Senin, 12 Desember 2016

ESAI

Taklidnya Jargon Tuhan Tak Perlu Dibela
M Taufan Musonip

Sebelum berlangsungnya aksi 1212 yang serentak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, sebuah acara kuliah Subuh di stasiun televisi swasta membahas soal prilaku buruk Imma’ah, ini juga dapat dirujuk di dalam hadits HR Turmudzi. Imma’ah menurut sabda Rosulullah adalah prilaku masyarakat pembebek, yang tidak tabayun terhadap informasi yang datang padanya. Dia hanya akan mengatakan baik jika panutannya mengatakan baik. Jadi dalam penyakit Imma’ah ini ada penyakit taklid juga. Bahkan dalam penjelasan KH Nasaruddin Umar di acara televisi itu, Imma’ah bisa dipengaruhi karena tawaran keuntungan duniawi. Jadi penyakit sosial ini adalah penyakit komplikasi.

Beberapa hari belakangan, saya meremove akun-akun persahabatan di Facebook, beberapa di antaranya penyair besar dan redaktur media massa. Mereka terendus melakukan penyebaran fitnah terhadap Islam, anehnya justru sebagian besar dari mereka adalah muslim. Peristiwa baru-baru ini membawa hikmah bagi saya, saya menjadi tahu kapabelitas keilmuan beberapa penyair, kepenyairan terkadang hanya usaha memanipulasi kenyataan untuk menciptakan estetika semata-mata.  Bagi sebagian orang kepenyairan adalah upaya kritis terhadap sesuatu yang dianggap dogmatis, itu baik. Tapi mensejajarkan ayat suci dengan dengan pemikiran keilmuan itu berbahaya. Apalagi sampai ada yang mempertanyakan dengan sinis, bahwa tak ada korelasinya antara nalar agama dengan nalar intelektual. Di utarakan dengan ponggah bersama identitas kepenyairannya yang besar.


Fleksibelitas
Menjadi tidak fanatis bukan berarti melunturkan nilai-nilai keagamaan, tidak fanatis adalah bersikap fleksibel terhadap kehadiran pemikiran lainnya. Fleksibilitas bukan hadir tanpa kritik, kritik yang baik adalah membawa pesan ilahiah kepada berbagai pemikiran keilmuan, jika menganggap nilai-nilai keilahian lebih tinggi dari teks-teks lainnya.  Jika tidak, perbedaan hanya sekedar pakaian yang bisa anda tukar kapanpun anda mau.

Belakangan ini, terjadi taklid terhadap pluralisme yang tanpa kritik. Tidak peduli berita itu fitnah atau bukan dijadikan senjata untuk menyerang pihak yang punya cara pandang lain terhadap Nasionalisme. Persetan dengan ucapan yang benar di pihak lawan kalau mengganggu prinsip tanpa kritik itu terjadi. Kalau sudah membenci, maka akan selamanya membenci, sekali lagi kalau mengganggu kepentingannya. Misalnya ungkapan Gus Dur, Tuhan tak perlu dibela, diagungkan seakan-akan cocok untuk zaman dan peristiwa manapun. Padahal bukankah sebuah jargon atau pendapat akan berubah sesuai konteksnya?

Buktinya itu tak teruji dalam membendung gerakan massa yang berpusat pada kaum ulama. Kita sudah tak bisa lagi menangkap pesan maslahat yang tersampaikan meski keluar dari mulut pendusta sekalipun, jika memang kaum ulama anda anggap telah melakukan perilaku yang tak sesuai dengan keinginan anda. Anda tak pernah paham dan sadar selain perbedaan itu niscaya, setiap elemen-elemen yang mengisi perbedaan pun akan senantiasa berubah. Phobia anda terhadap umat Islam yang memiliki aksi destruktif tidak terbukti dengan aksi massa yang berlangsung beberapa waktu belakangan ini. Bahkan Anda merasa seharusnya itu terjadi. Jadi sebenarnya siapa yang memiliki kecenderungan bersikap destruktif itu?

Ungkapan Tuhan tak perlu dibela adalah pemahaman sempit mengenai perbedaan itu sendiri. Membela agama bukan berarti menempatkan posisi Ketuhanan tidak sebagaimana mestinya. Kemaha Perkasaan Tuhan, bukan berarti membuat umatnya pasif. Tuhan bisa menurunkan bencana maha dasyat bagi umatnya, sebagai bentuk teguran. Tapi apa artinya Dia mengutus manusia ke dunia ini?

Allah mengutus Rosul Muhammad bukan hanya menyampaikan wahyu lalu diimani, tapi menerapkannya dalam tindakan kreatif, tidak hanya bersembunyi di Syi’ib Abu Thalib, ketika berada dalam tekanan masyarakat Quraisy. Tetapi mulai melakukan konsolidasi politik dengan pihak yang bertikai di Madinah melalui Ikrar Aqoba. Sebuah rumusan kreatif yang memperkaya eksistansi Islam untuk merancang sebuah konsep Negara. Membela agama atau Tuhan pada masa kini adalah tindakan melakukan pengawasan terhadap Negara sebagai simbol kreatifitas manusia hidup di dunia. Tindakan pengawasan itu tidak bisa dilakukan sendirian. Perlu lembaga. Jika lembaga pengawasan formal ikut bersama-sama dengan Negara melakukan penyelewengan diperlukan kelompok atau organisasi ekstra parlementer yang kritis terhadap penyelewengan negara yang memisahkan rakyatnya dari Tuhannya. Begitu pun halnya dengan NKRI tidak hadir sebagai mitos yang ada begitu saja, ia merupakan simbol dari upaya kreatif para pejuang, yang daya juangnya didasarkan kepada semangat Ketuhanan. Olehnya berlangsungnya eksistensi NKRI perlu diawasi jika terjadi penyelewengan, manusia di utus Allah ke dunia untuk memberi makna ketuhanan terhadap dunia. Apalagi?

Sumbu Pendek
Jadi saya tak ragu untuk meremove akun-akun kawan-kawan saya yang senang memfitnah dan memperolok-olok aksi umat Islam. Memperolok-olok Islam sebagai agama yang menghasilkan umat manusia bersumbu pendek. Anda tidak bisa membedakan mana tindakan kemarahan dan mana tindakan kritis. Kalau anda langsung memberikan penilaian bahwa tindakan kritis kami adalah tindakan kemarahan jangan-jangan anda tidak pernah bercermin bahwa sumbu pendek itu menjadi kuncir rambut anda. Jika begitu siapa sebenarnya yang pemarah? Di mana anda letakan nalar anda diantara pikiran anda? Kalau anda mengaku khatam membaca novel tetralogi Pulau Buru, prinsip adil sejak dalam pikiran itu anda taruh di mana?

Saya tidak menyesal meremove akun-akun yang tendensius memperolok-olok kitab suci kami. Tak peduli anda penyair besar atau redaktur media massa, jika bergaul dengan kalian ternyata lebih banyak mudharatnya. Kepenyairan dan aktifitas penulisan tidak bergantung pada kondisi dan penilaian konvensi yang bersifat satu arah. Kepenyairan dan kepenulisan adalah upaya kemandirian sebagai khazanah estetik.

Semoga masing-masing dari kita dapat mengambil hikmah atas peristiwa terjadi belakangan ini menjadi lebih tabayun dalam memandang persoalan. Sehingga dapat menghindari penyakit sosial Imma’ah yang hanya membebek pada pluralisme yang sempit dan anda agung-agungkan itu, menghayati teks sastra sebagai cara pandang yang lebih kompleks dalam melihat persoalan, tidak menutup kran ilmu pengetahuan yang datang dari pihak yang anda anggap berseberangan karena stigma semata-mata. (*)

Cikarang, 12 Desember 2016

  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar