Rabu, 12 Juli 2017

ESAI

Estetika dalam Islam
M Taufan Musonip

Dalam Islam, pondasi mengenai pemikiran estetika tidak terlalu detail, meski ada satu surat yang diberi nama para penyair (As-syuara), Nabi Muhammad sendiri, bersahabat dekat dengan seorang penyair. Masa-masa awal Islam, yang ditegakkan adalah tauhid dan ahlak. Wahyu untuk memberi ruang terhadap estetika secara detail dalam artian mencari hubungan dengan keislaman tidak banyak disampaikan. Menurut Ali Audah, dalam bukunya Dari Khazanah Dunia Islam, justru karena tidak ada perkara detail mengenai estetika memberi keluasaan kepada seniman Islam untuk melahirkan karya, baik musik, seni rupa atau teater.




Dalam Sastra, Islam memberi sumbangsih besar hingga abad pertengahan. Karya karya prosa maupun puisi banyak dituliskan. Karya-karya itu mempengaruhi pengarang-pengarang barat. Namun dalam perkembangan estetika bidang lain seperti teater dan seni rupa belum banyak dilahirkan. Perkembangan estetika bidang ini merujuk pada masa awal Islam, tentu tak akan mendapatkan tautannya, seperti di atas ditulis, masa awal Islam adalah masa membangun pondasi ahlak.


Bagaimana sebenarnya cara pandang Islam terhadap estetika secara lebih luas? Apalagi bidang-bidangnya pada masa kini mengalami perluasan. Bagaimana cara pandang Islam terhadap seni patung, seni lukis yang berbentuk mahluk, juga seni teater -yang mengkorelasikan pemain wanita dan laki-laki yang belum muhrim?

Estetika berbentuk mahluk dalam seni rupa dan Interior diminati Nabi Sulaeman, hingga Ratu Balqis pun terperangah waktu menginjakan kakinya di Istana yang lantainya bak kaca yang tembus pandang. Estetika memperkaya kebudayaan sebagai ladang muamalah dari seorang manusia. Ia bisa menjadi tempat syiar. Estetika seni patung, air mancur di tengah kota, tidak mubah, seperti halnya menara masjid. Apalagi disebut sebagai sumber kesyirikan. Sejauh nilai estetika karya publik tersebut dapat menjaga ahlak warganya. Estetika juga dapat mewakili potensi daerah, sebagai magnet wisatawan. Di Pangandaran belakangan ini ada patung ikan dihancurkan Pemda setempat, padahal Patung tersebut karya perupa kawakan Nyoman Nuarta, sangat disayangkan. Tapi tak ada kabar penghancuran itu dilakukan oleh kalangan Islam, seperti peristiwa sebelumnya. Pemda setempat hanya akan menggantinya dengan karya rupa patung yang lebih representatif. Saya ikut menyesalkan apabila karya patung tersebut tidak dimuseumkan, atau untuk menghargai perupanya, patung tersebut lebih baik diangkut ke studionya, paling tidak bisa menjadi rujukan sejarah dan pengetahuan di masa yang akan datang. Peristiwa itu menandai, bahwa apresiasi terhadap karya seni bangsa ini belum besar.

Karya seni masih dianggap sebuah ikhtiar sekular, belum diselami mendalam melalui ijtihad budaya, tak ada kaitannya dengan spirit religiusitas, masih dianggap mubah dan bahkan menyimpang.  Tapi sebenarnya seberapa banyak juga seniman-seniman profetik di Indonesia, seberapa jauh para kritikus membangun hubungan secara mendalam antara estetika dengan
religiusitas terutama di kalangan Islam?


Islam memberi keleluasaan terhadap proses berkesenian sejauh mengikatkan diri pada ahlak dan kemanusiaan. Patung-patung boleh dibuat sebagai seni yang dapat diakses publik, asal tidak melulu berpihak pada kemewahan yang menjauhkan keadaan warganya, menjauhkan dari Ilmu pengetahuan, dari kemanusiaan. Seberapa banyak sebenarnya karya-karya rupa yang bersifat terbuka di ruang publik yang bersifat religius dilahirkan? Belakangan justru yang dilahirkan adalah karya-karya rupa untuk mendukung kemewahan kota mandiri,  belum ada gerakan kesenian yang memadai, menjadi penyeimbang karya-karya yang memberi kemeriahan budaya kota mandiri yang mengadopsi langsung kebudayaan barat.

Seni sering memihak pada kemewahan. Sedang estetika dalam cara pandang Islam selain memuat kesadaran religius juga memuat semangat membebaskan penindasan. Semangat humanisme. Seni dalam Islam mempertemukan religiusitas dan sosialisme. Kekurangan ijtihad terhadap budaya, membuat kalangan Islam sendiri miskin konsep, bahkan miskin kreatifitas. Kemiskinan ini membuat estetika hanya sebatas alat penyampai. Bahkan tak memiliki gairah yang mendalam menampilkan sisi religiusitas. Padahal Allah Yang Maha Kreatif, menyediakan alam semesta sebagai bahan-bahan estetika. Allah menyediakan bebatuan, pohonan, tanah, sebagai sumber estetika, sebagai pesan yang dapat ditadaburi sekaligus dihikmahi.

Cikarang, 12 Juli 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar