Film Earthquake, Film
Drama Paling Melow di Penghujung Tahun 2016
M Taufan Musonip
Ia tak pernah merestui hubungan
pemuda itu dengan anak perempuannya. Tapi setelah mendengar kabar dari seorang
ibu yang anaknya diselamatkan oleh calon menantunya itu mengenai kelahiran
cucunya, sang ayah merasa tergugah. Di hadapan lengan anak menantu yang telah
kaku itu disampaikannya permohonan maaf, sambil meratap ia katakan pada Tuhan,
betapa pedih teguranNya, dan ia berjanji, akan memungut satu demi satu batu beton
yang menimpa anak muda itu, menguburkannya secara layak, agar anak perempuannya
dapat menjiarahi dan menangisi makamnya.
Pada kisah yang lain, Robert (Viktor
Stepanyan) anak muda sebatangkara, menyemangati seorang gadis yang terkubur di reruntuhan.
Sepanjang malam ia mengisahkan hidupnya yang terlunta-lunta karena ditinggal
keluarganya pada sebuah kecelakaan mobil. Sang gadis memiliki nasib yang sama,
dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh kakaknya. Sang kakak
menyelamatkannya dengan mendorong meja marmer tepat di atas tubuhnya. Meski mereka
hanya berkenalan lewat suara melalui celah reruntuhan, mereka nampak mulai
saling menyukai. Robert meyakini Lilit (Tatev Ovakimyan) bisa ia selamatkan.
Cerita tersebut adalah potongan kisah
dari Film Rusia-Armenia berjudul Earthquake/Zemletryasenie
yang diputar di penghujung tahun 2016 ini, diarsiteki oleh Sutradara Armenia
Syarik Andreasyan. Film ini merupakan hasil kolaborasi Mars Media Entertainment
Rusia dan Cinema Center Armenia, bagi Anda yang berharap akan adanya efek CGI
sebagaimana dalam disaster movie maka anda harus bersiap kecewa. Karena film
ini lebih menitik beratkan pada drama.
Kompleks
Film Earthquake nampak lebih kompleks dengan menghadirkan silang cerita
beberapa keluarga, yang kemudian digambarkan sebagai sebuah upaya masyarakat
menghadapi bencana. Tidak seperti yang biasa didapati dalam film-film
Hollywood, katakan saja misalnya The
Impossible yang sama-sama merupakan film berdasarkan kisah nyata, lebih
bersifat individual menceritakan sebuah keluarga yang berhasil menghadapi
bencana.
Di sepanjang tahun 2016, saya
merasakan film ini adalah film yang paling membuat saya merasa melankolis
mengalahkan film The Song Of Sparrow
(Iran, Majid Majidi, film lama) atau Aku
ingin Mama Pulang (Indonesia, Monty Tiwa).
Andai saja saya berpikir stigmatis
bahwa karena Rusia dan Armenia adalah bekas negara pusat perkembangan komunisme
(Sovyet) apalagi film itu mengambil kejadian nyata tahun 1988, dengan memaknai
patung Yesus yang disorot nampak tak berdaya, menghadapi bencana, ternyata
musibah justru dapat menghidupkan religiusitas masyarakat ateis sekalipun.
Selain si Pak Tua Erem (Michael Poghosian) yang tadi diceritakan di atas begitu
melownya menghadapi kenyataan heroik anak menantunya, yang sebelumnya dianggap
sebagai penjahat. Seorang ibu mengatakan pada anaknya, bahwa ia akan baik-baik
saja dan akan terus hidup, di dalam batin anaknya. Sebuah benda yang sangat
Lilit benci, yang baru saja tiba di kediamannya, sebagai pemberian seorang
lelaki yang kelak dijodohkan oleh kakaknya, tiba-tiba menjadi sangat berguna
sebagai pelindung dari reruntuhan tembok yang hendak menimpa tubuhnya. Lilit
meminta maaf dan berterimakasih kepada lelaki itu di jalanan ketika ia menarik
sebuah kereta kuda mengantarkan korban tewas entah kemana.
Kejutan
Tema katastrop dalam drama film ini
sangat menggugah saya sebagai penonton. Bencana yang membuat ribuan manusia
nampak tiada artinya, membuat relung religius manusia kembali mengemuka,
seangkuh-angkuh dan sehebat-hebatnya manusia hidup di dunia. Religiusitas telah
membolak-balikan makna yang sebelumnya dinilai manusia berguna atau tidak.
Olehnya saya merasa film ini cocok ditonton di akhir tahun sebagai bahan
renungan dan inspirasi bagi tahun yang telah dilalui dan yang akan datang.
Tuhan Maha Aktif, meski ada upaya manusia untuk membuatnya pasif, agama tak
dapat ditinggalkan untuk menjalani kehidupan di luar peribadatan ritual. Ia
hidup sebelum Ilmu Pengetahuan memengaruhi pikiran manusia. Manusia tak perlu
menunggu bencana untuk kembali mendengarkan petunjuk Tuhan melalui intuisi dari
nilai-nilai religius yang terus berusaha didengungkan dalam relung-relung
segenap pikiran dan jiwa.
Begitulah film ini menghadapkan
masyarakat pada bencana, masyarakat yang secara ekonomi dan sosial nampak
sejajar, bahkan nyaris tidak ada campur tangan Negara kecuali sebentar saja
tampil sekelompok tentara Sovyet, seperti halnya Film Hollywood, yang biasanya
mengambil schene seorang pemimpin
negara yang nampak kebingungan mengeluarkan kebijakan bagi rakyatnya dalam bencana
nasional. Film ini lebih terasa kebersamaannya, meski di awal-awal, karena
harus dikisahkan beberapa keluarga, saya kesulitan menangkap benang merah
ceritanya.
Komposisi musik yang sesuai membuat
film ini tampil makin sendu. Meski menghabiskan dana kurang lebih Rp 40,3
miliar rupiah film ini gagal menembus nominasi Best Foreign-Language Film Oscar 2017. Dan karena efek CGI tidak
ditonjolkan, rekayasa komputer untuk menciptakan gambar yang lebih soft kurang
bekerja dengan baik.
Film ini juga merupakan kejutan,
akhirnya ada juga film di luar Hollywood tayang di bioskop-bioskop Indonesia
setelah film Korea Selatan Busan to Train
dan Film Filipina, Ouija. Saya kira
ini positif, untuk menjadi penyeimbang serangan budaya populer Amerika.
Film-film yang mungkin sekali memengaruhi kultur insan film Indonesia. Saya
mendambakan pula film-film Iran, selain film Indonesia yang berjaya di anugerah
film internasional, tapi kesulitan diputar di bioskop-bioskop Indonesia.(*)
Cikarang, 31 Desember 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar