Minggu, 04 Desember 2016

ESAI

Aksi Massa sebagai Gerakan Kebudayaan
M Taufan Musonip


Tidak ada sesuatu pun yang lepas dari kepentingan politik. Politik adalah alat. Anda bisa menggunakannya untuk mencapai tujuan apapun. Begitu pun aksi 212, tak lepas dari pengaruh politik. Jangankan gerakan bersifat masif, gerakan bersifat pribadi saja tak pernah lepas dari kehendak berkuasa. Saya tidak tertarik membahas aksi 212 secara politik, karena selain secara politis saya tidak menjadi bagian penduduk Jakarta. Toh gerakan massa Islam 212 tidak menawarkan alternatif kepemimpinan secara politik, gerakan 212 hanya menawarkan kepemimpinan secara kultural, yaitu pentingnya peran ulama bagi umat Islam di Indonesia.

Kenapa isu Agama mudah menggerakkan banyak orang untuk melakukan aksi? Tidak pada saat banyak penduduk Jakarta mengalami penggusuran? Bagi saya aksi massa memerlukan momentum untuk bergerak lebih massif. Perlu ada seorang biksu membakar dirinya sendiri untuk menciptakan empati dan gerakan massa. Kekuatan politik selalu mendapatkan tantangan dari gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan bermula dari gerakan individu yang memberi efek menular. Bagi saya dugaan pelecehan Ahok atas Ayat Suci Al Qur’an adalah persoalan kebudayaan, karena isu yang kemudian berkembang adalah Agama sebagai persoalan yang abstrak meski berdampak besar pada konstelasi politik. berbeda dengan persoalan politik yang lebih detail dalam menyampaikan tuntutan.



Kulchohn
Jika sebuah aksi massa itu dipantik dari persoalan kebudayaan, Anda bisa mengikuti Clyde Kulckhohn dalam membahas persoalan kebudayaan. Kulckhohn tidak hanya melihat kebudayaan sebagai definisi, tetapi sebuah gerakan. Kebudayaan dalam salah satu syarat Kulchohn adalah adanya endapan sejarah yang mungkin dapat kembali terekstrasi pada persoalan hidup manusia. Sebagai sebuah rujukan untuk menyelesaikan persoalan, atau bisa jadi sudah menjadi bagian bawah sadarnya.

Persoalan Ahok tidak hanya bersifat vertikal yang terkoneksi pada persoalan politik, tetapi juga secara horisontal yang memenuhi kanal media sosial. Seorang penyair yang puisi-puisinya di akui media mainstream, ketika menanggapi orang-orang yang merasa tercederai karena agamanya dinistakan, memuat suatu pernyataan yang dangkal tapi sangat tendensius memperolok-olok, kurang lebih seperti ini:

“Siapapun yang berbicara agama akan nampak dangkal, meskipun tingkat akademisnya sangat tinggi. Bisakah mempersatukan antara nalar intelektual dengan nalar agama?”

Sebuah pertanyaan yang tidak pantas diajukan bagi seorang penyair yang puisi-puisinya diakui masyarakat sastra. Penyair ini seharusnya kembali membaca buku filsafat tingkat dasar, sebelum memulai statement kebudayaan, bahkan sebelum menulis puisi-puisinya. Anda, boleh mengatakan bahwa saya sangat serampangan mengatakan statement penyair itu sebagai statement kebudayaan. Tapi saya akan mengatakan, setiap orang memiliki tanggung jawab terhadap perkataannya, terlebih bila memiliki status khusus di masyarakat. Status kepenyairan memiliki beban tanggung jawab yang besar. Dan bukankah kepenyairan adalah sebuah kerja kebudayaan?

Mimikri
Aksi massa adalah tanggapan atas invaliditas pemikiran kebudayaan yang menggejala secara horizontal yang dibagikan secara terus menerus sejak kaum intelektual dan budayawan bingung mengambil arah modernisme Indonesia sebagai bentuk tandingan kekuatan imperialisme dan kolonialisme asing. Budaya paska kolonialis yang mencari bentuk dalam isyarat-isyarat yang terjadi dalam karya sastra, ditanggapi bukan lagi sebagai hibriditas yang menghasilkan modernisme khas Indonesia, tapi mimikri, yang pada akhirnya menganggap kebudayaan barat sebagai segala-galanya. Tanggapan atas arus invaliditas pemikiran yang membanjir secara horizontal itu dinaikkan secara vertikal, politis, mampu memengaruhi popularitas pentas Ahok dalam Pilkada Jakarta.

Bentuk-bentuk invaliditas pemikiran kebudayaan yang memiliki mimikri kebarat-baratan itu meremehkan fungsi Ulama sebagai sentral kebudayaan masyarakat secara turun temurun. Mereka menganggap semua bisa diselesaikan sendiri, dengan buku dan hanya terjemahan kitab suci. Buku sebagai sumber geliatnya intelektual yang  selalu diagung-agungkan akan membawa kemajuan itu tak mampu memisahkan ulama dan masyarakatnya. Demokrasi adalah sebuah hasil jelajah ilmu pengetahuan, seharusnya menciptakan kepemimpinan yang berwibawa. Masyarakat yang memiliki karakter. Tidak memutus sebuah jalan intelektual menuju tujuannya.

Maka berbondong-bondonglah umat menuju pusatnya, mengajukan protes, meski harus dengan berjalan jauh dari daerahnya, menciptakan ikatan kuat ulama dengan umatnya, mengembalikan marwah ulama sebagai identitas umat Islam yang tidak bisa ditiadakan dari hidup guyub sebagai masyarakat Islam. Meski secara lembaga ulama tidak hadir dan menyatakan tidak ikut ambil bagian dalam aksi, ikatan itu justru makin menguatkan ulama tak bisa terpisahkan dari umatnya. Jika memperhatikan di waktu ke belakang eksistensi ulama sebagai bahan olok-olok dan kenyinyiran dari masyarakat yang akunya adalah masyarakat modern dan paling maju.

Endapan sejarah sebagai faktor bangkitnya kebudayaan, kembali terekstraksi dan tersuspensi dalam masalah hidup berbangsa. Sebagaimana dahulu, ulama menggerakan kaum pejuang Surabaya, Soedirman yang nyatanya seorang mubaligh, mampu menguatkan prajurit geriyawan dari rongrongan tentara kolonial Belanda, juga KH Noer Ali yang membangun rakyat menjadi pejuang Mujahidin di Cibarusah. Terlalu banyak peran ulama yang tak bisa dinafikan jasanya, bagi bangkitnya kedaulatan NKRI.
***

Cikarang 4 Desember 2016



  









Tidak ada komentar:

Posting Komentar