Taklidnya Jargon Tuhan Tak Perlu Dibela
M Taufan Musonip
Sebelum berlangsungnya aksi 1212 yang
serentak dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, sebuah acara kuliah Subuh
di stasiun televisi swasta membahas soal prilaku buruk Imma’ah, ini juga dapat
dirujuk di dalam hadits HR Turmudzi. Imma’ah menurut sabda Rosulullah adalah
prilaku masyarakat pembebek, yang tidak tabayun terhadap informasi yang datang
padanya. Dia hanya akan mengatakan baik jika panutannya mengatakan baik. Jadi dalam
penyakit Imma’ah ini ada penyakit taklid juga. Bahkan dalam penjelasan KH
Nasaruddin Umar di acara televisi itu, Imma’ah bisa dipengaruhi karena tawaran
keuntungan duniawi. Jadi penyakit sosial ini adalah penyakit komplikasi.
Beberapa hari belakangan, saya
meremove akun-akun persahabatan di Facebook, beberapa di antaranya penyair
besar dan redaktur media massa. Mereka terendus melakukan penyebaran fitnah
terhadap Islam, anehnya justru sebagian besar dari mereka adalah muslim. Peristiwa
baru-baru ini membawa hikmah bagi saya, saya menjadi tahu kapabelitas keilmuan
beberapa penyair, kepenyairan terkadang hanya usaha memanipulasi kenyataan
untuk menciptakan estetika semata-mata. Bagi
sebagian orang kepenyairan adalah upaya kritis terhadap sesuatu yang dianggap
dogmatis, itu baik. Tapi mensejajarkan ayat suci dengan dengan pemikiran
keilmuan itu berbahaya. Apalagi sampai ada yang mempertanyakan dengan sinis,
bahwa tak ada korelasinya antara nalar agama dengan nalar intelektual. Di utarakan
dengan ponggah bersama identitas kepenyairannya yang besar.
Fleksibelitas
Menjadi tidak fanatis bukan berarti
melunturkan nilai-nilai keagamaan, tidak fanatis adalah bersikap fleksibel
terhadap kehadiran pemikiran lainnya. Fleksibilitas bukan hadir tanpa kritik,
kritik yang baik adalah membawa pesan ilahiah kepada berbagai pemikiran
keilmuan, jika menganggap nilai-nilai keilahian lebih tinggi dari teks-teks
lainnya. Jika tidak, perbedaan hanya
sekedar pakaian yang bisa anda tukar kapanpun anda mau.
Belakangan ini, terjadi taklid
terhadap pluralisme yang tanpa kritik. Tidak peduli berita itu fitnah atau
bukan dijadikan senjata untuk menyerang pihak yang punya cara pandang lain
terhadap Nasionalisme. Persetan dengan ucapan yang benar di pihak lawan kalau
mengganggu prinsip tanpa kritik itu terjadi. Kalau sudah membenci, maka akan
selamanya membenci, sekali lagi kalau mengganggu kepentingannya. Misalnya ungkapan
Gus Dur, Tuhan tak perlu dibela, diagungkan seakan-akan cocok untuk zaman dan
peristiwa manapun. Padahal bukankah sebuah jargon atau pendapat akan berubah
sesuai konteksnya?
Buktinya itu tak teruji dalam
membendung gerakan massa yang berpusat pada kaum ulama. Kita sudah
tak bisa lagi menangkap pesan maslahat yang tersampaikan meski keluar dari
mulut pendusta sekalipun, jika memang kaum ulama anda anggap telah melakukan
perilaku yang tak sesuai dengan keinginan anda. Anda tak pernah paham dan sadar
selain perbedaan itu niscaya, setiap elemen-elemen yang mengisi perbedaan pun
akan senantiasa berubah. Phobia anda terhadap umat Islam yang memiliki aksi
destruktif tidak terbukti dengan aksi massa yang berlangsung beberapa waktu belakangan ini. Bahkan Anda merasa seharusnya itu terjadi. Jadi sebenarnya
siapa yang memiliki kecenderungan bersikap destruktif itu?
Ungkapan Tuhan tak perlu dibela
adalah pemahaman sempit mengenai perbedaan itu sendiri. Membela agama bukan
berarti menempatkan posisi Ketuhanan tidak sebagaimana mestinya. Kemaha Perkasaan
Tuhan, bukan berarti membuat umatnya pasif. Tuhan bisa menurunkan bencana maha
dasyat bagi umatnya, sebagai bentuk teguran. Tapi apa artinya Dia mengutus
manusia ke dunia ini?
Allah mengutus Rosul Muhammad bukan
hanya menyampaikan wahyu lalu diimani, tapi menerapkannya dalam tindakan
kreatif, tidak hanya bersembunyi di Syi’ib Abu Thalib, ketika berada dalam
tekanan masyarakat Quraisy. Tetapi mulai melakukan konsolidasi politik dengan
pihak yang bertikai di Madinah melalui Ikrar Aqoba. Sebuah rumusan kreatif yang
memperkaya eksistansi Islam untuk merancang sebuah konsep Negara. Membela agama
atau Tuhan pada masa kini adalah tindakan melakukan pengawasan terhadap Negara
sebagai simbol kreatifitas manusia hidup di dunia. Tindakan pengawasan itu
tidak bisa dilakukan sendirian. Perlu lembaga. Jika lembaga pengawasan formal
ikut bersama-sama dengan Negara melakukan penyelewengan diperlukan kelompok
atau organisasi ekstra parlementer yang kritis terhadap penyelewengan negara
yang memisahkan rakyatnya dari Tuhannya. Begitu pun halnya dengan NKRI tidak
hadir sebagai mitos yang ada begitu saja, ia merupakan simbol dari upaya
kreatif para pejuang, yang daya juangnya didasarkan kepada semangat Ketuhanan. Olehnya
berlangsungnya eksistensi NKRI perlu diawasi jika terjadi penyelewengan,
manusia di utus Allah ke dunia untuk memberi makna ketuhanan terhadap dunia. Apalagi?
Sumbu Pendek
Jadi saya tak ragu untuk meremove
akun-akun kawan-kawan saya yang senang memfitnah dan memperolok-olok aksi umat
Islam. Memperolok-olok Islam sebagai agama yang menghasilkan umat manusia
bersumbu pendek. Anda tidak bisa membedakan mana tindakan kemarahan dan mana
tindakan kritis. Kalau anda langsung memberikan penilaian bahwa tindakan kritis
kami adalah tindakan kemarahan jangan-jangan anda tidak pernah bercermin bahwa
sumbu pendek itu menjadi kuncir rambut anda. Jika begitu siapa sebenarnya yang
pemarah? Di mana anda letakan nalar anda diantara pikiran anda? Kalau anda
mengaku khatam membaca novel tetralogi Pulau Buru, prinsip adil sejak dalam
pikiran itu anda taruh di mana?
Saya tidak menyesal meremove
akun-akun yang tendensius memperolok-olok kitab suci kami. Tak peduli anda
penyair besar atau redaktur media massa, jika bergaul dengan kalian ternyata
lebih banyak mudharatnya. Kepenyairan dan aktifitas penulisan tidak bergantung
pada kondisi dan penilaian konvensi yang bersifat satu arah. Kepenyairan dan
kepenulisan adalah upaya kemandirian sebagai khazanah estetik.
Semoga masing-masing dari kita dapat
mengambil hikmah atas peristiwa terjadi belakangan ini menjadi lebih tabayun dalam
memandang persoalan. Sehingga dapat menghindari penyakit sosial Imma’ah yang
hanya membebek pada pluralisme yang sempit dan anda agung-agungkan itu, menghayati
teks sastra sebagai cara pandang yang lebih kompleks dalam melihat persoalan,
tidak menutup kran ilmu pengetahuan yang datang dari pihak yang anda anggap
berseberangan karena stigma semata-mata. (*)
Cikarang, 12 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar