Aksi Massa sebagai Gerakan Kebudayaan
M Taufan Musonip
Tidak ada sesuatu pun yang lepas dari
kepentingan politik. Politik adalah alat. Anda bisa menggunakannya untuk
mencapai tujuan apapun. Begitu pun aksi 212, tak lepas dari pengaruh politik. Jangankan gerakan bersifat masif, gerakan bersifat pribadi saja tak
pernah lepas dari kehendak berkuasa. Saya tidak tertarik membahas aksi 212
secara politik, karena selain secara politis saya tidak menjadi bagian penduduk
Jakarta. Toh gerakan massa Islam 212 tidak menawarkan alternatif kepemimpinan secara politik, gerakan 212 hanya menawarkan kepemimpinan secara kultural, yaitu pentingnya peran ulama bagi umat Islam di Indonesia.
Kenapa isu Agama mudah menggerakkan
banyak orang untuk melakukan aksi? Tidak pada saat banyak penduduk Jakarta
mengalami penggusuran? Bagi saya aksi massa memerlukan momentum untuk bergerak
lebih massif. Perlu ada seorang biksu membakar dirinya sendiri untuk
menciptakan empati dan gerakan massa. Kekuatan politik selalu mendapatkan tantangan dari gerakan kebudayaan. Gerakan kebudayaan
bermula dari gerakan individu yang memberi efek menular. Bagi saya dugaan pelecehan
Ahok atas Ayat Suci Al Qur’an adalah persoalan kebudayaan, karena isu yang kemudian berkembang adalah Agama sebagai persoalan yang abstrak meski berdampak besar pada konstelasi politik. berbeda dengan persoalan politik yang lebih detail dalam menyampaikan tuntutan.
Kulchohn
Jika sebuah aksi massa itu dipantik dari
persoalan kebudayaan, Anda bisa mengikuti Clyde Kulckhohn dalam membahas
persoalan kebudayaan. Kulckhohn tidak hanya melihat kebudayaan sebagai
definisi, tetapi sebuah gerakan. Kebudayaan dalam salah satu syarat Kulchohn
adalah adanya endapan sejarah yang mungkin dapat kembali terekstrasi pada
persoalan hidup manusia. Sebagai sebuah rujukan untuk menyelesaikan persoalan,
atau bisa jadi sudah menjadi bagian bawah sadarnya.
Persoalan Ahok tidak hanya bersifat vertikal yang terkoneksi pada persoalan politik, tetapi juga secara horisontal yang memenuhi kanal media sosial. Seorang penyair yang puisi-puisinya di akui media mainstream, ketika menanggapi orang-orang yang merasa tercederai karena agamanya dinistakan, memuat suatu pernyataan yang dangkal tapi sangat tendensius memperolok-olok, kurang lebih seperti ini:
“Siapapun yang berbicara agama akan
nampak dangkal, meskipun tingkat akademisnya sangat tinggi. Bisakah mempersatukan
antara nalar intelektual dengan nalar agama?”
Sebuah pertanyaan yang tidak pantas
diajukan bagi seorang penyair yang puisi-puisinya diakui masyarakat sastra.
Penyair ini seharusnya kembali membaca buku filsafat tingkat dasar, sebelum
memulai statement kebudayaan, bahkan sebelum menulis puisi-puisinya. Anda,
boleh mengatakan bahwa saya sangat serampangan mengatakan statement penyair itu
sebagai statement kebudayaan. Tapi saya akan mengatakan, setiap orang memiliki
tanggung jawab terhadap perkataannya, terlebih bila memiliki status khusus di
masyarakat. Status kepenyairan memiliki beban tanggung jawab yang besar. Dan bukankah
kepenyairan adalah sebuah kerja kebudayaan?
Mimikri
Aksi massa adalah tanggapan atas
invaliditas pemikiran kebudayaan yang menggejala secara horizontal yang dibagikan secara terus menerus sejak kaum intelektual dan budayawan bingung
mengambil arah modernisme Indonesia sebagai bentuk tandingan kekuatan
imperialisme dan kolonialisme asing. Budaya paska kolonialis yang mencari
bentuk dalam isyarat-isyarat yang terjadi dalam karya sastra, ditanggapi bukan
lagi sebagai hibriditas yang menghasilkan modernisme khas Indonesia, tapi
mimikri, yang pada akhirnya menganggap kebudayaan barat sebagai segala-galanya.
Tanggapan atas arus invaliditas pemikiran yang membanjir secara horizontal itu
dinaikkan secara vertikal, politis, mampu memengaruhi popularitas pentas Ahok
dalam Pilkada Jakarta.
Bentuk-bentuk invaliditas pemikiran
kebudayaan yang memiliki mimikri kebarat-baratan itu meremehkan fungsi Ulama
sebagai sentral kebudayaan masyarakat secara turun temurun. Mereka menganggap
semua bisa diselesaikan sendiri, dengan buku dan hanya terjemahan kitab suci. Buku
sebagai sumber geliatnya intelektual yang selalu diagung-agungkan akan membawa kemajuan
itu tak mampu memisahkan ulama dan masyarakatnya. Demokrasi adalah sebuah hasil
jelajah ilmu pengetahuan, seharusnya menciptakan kepemimpinan yang berwibawa. Masyarakat
yang memiliki karakter. Tidak memutus sebuah jalan intelektual menuju
tujuannya.
Maka berbondong-bondonglah umat menuju
pusatnya, mengajukan protes, meski harus dengan berjalan jauh dari daerahnya,
menciptakan ikatan kuat ulama dengan umatnya, mengembalikan marwah ulama
sebagai identitas umat Islam yang tidak bisa ditiadakan dari hidup guyub
sebagai masyarakat Islam. Meski secara lembaga ulama tidak hadir dan menyatakan
tidak ikut ambil bagian dalam aksi, ikatan itu justru makin menguatkan ulama
tak bisa terpisahkan dari umatnya. Jika memperhatikan di waktu ke belakang
eksistensi ulama sebagai bahan olok-olok dan kenyinyiran dari masyarakat yang
akunya adalah masyarakat modern dan paling maju.
Endapan sejarah sebagai faktor
bangkitnya kebudayaan, kembali terekstraksi dan tersuspensi dalam masalah hidup
berbangsa. Sebagaimana dahulu, ulama menggerakan kaum pejuang Surabaya,
Soedirman yang nyatanya seorang mubaligh, mampu menguatkan prajurit geriyawan
dari rongrongan tentara kolonial Belanda, juga KH Noer Ali yang membangun
rakyat menjadi pejuang Mujahidin di Cibarusah. Terlalu banyak peran ulama yang
tak bisa dinafikan jasanya, bagi bangkitnya kedaulatan NKRI.
***
Cikarang 4 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar