Minggu, 02 Juli 2017

CERPEN

Penelepon Misterius
M Taufan Musonip

Aku mencintai pekerjaanku sebagai penyiar radio. Stasiun radio ini berdiri puluhan tahun lamanya. Ayahku merintisnya, sejak masa mudanya. Yang membuat radio ini bertahan adalah acara andalan, semacam kontak jodoh. Dan hampir setahun ini aku menjadi pemandunya. Mungkin sudah ribuan orang selama puluhan tahun dibantu mendapatkan jodoh. Setiap acara itu berlangsung selalu diisi oleh ceramah. Selain itu kami juga telah berhasil menyelamatkan pasangan di jurang perpisahan. Program kami sangat terpercaya. Dan pernah mendapatkan penghargaan dari Presiden, juga beberapa stasiun televisi. Bagi kalangan pesantren program ini sangat mujarab dalam mengobati penyakit masyarakat yaitu perzinahan. Ribuan pasang anak muda memutuskan menikah setiap tahun. orang tua mereka tak lagi membingungkan soal biaya pernikahan. Setiap anak muda yang memutuskan menikah tanpa bekerja, kini merasa yakin, bahwa menikah membuka pintu rejeki. Ayahku yang memiliki banyak kenalan dengan pengusaha memberi jalan keluar, perusahaan itu menyerap tenaga kerja dari pendengar setia program ini. 


Tapi program itu akhir-akhir ini berhasil menerorku. Ada seorang penelpon yang mengatakan bahwa aku yang ikut aktif dalam program acara, hanya bisa mengajari orang segera menikah, sementara aku menunda-nundanya. Usiaku sudah 23. Ali Audah, anak kawan ayah sudah beberapa kali mengajukan lamaran. Dia sarjana lulusan Al Ahzar. Bahkan dalam waktu yang tak lama lagi akan menggantikan Kyai Arman, yang sudah masuk masa pensiun. Ali Audah, hapal Al Quran, sementara ini mengisi acara Asmaul Husna, setiap Dhuha. Selain itu dia membuka restoran kebab di bilangan Tambun, sekarang ia tengah melakukan negosasi dengan pemerintah setempat untuk merestorasi Gedong Juang, gedung itu sangat bersejarah, ia ingin orang Bekasi tahu, betapa rakyat Bekasi telah ikut ambil bagian dalam sejarah Indonesia. Ia ingin mendirikan kafe, dan dengan anak muda lainnya, hendak menjadikannya museum. Setiap seminggu sekali seperti ia ceritakan padaku, ia mendatangi turunan pejuang Bekasi, salah satunya adalah anak-cucu KH Noer Ali.

Penelpon itu seorang laki-laki. Selalu hadir suaranya setiap akhir acara.

“Aisyah,” panggilnya, suaranya terdengar seperti sedang salesma. Ia seperti hidup dalam sebuah kesunyian, tak pernah ada keramaian di belakang suaranya. Ia menelpon pada malam sebelum Ramadan, malam terakhir mengudaranya program ini, setiap bulan puasa, program ini diganti dengan dongeng Islami berbahasa Sunda, yang ditulis Ki Umbara. Ayah sangat menyukai buku-buku Sunda.

Dia kemudian melanjutkan, “apakah kamu pernah membaca buku Multatuli?”

Aku belum membaca buku itu, lagi pula aku tak tidak hobi membaca. Ali selalu menghadiahi buku-buku setiap berkunjung ke rumah. Semuanya buku-buku Islam. Aku menumpuknya di meja kerja di kamarku, belum berniat sama sekali membacanya. Mengenai syiar, aku lebih merasa mengena bila mendengarnya dari Kyai Arman. Dari Ali, aku hanya merasakan syiarnya diliputi kepentingan dapat menarik minatku atas kecerdasan religiusnya dan ia seperti hendak mengatakan bahwa dirinya adalah lelaki idaman.

“Tidak,” kataku, lalu aku membacakan beberapa daftar wanita, yang tengah menunggu jodohnya. Lalu ia memotong, kenapa di antara wanita itu tidak ada namaku.

Aku terdiam, sementara Kiyai Arman, terkekeh. Dia memang seorang ulama yang mencintai tertawa. Dia ulama yang humoris. Menurut dia tertawa adalah muamalah. Karena inti agama adalah kebahagiaan.

 “Max Havelar menulis bahwa puisi adalah jenis kebohongan yang menghalang-halangi kebenaran. Apa Aisyah percaya?”

Lalu ia membacakan puisi yang menurutnya ditulis oleh Haji Hasan Mustopa.

“sejauh kau cari ada, maka akan kau temui tiada, sejauh kau berjalan menuju selatan maka akan kau temui utara.” Lalu ia melanjutkan. “kau adalah yang kucari sebagai ada menuju tiada, sebagai selatan untuk menemukan utara. Apakah kau percaya itu kebohongan semata? Setiap kata yang ditulis penyair, dipertimbangkan masak-masak supaya terdengar Indah, kebenaran menemukan jalannya melalui keindahan. Dan kamu adalah keindahan.”

Kyai Arman kembali terkekeh, menertawakan tindak-tanduk anak muda, dia mematikan mikroponnya, dan beringsut keluar studio.

Keindahan? Keindahan apa? Apakah dia pernah melihatku, mengenalku? Aku hanya mengenalnya sebagaimana ia, melalui suara. Bagaimana bisa ia mengatakan aku sebagai keindahan. Kenapa ia tak datang ke studio, mencoba menjemputku, menghampiri untuk mengenalkan dirinya. Aku berharap ia datang, menungguinya, tak pernah kunjung. Apa ia berada di antara orang-orang yang bekerja di stasiun ini? Atau ia telah mengawasiku sejak lama?

***
Lelaki yang menelponku itu, berhasil membuat ayahku memanggilku di ruang tengah sehabis Tarawih. Dia tak pernah melewatkan mendengarkan program acara andalan yang menghidupkan bisnis radionya selama puluhan tahun. Sehabis membaca majalah bulanan Manglé, ia mengutarakan beberapa pertanyaan. Dan akhirnya beliau membela anak muda –ya dari suaranya, memang seperti anak muda- yang menelpon itu.

“Anak muda penyair itu, memang benar, coba kau renungkan. Umurmu sudah cukup untuk menikah, di acara itu bukankah kau telah berhasil menjodohkan banyak anak muda.  Ibumu akan bahagia di alam baka jika kau menyegerakan menikah. Ayah sudah semakin tua, kau anak satu-satunya. Apa yang kurang dari Ali?” ayah sudah tidak merokok lagi, dia selalu menghabiskan sebekong air sebelum tidur. Di meja, sudut ruang tamu, radio tua peninggalan kakek sedang berlangsung dongeng Ki Umbara. Peminatnya biasanya orang sepuh, dan didengar mungkin oleh orang-orang desa, sinyal radio ini bisa tertangkap sampai daerah pegunungan di Cianjur, biasanya peminatnya dari sana, tapi ada juga peminatnya dari Cibarusah, yang banyak keturunan Sundanya. Aku pernah menyarankan agar acara dongeng itu diganti dengan yang lebih segar, yang diminati anak muda tapi acara itu sudah berlangsung puluhan tahun juga. Ayahku menyarankan agar mencari waktu lain. Lagi pula menurutnya, kenapa cerita-cerita masa lalu berbahasa Sunda tidak disebut modern? Cerita-cerita yang dibacakan itu adalah cerita dalam bentuk novel, itu hal baru, bentuk sastra asli daerah bukan novel, tapi Kakawin atau Carita Pantun.

Aku tertunduk, meneruskan sulaman. Ali, ya Ali, hanya dia yang masih mau menungguku, yang lainnya menyerah memilih wanita lain, mereka yang mengantri hendak melamarku merasa standarku terlalu tinggi . Aku belum menemukan alasan yang tepat menerima lamarannya. Dia terlalu kaku. Aku tahu, aku akan selamat, jika mengikuti semua petunjuk Allah, lagi pula aku diasuh dilingkungan keluarga relijius dan Ali bukan lelaki yang datang dari dunia berbeda. Tapi lelaki ini tak memiliki artikulasi yang cukup baik yang membuat aku kelak akan bahagia dengannya melalui cahaya terang Agama. Tapi pendapatku itu barangkali hanya muncul dari hawa nafsu untuk memilih lelaki yang menurutku lebih baik, padahal bukankah ukuran kebaikan hanya datang dari Allah? Manusia hanya wajib berikhtiar.

Tiba-tiba saja aku ingin mengenal lebi dalam siapa Lelaki yang menelpon setiap akhir acara itu? Dia pandai sekali menghias cahaya agama. Dalam puisi yang dibacakannya, membuatnya indah. Dengan begitu aku merasa lelaki macam dia sebagai pecinta keindahan lebih mampu membangun bahtera rumah tangga secara membahagiakan.

“Ayah, tidak mau menunggu lagi.  Sehabis Lebaran kau harus segera memutuskan untuk menikah. Jika bukan Audah pilihanmu. Siapa lelaki beruntung yang akan menjadi pendampingmu? Segera bawa dia ke hadapan ayah. Jangan ajarkan orang tentang kebenaran Qur’an sementara kau sendiri akan dianggap mengingkarinya.”

Aku mengingat Attar. Aku melihat buku Asmaul Husna yang dihadiahkan Ali, karangan seorang Profesor dari Nablus, Asmaul Husna adalah nama-nama Allah yang Indah. Aku mabuk keindahan yang selalu dipendarkan si penelepon misterius itu. Ali kurang apa sebagai lelaki, hapal Qur’an, pandai berbisnis, tatapan matanya selalu menyelidik dan tegas, langkahnya diliputi petunjuk Kitab Suci, dia anak seorang guru Agama. Tapi tidak pernah rasanya mengalahkan kekuatan suara yang dipendarkan Attar di ujung telepon. Sementara aku tak pernah berani menyelidiki identitasnya. Dia kubiarkan misterius, aku takut fisiknya terkalahkan oleh kekuatan kata-katanya.
***

Di ruang penerimaan telepon aku membaca daftar telpon yang masuk. Matahari pagi, di jendela kantor redaksi, menghangatkan ruangan. Menara Radio ini, tak pernah mengenal pendingin ruangan, bangunannya dibuat dengan jendela cukup lebar, dan pohonan yang dirawat selama puluhan tahun, oksigen yang dihamparkan pohon-pohon itu menjaga kesejukan, menahan serangan panas dari geliat pembangunan pabrik-pabrik.

“Aisyah cari telepon siapa?” Aku hanyut dalam tatapnya, ada watak di dalamnya yang tidak diciptakan dalam waktu yang sebentar, ia dibentuk oleh lingkungan yang hebat.

“Akang, mau membantuku?”

“Kau mencari Attar?”

Aku menarik nafas. Kami saling pandang. Ali lelaki tampan, tapi dia lebih memilih menunduk kalau berdiri di hadapanku.

“Lelaki penyair itu?”

Aku mengangguk.

Dia membacakan Surat As-Syuara. Kutanyakan padanya, apakah semua puisi yang dibacakannya mengandung kezabadan, apakah ia seorang yang zabad.

“Aku, tidak tahu, aku belum membaca puisi-puisinya, dia hanya memperdengarkan puisi-puisi orang.” Jawabnya. “Dia hanya pernah membacakan puisinya satu saja.”

“Akang, mengikuti, apa yang ia bicarakan di telepon?”

“Matahari di balik bunga-bunga, tertutup oleh keindahan dan wewangian yang menutupnya,” Ali membacakan puisi si penelpon misterius itu. Ia mengingatnya. Sementara aku pernah merekamnya di buku kecil.

Ia melanjutkan, “keindahan dan wewangian adalah ayat-ayat matahari. Kau adalah penghalang sekaligus penandanya, begitukah?”

Aku tenggelam dalam sederet nomor telepon, aku menemukan nama Attar. Aku bersorak dalam benak. Telpon itu bukan telepon ponsel tetapi nomor telepon lokal. Ali membantuku mencarikan alamat atas nomor telepon itu. Alamat atas nomer telepon itu ada di Jalan Singa XVI no 34.

Seharian, kami mencari alamat itu, karena telepon yang dipakai Attar tidak pernah diangkat. Di jalan itu tidak ada yang memiliki nomer telepon itu. Ali mengatakan bahwa ia ikut bersedih. Esoknya kami mencari lagi di jalan singa yang lain, tetap tak ditemukan. Dan pagi sebelum kami berangkat, telepon itu memiliki nada tunggu yang cepat, tanda telpon sedang dipakai. Sampai siang nada telepon tidak berubah. Esoknya begitu pula. Kami pergi mencari lagi, sampai penghujung bulan Ramadan. Ali menatap sebuah telepon umum yang sudah uzur, sebuah prasasti manusia modern sebelum lahirnya telepon cerdas, gagang teleponnya menggantung. Ali segera mencoba telepon itu, dia mencobanya dengan uang logam, yang disambungkan dengan ponselku, telepon itu masih berfungsi. Terpendar nomor telepon yang sama dengan telepon yang digunakan Attar dalam telepon genggamku. Ali bersorak. Ia segera bergegas mencari lelaki bernama Attar di sekitar telepon itu berdiri. Tapi aku mencegahnya. Kukatakan padanya, bahwa aku tidak lagi mencari Attar.

Dia menatap kosong dan dalam. “kenapa?” tanyanya.

“Lamar aku, datanglah esok ke rumah.”

“Bagaimana dengan Attar?”

“Ia tak ada, seharusnya ia berjuang lebih jauh lagi, tak hanya dalam kata dan suara.”

Aku mencari taksi. Aku tersenyum melihat tingkah lelaki yang sekuat tenaga mencoba membahagiakan kekasihnya, meski nampak hanya pura-pura. Kulihat di jendela taksi, Ali tampak mengecup-ngecup jemarinya dan menengadahkan kepalanya ke langit, sebagaimana seorang muslim menciptakan gestur rasa syukur kepada Tuhannya. Telepon umum di sebelahnya telah menjadi saksi dua lelaki, yang satu diliputi kabut misteri –lelaki mana jaman ini, yang masih respek terhadap keberadaan dan memelihara telepon umum?- yang lainnya berdiri sebagai pemenang. Aku memilih pulang terpisah dengan Ali, karena aku ingin melihat dia mengejar perempuan yang dicintainya.(*)


Cikarang, 1 juli 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar