Minggu, 01 Januari 2017

ESAI FILM

Film Earthquake, Film Drama Paling Melow di Penghujung Tahun 2016
M Taufan Musonip

Hasil gambar untuk film earthquake 2016Ia tak pernah merestui hubungan pemuda itu dengan anak perempuannya. Tapi setelah mendengar kabar dari seorang ibu yang anaknya diselamatkan oleh calon menantunya itu mengenai kelahiran cucunya, sang ayah merasa tergugah. Di hadapan lengan anak menantu yang telah kaku itu disampaikannya permohonan maaf, sambil meratap ia katakan pada Tuhan, betapa pedih teguranNya, dan ia berjanji, akan memungut satu demi satu batu beton yang menimpa anak muda itu, menguburkannya secara layak, agar anak perempuannya dapat menjiarahi dan menangisi makamnya.

Pada kisah yang lain, Robert (Viktor Stepanyan) anak muda sebatangkara, menyemangati seorang gadis yang terkubur di reruntuhan. Sepanjang malam ia mengisahkan hidupnya yang terlunta-lunta karena ditinggal keluarganya pada sebuah kecelakaan mobil. Sang gadis memiliki nasib yang sama, dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh kakaknya. Sang kakak menyelamatkannya dengan mendorong meja marmer tepat di atas tubuhnya. Meski mereka hanya berkenalan lewat suara melalui celah reruntuhan, mereka nampak mulai saling menyukai. Robert meyakini Lilit (Tatev Ovakimyan) bisa ia selamatkan.


Cerita tersebut adalah potongan kisah dari Film Rusia-Armenia berjudul Earthquake/Zemletryasenie yang diputar di penghujung tahun 2016 ini, diarsiteki oleh Sutradara Armenia Syarik Andreasyan. Film ini merupakan hasil kolaborasi Mars Media Entertainment Rusia dan Cinema Center Armenia, bagi Anda yang berharap akan adanya efek CGI sebagaimana dalam disaster movie maka anda harus bersiap kecewa. Karena film ini lebih menitik beratkan pada drama.

Kompleks 
Film Earthquake nampak lebih kompleks dengan menghadirkan silang cerita beberapa keluarga, yang kemudian digambarkan sebagai sebuah upaya masyarakat menghadapi bencana. Tidak seperti yang biasa didapati dalam film-film Hollywood, katakan saja misalnya The Impossible yang sama-sama merupakan film berdasarkan kisah nyata, lebih bersifat individual menceritakan sebuah keluarga yang berhasil menghadapi bencana.

Di sepanjang tahun 2016, saya merasakan film ini adalah film yang paling membuat saya merasa melankolis mengalahkan film The Song Of Sparrow (Iran, Majid Majidi, film lama) atau Aku ingin Mama Pulang (Indonesia, Monty Tiwa).

Andai saja saya berpikir stigmatis bahwa karena Rusia dan Armenia adalah bekas negara pusat perkembangan komunisme (Sovyet) apalagi film itu mengambil kejadian nyata tahun 1988, dengan memaknai patung Yesus yang disorot nampak tak berdaya, menghadapi bencana, ternyata musibah justru dapat menghidupkan religiusitas masyarakat ateis sekalipun. Selain si Pak Tua Erem (Michael Poghosian) yang tadi diceritakan di atas begitu melownya menghadapi kenyataan heroik anak menantunya, yang sebelumnya dianggap sebagai penjahat. Seorang ibu mengatakan pada anaknya, bahwa ia akan baik-baik saja dan akan terus hidup, di dalam batin anaknya. Sebuah benda yang sangat Lilit benci, yang baru saja tiba di kediamannya, sebagai pemberian seorang lelaki yang kelak dijodohkan oleh kakaknya, tiba-tiba menjadi sangat berguna sebagai pelindung dari reruntuhan tembok yang hendak menimpa tubuhnya. Lilit meminta maaf dan berterimakasih kepada lelaki itu di jalanan ketika ia menarik sebuah kereta kuda mengantarkan korban tewas entah kemana.


Kejutan
Tema katastrop dalam drama film ini sangat menggugah saya sebagai penonton. Bencana yang membuat ribuan manusia nampak tiada artinya, membuat relung religius manusia kembali mengemuka, seangkuh-angkuh dan sehebat-hebatnya manusia hidup di dunia. Religiusitas telah membolak-balikan makna yang sebelumnya dinilai manusia berguna atau tidak. Olehnya saya merasa film ini cocok ditonton di akhir tahun sebagai bahan renungan dan inspirasi bagi tahun yang telah dilalui dan yang akan datang. Tuhan Maha Aktif, meski ada upaya manusia untuk membuatnya pasif, agama tak dapat ditinggalkan untuk menjalani kehidupan di luar peribadatan ritual. Ia hidup sebelum Ilmu Pengetahuan memengaruhi pikiran manusia. Manusia tak perlu menunggu bencana untuk kembali mendengarkan petunjuk Tuhan melalui intuisi dari nilai-nilai religius yang terus berusaha didengungkan dalam relung-relung segenap pikiran dan jiwa.

Begitulah film ini menghadapkan masyarakat pada bencana, masyarakat yang secara ekonomi dan sosial nampak sejajar, bahkan nyaris tidak ada campur tangan Negara kecuali sebentar saja tampil sekelompok tentara Sovyet, seperti halnya Film Hollywood, yang biasanya mengambil schene seorang pemimpin negara yang nampak kebingungan mengeluarkan kebijakan bagi rakyatnya dalam bencana nasional. Film ini lebih terasa kebersamaannya, meski di awal-awal, karena harus dikisahkan beberapa keluarga, saya kesulitan menangkap benang merah ceritanya.

Komposisi musik yang sesuai membuat film ini tampil makin sendu. Meski menghabiskan dana kurang lebih Rp 40,3 miliar rupiah film ini gagal menembus nominasi Best Foreign-Language Film Oscar 2017. Dan karena efek CGI tidak ditonjolkan, rekayasa komputer untuk menciptakan gambar yang lebih soft kurang bekerja dengan baik.

Film ini juga merupakan kejutan, akhirnya ada juga film di luar Hollywood tayang di bioskop-bioskop Indonesia setelah film Korea Selatan Busan to Train dan Film Filipina, Ouija. Saya kira ini positif, untuk menjadi penyeimbang serangan budaya populer Amerika. Film-film yang mungkin sekali memengaruhi kultur insan film Indonesia. Saya mendambakan pula film-film Iran, selain film Indonesia yang berjaya di anugerah film internasional, tapi kesulitan diputar di bioskop-bioskop Indonesia.(*)

Cikarang, 31 Desember 2016.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar