Kamis, 25 April 2024

DARI PUSARA KE PUSARA

Menara Masjid dan Maskulinitas

M. Taufan Musonip


Khalwat sering dijalankan para lelaki, memang. Padahal Siti Maria pun melakukan Khalwat dan mendapatkan perbekalan langsung dari Allah sebagai Karomahnya yaitu mendapatkan buah-buahan musim panas ketika ia duduk di mihrab saat musim dingin dan sebaliknya.



Menara masjid adalah bukti maskulinitas. Tapi maskulinitas Islam itu milik semua jenis kelamin. Seperti halnya feminitas. Maskulinitas itu proses menjadi manusia bertakwa, feminitas itu buah dari takwa. Maskulinitas itu Habluminallah, Feminitas itu habluminannas. Maskulinitas itu Ad-Dzikr, feminitas itu Al-Fikr


Menara Masjid Agung Banten
Penulis sebelah kanan bersama
Bang Sanin (kiri), putri Ustad Taufik, dan Ustad Taufik (mubaligh TQN). Foto karya Mang Gun.


Maskulinitas itu dalam istilah Al Qur'an disebut Ar Rojul, siapa bertakwa laki-laki atau perempuan berhak menyandang predikat Rojul. Menara masjid menjadi perlambang predikat manusia bertakwa, berbeda halnya dengan perlambang lingga dan yoni di istana-istana kerajaan pra Islam, melambangkan vitalitas paska moksa. Habluminannas di luar istana harus selesai dahulu dengan kebutuhan hawa nafsu. Kalau bisa tak ada lagi sperma yang menetes, dan tidak lapar lagi. 

Moksa -dalam hal ini jangan diartikan sebagai kata yang bersangkut paut pada sebuah agama, hanya istilah untuk untuk menggantikan frasa pengucilan diri- dalam pra islam bisa dikatakan sebagai pesta, melampiaskan hawa nafsu.


Siti Maria

Menara mesjid juga melambangkan di masjid tak ada kerahiban atau prilaku selibat. Dalam pelaksanaan khalwat tetap dianjurkan makan atau menggauli istri terlebih dahulu jika lapar atau hasrat libido sedang tinggi.  

Khalwat sering dijalankan para lelaki, memang. Padahal Siti Maria pun melakukan Khalwat dan mendapatkan perbekalan langsung dari Allah sebagai Karomahnya yaitu mendapatkan buah-buahan musim panas ketika ia duduk di mihrab saat musim dingin dan sebaliknya.

Di Suryalaya pernah diceritakan khalwatnya Abah Faqih di salah satu menara masjid, saat ditawari makan, beliau Allahyarham malah tengah menenteng kurma segar. Kurma segar itu perlambang feminitas. Suatu yang lahir dari alam semesta ini berpredikat muannast, termasuk matahari yang gagah itu.

Menara masjid itu juga perlambang surat Alfatihah, Ummul Qur'an yang menandakan intelektualitas. Dalam tafsir-tafsir seperti Al Ahzar, Al Misbah dan Ibnu Katsir dijelaskan bahwa setengah Alfatihah itu Habluminallah -sampai Iyyakana' budu wa' iyyakanasta'in, dan setengahnya lagi Habluminannas. Intelektualitas Islam sudah ada dari pembukaan Al Qur'an dalam tafsir Ghoiril Maghdu bi alahim Waladdholiin. Yaitu Umattan Wasatton, tengah-tengah antara semangat mencari ilmu dan amaliyah. Menara alfatihah itu gerbang masjid, sedangkan intelektualitas lagi-lagi adalah Ar-Rojul.

A'lam Malakut

Intelektualitas itu nama lain dari A'lam malakut yang mengendalikan tujuh perbendaharaan An-Nafs (mata, telinga, mulut, kemaluan, tangan, kaki dan perabaan) sebagaimana ditulis oleh Imam Khomeini, atau Prof Juhaya Praja -beliau menyebutnya faktor eksternal- yang akan menjadikan manusia naik level atau turun level kemanusiaannya. A'lam malakut yang menaikkan level seorang manusia itu Khazanah Syariat Islam diantaranya tasawuf, fiqih dan tauhid.

Berfoto di menara masjid bersejarah biasa dilakukan oleh para wisatawan religi. Sebagaimana juga kami di pelataran menara Masjid Sultan Agung ini. Saat itu, Orang-orang ada yang sampai menginap di halaman Masjid karena sedang ada haul Sang Sultan. 

Konon Abuya Muhtadi pun datang berdasarkan informasi dari seorang peziarah yang kami temui esoknya di kediaman Abuya Syar'i. Ustad itu menceritakan, sosok Abuya Muhtadi yang baik hati, dalam arti selalu menengok orang yang meninggal di lingkungannya atau sakit, asal beliau diberitahu. Jadi bukan hanya haul para pembesar negeri saja beliau kunjungi, orang kampungnya pun beliau tengok, padahal beliau seorang ulama besar yang memiliki tiga gelar sekaligus, Mufti, Mursyid dan Musnad. Tentu beliau perlambang menara masjid yang saya gambarkan di atas, suatu wakil dari khazanah kebudayaan Islam yang mengandung Feminitas: tinggi ilmu namun berbuah cinta kepada sesama.*


Di Maqbaroh Sultan Banten

M. Taufan Musonip





Tanpa sadar di Maqbaroh Sultan Banten ini peci saya miring. Entah efek berdesakan dengan para peziarah lain yang kebetulan malam itu bertepatan dengan haul Sang Sultan -atau karena saya salah pasang. 

Mang Gun (kedua dari kiri) berinisiatif mendekati kuncen agar kami bisa langsung bertawassul di dalam makam. Alhamdulillah dikabulkan. Padahal untuk masuk ke sana orang lain harus antri.

Peci miring itu bukan pertanda banyaknya dzikir. Tapi tanda salik yang masih belum matang yang menurut Sachiko Murata dalam The Tao of Islam:

Manusia Islam bagai dua sisi matang uang,

Menjadi hamba sekaligus menjadi khalifah. Menjadi hamba bisa diperoleh dengan jiwa imanen, semuanya bersandar kepadaNya, dalam kesadaran penuh keterbatasan. Sedangkan Khalifah adalah jiwa transenden, ia mewakili Dzatnya yang maha mengatur di dunia. Seperti halnya Sultan Banten yang makbarohnya kami ziarahi ini. Ia ditakdirkan menjadi khalifah, karena keberhasilannya menjadikan kekuasaan sebagai sarana dakwah Islam. 

Ada juga yang memilih sisi kehambaan seperti Syech Abu Yazid Busthomi ketika ditawarkan oleh Allah berbagai fasilitas duniawi. Menjadi hamba Allah adalah maqom yang tak mudah digapai. Karena sejauh diri ini masih mengeluh dan pandai berangan-angan, maka ia belum mencapai predikat hamba. Baru sekadar hamba-hambaan.

Si peci miring itu entah ingin mengejar sisi kehambaan atau sisi khalifah, belum lah jelas. Hanya sedang berproses. Meski begitu Peci miring dalam foto ini tetaplah Takdir Mubrom Allah. Sebuah hikmah dan pelajaran bagi si pemilik peci sendiri.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar