Penelepon Misterius
M Taufan Musonip
Aku mencintai pekerjaanku sebagai
penyiar radio. Stasiun radio ini berdiri puluhan tahun lamanya. Ayahku
merintisnya, sejak masa mudanya. Yang membuat radio ini bertahan adalah acara
andalan, semacam kontak jodoh. Dan hampir setahun ini aku menjadi pemandunya.
Mungkin sudah ribuan orang selama puluhan tahun dibantu mendapatkan jodoh.
Setiap acara itu berlangsung selalu diisi oleh ceramah. Selain itu kami juga
telah berhasil menyelamatkan pasangan di jurang perpisahan. Program kami sangat
terpercaya. Dan pernah mendapatkan penghargaan dari Presiden, juga beberapa
stasiun televisi. Bagi kalangan pesantren program ini sangat mujarab dalam
mengobati penyakit masyarakat yaitu perzinahan. Ribuan pasang anak muda memutuskan
menikah setiap tahun. orang tua mereka tak lagi membingungkan soal biaya
pernikahan. Setiap anak muda yang memutuskan menikah tanpa bekerja, kini merasa
yakin, bahwa menikah membuka pintu rejeki. Ayahku yang memiliki banyak kenalan
dengan pengusaha memberi jalan keluar, perusahaan itu menyerap tenaga kerja
dari pendengar setia program ini.
Tapi program itu akhir-akhir ini
berhasil menerorku. Ada seorang penelpon yang mengatakan bahwa aku yang ikut
aktif dalam program acara, hanya bisa mengajari orang segera menikah, sementara
aku menunda-nundanya. Usiaku sudah 23. Ali Audah, anak kawan ayah sudah
beberapa kali mengajukan lamaran. Dia sarjana lulusan Al Ahzar. Bahkan dalam
waktu yang tak lama lagi akan menggantikan Kyai Arman, yang sudah masuk masa
pensiun. Ali Audah, hapal Al Quran, sementara ini mengisi acara Asmaul Husna, setiap Dhuha. Selain itu
dia membuka restoran kebab di bilangan Tambun, sekarang ia tengah melakukan
negosasi dengan pemerintah setempat untuk merestorasi Gedong Juang, gedung itu sangat bersejarah, ia ingin orang Bekasi
tahu, betapa rakyat Bekasi telah ikut ambil bagian dalam sejarah Indonesia. Ia
ingin mendirikan kafe, dan dengan anak muda lainnya, hendak menjadikannya museum.
Setiap seminggu sekali seperti ia ceritakan padaku, ia mendatangi turunan
pejuang Bekasi, salah satunya adalah anak-cucu KH Noer Ali.
Penelpon itu seorang laki-laki.
Selalu hadir suaranya setiap akhir acara.
“Aisyah,” panggilnya, suaranya
terdengar seperti sedang salesma. Ia seperti hidup dalam sebuah kesunyian, tak
pernah ada keramaian di belakang suaranya. Ia menelpon pada malam sebelum
Ramadan, malam terakhir mengudaranya program ini, setiap bulan puasa, program
ini diganti dengan dongeng Islami berbahasa Sunda, yang ditulis Ki Umbara. Ayah
sangat menyukai buku-buku Sunda.
Dia kemudian melanjutkan, “apakah
kamu pernah membaca buku Multatuli?”
Aku belum membaca buku itu, lagi pula
aku tak tidak hobi membaca. Ali selalu menghadiahi buku-buku setiap berkunjung
ke rumah. Semuanya buku-buku Islam. Aku menumpuknya di meja kerja di kamarku,
belum berniat sama sekali membacanya. Mengenai syiar, aku lebih merasa mengena
bila mendengarnya dari Kyai Arman. Dari Ali, aku hanya merasakan syiarnya
diliputi kepentingan dapat menarik minatku atas kecerdasan religiusnya dan ia
seperti hendak mengatakan bahwa dirinya adalah lelaki idaman.
“Tidak,” kataku, lalu aku membacakan
beberapa daftar wanita, yang tengah menunggu jodohnya. Lalu ia memotong, kenapa
di antara wanita itu tidak ada namaku.
Aku terdiam, sementara Kiyai Arman,
terkekeh. Dia memang seorang ulama yang mencintai tertawa. Dia ulama yang
humoris. Menurut dia tertawa adalah muamalah. Karena inti agama adalah
kebahagiaan.
“Max Havelar menulis bahwa puisi adalah jenis
kebohongan yang menghalang-halangi kebenaran. Apa Aisyah percaya?”
Lalu ia membacakan puisi yang
menurutnya ditulis oleh Haji Hasan Mustopa.
“sejauh kau cari ada, maka akan kau
temui tiada, sejauh kau berjalan menuju selatan maka akan kau temui utara.” Lalu
ia melanjutkan. “kau adalah yang kucari sebagai ada menuju tiada, sebagai
selatan untuk menemukan utara. Apakah kau percaya itu kebohongan semata? Setiap
kata yang ditulis penyair, dipertimbangkan masak-masak supaya terdengar Indah,
kebenaran menemukan jalannya melalui keindahan. Dan kamu adalah keindahan.”
Kyai Arman kembali terkekeh,
menertawakan tindak-tanduk anak muda, dia mematikan mikroponnya, dan beringsut
keluar studio.
Keindahan? Keindahan apa? Apakah dia
pernah melihatku, mengenalku? Aku hanya mengenalnya sebagaimana ia, melalui
suara. Bagaimana bisa ia mengatakan aku sebagai keindahan. Kenapa ia tak datang
ke studio, mencoba menjemputku, menghampiri untuk mengenalkan dirinya. Aku
berharap ia datang, menungguinya, tak pernah kunjung. Apa ia berada di antara
orang-orang yang bekerja di stasiun ini? Atau ia telah mengawasiku sejak lama?
***
Lelaki yang menelponku itu, berhasil
membuat ayahku memanggilku di ruang tengah sehabis Tarawih. Dia tak pernah
melewatkan mendengarkan program acara andalan yang menghidupkan bisnis radionya
selama puluhan tahun. Sehabis membaca majalah bulanan Manglé, ia mengutarakan beberapa pertanyaan. Dan
akhirnya beliau membela anak muda –ya dari suaranya, memang seperti anak muda-
yang menelpon itu.
“Anak muda penyair itu, memang benar, coba kau
renungkan. Umurmu sudah cukup untuk menikah, di acara itu bukankah kau telah
berhasil menjodohkan banyak anak muda.
Ibumu akan bahagia di alam baka jika kau menyegerakan menikah. Ayah
sudah semakin tua, kau anak satu-satunya. Apa yang kurang dari Ali?” ayah sudah
tidak merokok lagi, dia selalu menghabiskan sebekong air sebelum tidur. Di meja,
sudut ruang tamu, radio tua peninggalan kakek sedang berlangsung dongeng Ki
Umbara. Peminatnya biasanya orang sepuh, dan didengar mungkin oleh orang-orang
desa, sinyal radio ini bisa tertangkap sampai daerah pegunungan di Cianjur,
biasanya peminatnya dari sana, tapi ada juga peminatnya dari Cibarusah, yang
banyak keturunan Sundanya. Aku pernah menyarankan agar acara dongeng itu diganti
dengan yang lebih segar, yang diminati anak muda tapi acara itu sudah
berlangsung puluhan tahun juga. Ayahku menyarankan agar mencari waktu lain. Lagi
pula menurutnya, kenapa cerita-cerita masa lalu berbahasa Sunda tidak disebut
modern? Cerita-cerita yang dibacakan itu adalah cerita dalam bentuk novel, itu
hal baru, bentuk sastra asli daerah bukan novel, tapi Kakawin atau Carita Pantun.
Aku tertunduk, meneruskan sulaman. Ali, ya
Ali, hanya dia yang masih mau menungguku, yang lainnya menyerah memilih wanita
lain, mereka yang mengantri hendak melamarku merasa standarku terlalu tinggi .
Aku belum menemukan alasan yang tepat menerima lamarannya. Dia terlalu kaku.
Aku tahu, aku akan selamat, jika mengikuti semua petunjuk Allah, lagi pula aku
diasuh dilingkungan keluarga relijius dan Ali bukan lelaki yang datang dari
dunia berbeda. Tapi lelaki ini tak memiliki artikulasi yang cukup baik yang
membuat aku kelak akan bahagia dengannya melalui cahaya terang Agama. Tapi
pendapatku itu barangkali hanya muncul dari hawa nafsu untuk memilih lelaki
yang menurutku lebih baik, padahal bukankah ukuran kebaikan hanya datang dari
Allah? Manusia hanya wajib berikhtiar.
Tiba-tiba saja aku ingin mengenal lebi dalam
siapa Lelaki yang menelpon setiap akhir acara itu? Dia pandai sekali menghias
cahaya agama. Dalam puisi yang dibacakannya, membuatnya indah. Dengan begitu
aku merasa lelaki macam dia sebagai pecinta keindahan lebih mampu membangun
bahtera rumah tangga secara membahagiakan.
“Ayah, tidak mau menunggu lagi. Sehabis Lebaran kau harus segera memutuskan
untuk menikah. Jika bukan Audah pilihanmu. Siapa lelaki beruntung yang akan
menjadi pendampingmu? Segera bawa dia ke hadapan ayah. Jangan ajarkan orang
tentang kebenaran Qur’an sementara kau sendiri akan dianggap mengingkarinya.”
Aku mengingat Attar. Aku melihat buku Asmaul Husna yang dihadiahkan Ali,
karangan seorang Profesor dari Nablus, Asmaul Husna adalah nama-nama Allah yang
Indah. Aku mabuk keindahan yang selalu dipendarkan si penelepon misterius itu.
Ali kurang apa sebagai lelaki, hapal Qur’an, pandai berbisnis, tatapan matanya
selalu menyelidik dan tegas, langkahnya diliputi petunjuk Kitab Suci, dia anak
seorang guru Agama. Tapi tidak pernah rasanya mengalahkan kekuatan suara yang
dipendarkan Attar di ujung telepon. Sementara aku tak pernah berani menyelidiki
identitasnya. Dia kubiarkan misterius, aku takut fisiknya terkalahkan oleh
kekuatan kata-katanya.
***
Di ruang penerimaan telepon aku membaca daftar
telpon yang masuk. Matahari pagi, di jendela kantor redaksi, menghangatkan
ruangan. Menara Radio ini, tak pernah mengenal pendingin ruangan, bangunannya
dibuat dengan jendela cukup lebar, dan pohonan yang dirawat selama puluhan
tahun, oksigen yang dihamparkan pohon-pohon itu menjaga kesejukan, menahan
serangan panas dari geliat pembangunan pabrik-pabrik.
“Aisyah cari telepon siapa?” Aku hanyut dalam
tatapnya, ada watak di dalamnya yang tidak diciptakan dalam waktu yang
sebentar, ia dibentuk oleh lingkungan yang hebat.
“Akang, mau membantuku?”
“Kau mencari Attar?”
Aku menarik nafas. Kami saling pandang. Ali
lelaki tampan, tapi dia lebih memilih menunduk kalau berdiri di hadapanku.
“Lelaki penyair itu?”
Aku mengangguk.
Dia membacakan Surat As-Syuara. Kutanyakan
padanya, apakah semua puisi yang dibacakannya mengandung kezabadan, apakah ia
seorang yang zabad.
“Aku, tidak tahu, aku belum membaca puisi-puisinya,
dia hanya memperdengarkan puisi-puisi orang.” Jawabnya. “Dia hanya pernah
membacakan puisinya satu saja.”
“Akang, mengikuti, apa yang ia bicarakan di
telepon?”
“Matahari di balik bunga-bunga, tertutup oleh
keindahan dan wewangian yang menutupnya,” Ali membacakan puisi si penelpon
misterius itu. Ia mengingatnya. Sementara aku pernah merekamnya di buku kecil.
Ia melanjutkan, “keindahan dan wewangian
adalah ayat-ayat matahari. Kau adalah penghalang sekaligus penandanya,
begitukah?”
Aku tenggelam dalam sederet nomor telepon, aku
menemukan nama Attar. Aku bersorak dalam benak. Telpon itu bukan telepon ponsel
tetapi nomor telepon lokal. Ali membantuku mencarikan alamat atas nomor telepon
itu. Alamat atas nomer telepon itu ada di Jalan Singa XVI no 34.
Seharian, kami mencari alamat itu, karena
telepon yang dipakai Attar tidak pernah diangkat. Di jalan itu tidak ada yang
memiliki nomer telepon itu. Ali mengatakan bahwa ia ikut bersedih. Esoknya kami
mencari lagi di jalan singa yang lain, tetap tak ditemukan. Dan pagi sebelum
kami berangkat, telepon itu memiliki nada tunggu yang cepat, tanda telpon
sedang dipakai. Sampai siang nada telepon tidak berubah. Esoknya begitu pula.
Kami pergi mencari lagi, sampai penghujung bulan Ramadan. Ali menatap sebuah
telepon umum yang sudah uzur, sebuah prasasti manusia modern sebelum lahirnya
telepon cerdas, gagang teleponnya menggantung. Ali segera mencoba telepon itu,
dia mencobanya dengan uang logam, yang disambungkan dengan ponselku, telepon
itu masih berfungsi. Terpendar nomor telepon yang sama dengan telepon yang
digunakan Attar dalam telepon genggamku. Ali bersorak. Ia segera bergegas
mencari lelaki bernama Attar di sekitar telepon itu berdiri. Tapi aku
mencegahnya. Kukatakan padanya, bahwa aku tidak lagi mencari Attar.
Dia menatap kosong dan dalam. “kenapa?”
tanyanya.
“Lamar aku, datanglah esok ke rumah.”
“Bagaimana dengan Attar?”
“Ia tak ada, seharusnya ia berjuang lebih jauh
lagi, tak hanya dalam kata dan suara.”
Aku mencari taksi. Aku tersenyum melihat
tingkah lelaki yang sekuat tenaga mencoba membahagiakan kekasihnya, meski nampak
hanya pura-pura. Kulihat di jendela taksi, Ali tampak mengecup-ngecup jemarinya
dan menengadahkan kepalanya ke langit, sebagaimana seorang muslim menciptakan
gestur rasa syukur kepada Tuhannya. Telepon umum di sebelahnya telah menjadi
saksi dua lelaki, yang satu diliputi kabut misteri –lelaki mana jaman ini, yang
masih respek terhadap keberadaan dan memelihara telepon umum?- yang lainnya
berdiri sebagai pemenang. Aku memilih pulang terpisah dengan Ali, karena aku
ingin melihat dia mengejar perempuan yang dicintainya.(*)
Cikarang, 1 juli 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar