Selasa, 11 September 2018

ESAI



Lebih Menyukai Sains dan Seni daripada Teknologi dan Perdagangan
M Taufan Musonip

Tujuan Ilmu adalah Tauhid, Tujuan Amal adalah takwa
Petikan kalimat itu saya dapatkan dari buku Mengenal Allah (2007, Muhammad Ratib al Nablusi). Landasan ilmu adalah ilmu Agama. Sebab sejatinya Agama lah yang memberi terang kehidupan. Dalam kajian-kajian yang bersumber dari pandangan di luar agama pun nyatanya realitas yang disuguhkan sebagai pandangan dunia tak pernah bisa lepas dari kekuatan yang secara tak sadar sudah terbentuk dalam pandangan keagamaan.

Seilmiah-ilmiahnya pandangan Marx mengenai pertentangan kelas tetap saja ia tengah berada dalam situasi imajiner tentang utopia persamaan kelas setelah melalui berbagai proses pertentangannya. Begitupun dengan pandangan Nietzsche, nihilisme hampir mendekati pandangan metafisika. Tak ada yang bisa lepas dari anasir-anasir keagamaan, sebab pikiran manusia terkadang menemui keterbatasannya, pikiran manusia tak pernah bisa lepas dari langit imajinasi.


Zero Gravity
Dalam beberapa waktu kebelakang kantor menugaskan saya membuat sebuah persentase mengenai balancing system. Sebuah alat kerja teknologi berdasarkan rekayasa teori Newton tentang zero gravity, saya kembali membaca tentang teori gerak mekanis ini. Teori klasik yang masih banyak dipakai dalam teknologi mekanis. Untuk mencapai zero gravity, sebuah masa harus memiliki percepatan dan gaya sama dengan nol. Narasi fisika itu sangat indah, tapi tidak saat rekayasa teori itu mencapai realitas teknologinya. Nyatanya realitas teknologi terhadap pemanfaatan sumber-sumber ilmu pengetahuan kerap alfa dari nilai spritualitas manusia membangun  kemanusiaan.  Realitas teknologi sering lepas dari pembicaraan mengenai kemanusiaan.

Ia hanya kerap berbicara sebatas penguasaan, Film Will be Blood, misalnya mengisahkan mengenai kehidupan seorang penambang minyak, yang dalam meraih kesuksesannya banyak mengorbankan kaum adat yang sejatinya pemilik hakiki tanah ulayat. Eksploitasi itu justru melibatkan Gereja adat. Oleh kaum teknokrat sekaligus pengusaha, agama dijadikan tameng untuk menanggulangi keresahan kemungkinan bencana yang didapatkan sebagai ekses eksploitasi. Sebuah film drama fiksi ini kenyataannya lebih nyata  daripada kabar peperangan yang terjadi di timur tengah yang banyak ditutupi oleh moral negara barat dibalik usaha distribusi minyak.

Sains dan seni lebih menarik hati saya ketimbang kemajuan eksploitasi teknologi. Sebab dalam sains dan seni ada upaya tadabur terhadap alam semesta. Dalam kawasan teknologi alam semesta tidak cukup memberi ruang asing terhadap manusianya, dunia dan manusia hidup sangat melekat. Dalam sains dan seni, manusia menemukan pintu pikir sebagai pintu masuk menuju kedalaman dzikir. Dalam buku Mengenal Allah, Dzikir pun memiliki pintu, pintunya adalah hati yang waspada –tidak lengah. Seperti apa hati yang tidak lengah itu? pintunya adalah zuhud dari dunia, sedang pintu zuhud adalah kanaah yaitu fokus kepada kehidupan akhirat, sedang pintu kehidupan akhirat adalah takwa kepada Allah Swt (hal 51).

Menempatkan
Dalam pembacaan buku Prof Nablus tsb, saya juga mengingat banyak bacaan yang sudah saya lalui, salah satunya esai Abdul Hadi WM tentang Penyair Hamzah Fansuri. Esai yang dalam pandangan saya cukup  berhasil mentransfer tamsil dagang melalui makna religiusitas Islam kepada kenyataan hidup  dari sebuah puisi seorang penyair Sufi nusantara itu---yang oleh A Teeuw dikatakan sebagai pelopor puisi modern Indonesia (1994).  Menurut Abdul Hadi kata dagang berarti merantau, atau menjadi orang asing di sebuah negeri, ia diterjemahkan dari kata gharib (asing), merujuk sebuah hadits “Jadilah orang asing atau dagang di dunia ini, singgahlah  sementara dalam perjalananmu dan ingatlah akan adzab kubur.” Kata asing ini kemudian berarti adalah asing terhadap dunia: yaitu seorang suluk yang menyadari bahwa di dunia ini ia adalah orang asing yang pergi merantau atau singgah sementara untuk mengumpulkan bekal (menuju kampung halaman sejati). Selain asing kata gharib bertautan juga dengan Faqir, sebuah titik spritual manusia yang memposisikan kenikmatan dunia sebagai fana. Selanjutnya tidak diartikan sebagai manusia yang anti dunia, tetapi upaya mewakafkan dirinya terhadap manusia lainnya melalui jalan syariat.

Membaca esai tersebut saya mencoba melakukan pencarian kata dalam Al Quran mengenai perdagangan hasilnya ada delapan ayat yang menerangkan prihal itu, 2:16, 2: 282, 9:24, 24:37, 35:29, 61:10, 62:11, dari kedelapan ayat itu hanya satu keterangan yang memaknai kata dagang sebagai kegiatan muamalah (mencatat perjanjian piutang), sisanya hubungan yang mengikat  antara manusia dengan Yang Maha Terlibat. Sebagai orang yang cukup berkecimpung di dunia marketer esai Abdul Hadi tersebut memberi warna lain dari buku-buku marketing yang jarang sekali membawa saya pada perjalanan marantau yang lebih bermakna. Seharusnya jika tema tersebut diperluas lagi, bukan tidak mungkin dapat menjadi bahan bacaan bagi dunia marketer. Dunia sales akan disuguhkan makna perdagangan dari arah yang lain, yang lebih bermakna mengumpulkan dan mendistribusi kekayaan, yang sulit dipercaya di masa sekarang, di mana pasar selalu merupakan layar dari persaingan dan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya (tamak). Itu mungkin konsekwensi dari jumlah umat muslim yang belum bisa menandingi  umat lain dalam dunia bisnis.

Jika saya menempatkan perdagangan dan teknologi di posisi muamalah, seharusnya dua bidang kerja itu memberi tujuan kepada takwa. Dalam sains dan seni bukan berarti tidak ada tindakan muamalah, tapi menurut saya porsi ilmunya lebih besar disampaikan ketimbang perdagangan dan teknologi yang lebih dekat pada tindakan dan ilmu praktis. Bidang-bidang ilmu praktis akan meningkatkan ketakwaan jika bidang ilmu pengetahuan dan seni terus melakukan pencariannya kepada ikatan batin manusia dengan Tuhannya. Atau bagaimana rajinnya seorang penuntut ilmu dan pekerja seni melakukan pencarian dan improvisasi keilmuan yang bernuansa ketuhanan.(*)
  
Sukatani, 11 September 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar