tahun ke
tahun tidak mengalami penurunan.
Saya menyebutnya
sebagai opini, sebab pejabat tersebut tidak bicara berdasarkan data. Menurut
BPS pada kuartal II tahun 2015 Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi
sebesar 4.65%, yang meskipun tidak terlalu baik karena dipicu rendahnya harga
komoditas di pasar internasional dan suku bunga AS, angka tersebut masih lebih
baik daripada negara-negara seperti China yang stagnan pada pertumbuhan ekonomi
sebesar 7%, Singapura bahkan melemah dari 2,1% pada kuartal I menjadi 1,7% pada
kuartal II tahun 2015. Namun pertanyaan klise yang biasa muncul dalam
hitung-hitungan ekonomi adalah seberapa besar sebenarnya masyarakat yang
menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut?
Dalam data INDEF,
justru terjadi kesenjangan ekonomi pada tahun 2015 dengan rasio gini mencapai
0,41-0,42 persen, rasio gini menggunakan skala antara 0-1, ini cukup riskan
sebab pada level 0,5 persen, tercipta indikasi adanya kesenjangan yang dapat
menimbulkan kecemburuan sosial. Sementara pada kenyataannya golongan masyarakat
yang menikmati 50% pertumbuhan ekonomi, masih ada di tangan masyarakat kelas
atas yang jumlahnya hanya 20 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Anti Kebudayaan
Saya bukan
seorang ekonom, saya hanya mencatut data tersebut dari pengalaman membaca,
bukan hasil analisa mendalam. Tentu saya menyayangkan opini pejabat negara
tersebut. Jika saja sebuah opini tokoh nasional dapat dianggap sebagai
peristiwa budaya, karena kebudayaan bukan hanya merupakan hasil karya seni,
terlebih prilaku masyarakat, maka pembangunan sebagai cerminan dari prilaku
kebudayaan hanya baru sebatas capaian fisik belaka, artinya kemajuan jika benar
telah dirasakan dengan tanpa mengikuti hitungan statistik yang mentah di atas,
belum mencapai pembangunan manusianya. Tentu sanggahan ini akan dinilai terburu-buru,
sebab kebudayaan oleh sebagian orang dianggap sebagai prilaku adiluhung, tak
ada kebudayaan yang bernilai minus. Saya hanya ingin menghindari, menyematkan
frase “anti kebudayaan” pada sebuah bangsa yang diwakili opini pejabat negara
tersebut.
Memang ada
konsentrasi pembangunan infrastruktur transportasi massal, seperti tol laut,
rencana pembangunan rel kereta api di luar pulau Jawa, dan perluasan
pemberangkatan kereta api listrik hingga Stasiun Cikarang, kenyamanan yang
disediakan Dishub (DKI Jakarta?) di kawasan koridor lintasan penyeberangan
antara Stasiun Kota menuju shelter bushway, supaya menarik minat masyarakat
menggunakan tranportasi massal, tidak menutup mata merupakan bukti tindakan
progresif pemerintah terhadap jalur infrastruktur untuk mengendalikan kemacetan.
Namun, laju pertambahan kendaraan pribadi dan animo masyarakat belum terlihat
secara kultural dalam hal pemanfaatannya, masyarakat masih menilai kepemilikan
kendaraan roda empat sebagai status sosial yang paling diakui.
Kebijakan
struktural yang lama mempertahankan masyarakat bangsa sebagai lapangan
konsumen, tentu akan mempengaruhi kultur masyarakatnya. Masyarakat yang
diciptakan dalam bentang perjalanan yang macet antara tempat tinggal dan tempat
kerjanya, adalah masyarakat yang dilahap oleh waktu tanpa kreatifitas. Lapangan
pekerjaan yang paling menjanjikan tentu adalah dunia marketer, masyarakat
bangsa sebagai pasar potensial memerlukan broker untuk membangun jalur pemasaran
produk luar ke dalam negeri. Produk-produk seperti suku cadang otomasi untuk assembly kendaraan bermotor adalah
primadona bisnis di Indonesia. Bahkan ada beberapa perusahaan otomotif, karena
tuntutan efisiensi, mengurangi tenaga kerja, yang beresiko terhadap biaya
produksi yang sangat tinggi dengan melakukan otomasi. Ini bisa merupakan
bencana, akan tetapi tak ada bencana tanpa hikmah, orang-orang yang mengalami
PHK, menciptakan lapangan kerja dengan membangun bisnis maker mesin,
perdagangan suku cadang ataupun alat-alat produksi. Akan tetapi kondisi
tersebut masih jauh dari mimpi terbangunnya sebuah negara industrial, para
broker yang berhasil mendirikan perusahaan suku cadang masih mengambil sumber
barang dari Taiwan atau China untuk mengantisipasi mahalnya suku cadang dari
Jepang atau Eropa. Itu disebabkan karena belum ada industri otomotif karya anak
negeri.
Masyarakat
kreatif dibutuhkan dalam upaya membangun negara industrial, sementara laju
industrialisasi sebagai dampak liberalisasi ekonomi, masih menciptakan
masyarakat pekerja. Masyarakat kreatif diciptakan dari kultur transportasi
massal, orang-orang akan memiliki waktu membaca daripada menghabiskan waktu di
jalan dengan mengendarai kendaraan pribadinya. Hal itu harus diikuti dengan
manajemen lalu lintas yang baik, serta keinginan masyarakat dan pemerintah dalam
membangun kultur membaca. Tentu akan terasa mengada-ngada, mencari hubungan
antara mimpi terciptanya kultur transportasi massal dengan masyarakat gemar
membaca, tetapi kreatifitas dibangun bukan hanya dari pengalaman, tetapi juga
dari pengalaman membaca. Membaca bukan hanya akan mendapatkan catatan praktis
rancang teknik dan desain manufaktur, akan tetapi meliputi desain kemanusiaan
yang mandiri. Karenanya masyarakat Jepang yang dahulu banyak menerjemahkan
buku-buku hasil pemikiran barat, bukan hanya menciptakan perusahaan-perusahaan
otomotif, terlebih melakukan politik dumping.
Masyarakat Jepang tidak terlalu tertarik memiliki kendaraan pribadi. Mereka
justru menjadikan Indonesia, yang jumlah penduduknya salah satu terbesar di
dunia menjadi pasar potensial hasil produksi manufaktur otomotif mereka.
Buku Sastra di Mini Market
Di Jepang pada
waktu tertentu minimarket seperti halnya toko-toko waralaba di Indonesia yang
terjangkau dan tersebar di berbagai daerah–seperti informasi yang saya dapatkan
dari buku surat-menyurat Ajip Rosidi, di mana kebetulan sastrawan ini pernah
tinggal lama menjadi pengajar di Kota Osaka, (Ucang-ucang Anggé, 2000)— dipakai
untuk memamerkan buku-buku sastra yang kemudian melahirkan para pengarang peraih
nobel dan penghargaan dunia. Kenapa begitu lestarinya kegiatan semacam itu?
karena masyarakat di sana memiliki waktu untuk membaca, minat baca pun kemudian
sangat tinggi, waktu mereka di dalam kereta Shinkasen,
menuju tempat kerjanya dimanfaatkan untuk membaca novel dan buku puisi. Tidak
harus semuanya menjadi penyair atau pengarang, tetapi buku-buku sastra, akan
membuat seorang manusia memiliki kesadaran hidup mandiri, alhasil menciptakan
kreatifitas di bidang apapun mereka bekerja.
Ini yang saya
maksud sebagai masyarakat membaca, bukan hanya mendapati langkah-langkah
praktis mendesain mesin produksi, tetapi kesadaran lahirnya kemandirian.
Sekarang hal itu ditiru oleh bangsa-bangsa yang didahului oleh Korea Selatan,
kemudian China dan terakhir bahkan India. Indonesia kapan mengikuti jejak
mereka? Saya mungkin menunggu adanya pemimpin di daerah saya yang memanfaatkan
Kalimalang sebagai jalur transportasi sungai, menuju beberapa kawasan industri,
dan bus-bus yang mengantarkan para pebisnis menuju para kliennya di
pabrik-pabrik. Juga perpustakaan yang akan buka 24 jam, untuk memenuhi
kebutuhan membaca para pekerja, yang hanya memiliki waktunya sepulang bekerja
atau hari libur. Hal ini akan sulit diraih jika kemajuan masyarakat hanya
diindikasikan dari kepemilikan kendaraan roda empat, bukan karena pencapaian
intelektual yang menghasilkan masyarakat kreatif itu.
Kemajuan
masyarakat industrial sebagai dampak dari liberalisasi ekonomi, selain
pembangunan fisik yang diindikasikan secara kultural dengan kepemilikan
kendaraan bermotor juga hanya baru sebatas majunya sarikat buruh yang tiap
tahun terus menuntut kenaikan upah. Selain kekuatan kaum buruh, dan CSR, sebagai
indikasi mutasi genetik kapitalisme, juga seharusnya lahir kekuatan kaum petani yang kenyataannya, kehilangan lahan
pencaharian mereka selama bertahun-tahun lamanya oleh kepentingan
industrialisasi, sementara keahliannya secara turun-temurun bercocok tanam,
kini tidak diperlukan oleh laju
industrialisasi. Kemajuan masyarakat industrial kreatif ditandai dengan
lahirnya kelas menengah yang gemar membaca dan bertumbuhnya infrastruktur
transportasi massal.(*)
Cikarang, 29
Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar