Lebih Menyukai Sains dan Seni daripada Teknologi dan Perdagangan
M Taufan Musonip
Tujuan Ilmu adalah Tauhid, Tujuan Amal adalah takwa
Petikan kalimat itu saya dapatkan
dari buku Mengenal Allah (2007,
Muhammad Ratib al Nablusi). Landasan ilmu adalah ilmu Agama. Sebab sejatinya
Agama lah yang memberi terang kehidupan. Dalam kajian-kajian yang bersumber
dari pandangan di luar agama pun nyatanya realitas yang disuguhkan sebagai
pandangan dunia tak pernah bisa lepas dari kekuatan yang secara tak sadar sudah
terbentuk dalam pandangan keagamaan.
Seilmiah-ilmiahnya pandangan Marx
mengenai pertentangan kelas tetap saja ia tengah berada dalam situasi imajiner
tentang utopia persamaan kelas setelah melalui berbagai proses pertentangannya.
Begitupun dengan pandangan Nietzsche, nihilisme hampir mendekati pandangan
metafisika. Tak ada yang bisa lepas dari anasir-anasir keagamaan, sebab pikiran
manusia terkadang menemui keterbatasannya, pikiran manusia tak pernah bisa
lepas dari langit imajinasi.
Zero Gravity
Dalam beberapa waktu kebelakang
kantor menugaskan saya membuat sebuah persentase mengenai balancing system. Sebuah
alat kerja teknologi berdasarkan rekayasa teori Newton tentang zero gravity, saya kembali membaca
tentang teori gerak mekanis ini. Teori klasik yang masih banyak dipakai dalam
teknologi mekanis. Untuk mencapai zero
gravity, sebuah masa harus memiliki percepatan dan gaya sama dengan nol. Narasi
fisika itu sangat indah, tapi tidak saat rekayasa teori itu mencapai realitas
teknologinya. Nyatanya realitas teknologi terhadap pemanfaatan sumber-sumber
ilmu pengetahuan kerap alfa dari nilai spritualitas manusia membangun kemanusiaan. Realitas teknologi sering lepas dari
pembicaraan mengenai kemanusiaan.
Ia hanya kerap berbicara sebatas
penguasaan, Film Will be Blood,
misalnya mengisahkan mengenai kehidupan seorang penambang minyak, yang dalam
meraih kesuksesannya banyak mengorbankan kaum adat yang sejatinya pemilik
hakiki tanah ulayat. Eksploitasi itu justru melibatkan Gereja adat. Oleh kaum
teknokrat sekaligus pengusaha, agama dijadikan tameng untuk menanggulangi
keresahan kemungkinan bencana yang didapatkan sebagai ekses eksploitasi. Sebuah
film drama fiksi ini kenyataannya lebih nyata daripada kabar peperangan yang terjadi di
timur tengah yang banyak ditutupi oleh moral negara barat dibalik usaha
distribusi minyak.
Sains dan seni lebih menarik hati
saya ketimbang kemajuan eksploitasi teknologi. Sebab dalam sains dan seni ada
upaya tadabur terhadap alam semesta. Dalam kawasan teknologi alam semesta tidak
cukup memberi ruang asing terhadap manusianya, dunia dan manusia hidup sangat
melekat. Dalam sains dan seni, manusia menemukan pintu pikir sebagai pintu
masuk menuju kedalaman dzikir. Dalam buku Mengenal
Allah, Dzikir pun memiliki pintu, pintunya adalah hati yang waspada –tidak lengah.
Seperti apa hati yang tidak lengah itu? pintunya adalah zuhud dari dunia,
sedang pintu zuhud adalah kanaah yaitu fokus kepada kehidupan akhirat, sedang
pintu kehidupan akhirat adalah takwa kepada Allah Swt (hal 51).
Menempatkan
Dalam pembacaan buku Prof Nablus tsb,
saya juga mengingat banyak bacaan yang sudah saya lalui, salah satunya esai
Abdul Hadi WM tentang Penyair Hamzah Fansuri. Esai yang dalam pandangan saya
cukup berhasil mentransfer tamsil dagang
melalui makna religiusitas Islam kepada kenyataan hidup dari sebuah puisi seorang penyair Sufi
nusantara itu---yang oleh A Teeuw dikatakan sebagai pelopor puisi modern
Indonesia (1994). Menurut Abdul Hadi
kata dagang berarti merantau, atau menjadi orang asing di sebuah negeri, ia
diterjemahkan dari kata gharib
(asing), merujuk sebuah hadits “Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini,
singgahlah sementara dalam perjalananmu
dan ingatlah akan adzab kubur.” Kata asing ini kemudian berarti adalah asing
terhadap dunia: yaitu seorang suluk yang menyadari bahwa di dunia ini ia adalah
orang asing yang pergi merantau atau singgah sementara untuk mengumpulkan bekal
(menuju kampung halaman sejati). Selain asing kata gharib bertautan juga dengan
Faqir, sebuah titik spritual manusia yang memposisikan kenikmatan dunia sebagai
fana. Selanjutnya tidak diartikan sebagai manusia yang anti dunia, tetapi upaya
mewakafkan dirinya terhadap manusia lainnya melalui jalan syariat.
Membaca esai tersebut saya mencoba
melakukan pencarian kata dalam Al Quran mengenai perdagangan hasilnya ada
delapan ayat yang menerangkan prihal itu, 2:16, 2: 282, 9:24, 24:37, 35:29,
61:10, 62:11, dari kedelapan ayat itu hanya satu keterangan yang memaknai kata
dagang sebagai kegiatan muamalah (mencatat perjanjian piutang), sisanya
hubungan yang mengikat antara manusia
dengan Yang Maha Terlibat. Sebagai orang yang cukup berkecimpung di dunia
marketer esai Abdul Hadi tersebut memberi warna lain dari buku-buku marketing
yang jarang sekali membawa saya pada perjalanan marantau yang lebih bermakna. Seharusnya
jika tema tersebut diperluas lagi, bukan tidak mungkin dapat menjadi bahan
bacaan bagi dunia marketer. Dunia sales akan disuguhkan makna perdagangan dari
arah yang lain, yang lebih bermakna mengumpulkan dan mendistribusi kekayaan,
yang sulit dipercaya di masa sekarang, di mana pasar selalu merupakan layar dari
persaingan dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya (tamak). Itu mungkin
konsekwensi dari jumlah umat muslim yang belum bisa menandingi umat lain dalam dunia bisnis.
Jika saya menempatkan perdagangan dan
teknologi di posisi muamalah, seharusnya dua bidang kerja itu memberi tujuan
kepada takwa. Dalam sains dan seni bukan berarti tidak ada tindakan muamalah,
tapi menurut saya porsi ilmunya lebih besar disampaikan ketimbang perdagangan
dan teknologi yang lebih dekat pada tindakan dan ilmu praktis. Bidang-bidang
ilmu praktis akan meningkatkan ketakwaan jika bidang ilmu pengetahuan dan seni
terus melakukan pencariannya kepada ikatan batin manusia dengan Tuhannya. Atau bagaimana
rajinnya seorang penuntut ilmu dan pekerja seni melakukan pencarian dan
improvisasi keilmuan yang bernuansa ketuhanan.(*)
Sukatani, 11 September 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar